Jumat, 17 Desember 2010

Kemenangan

Mentari di sore hari
Memancarkan warna kuning ke tanah Indonesia
Burung terbang melintasi kepala ku
Terbang tinggi melintasi awan
Indahnya waktu yang terjadi
Semoga ini akan kekal abadi

Jumat, 03 Desember 2010

apresiasi cerpen peradilan rakyat dengan pendekatan estetis mimetik

Peradilan Rakyat

Putu Wijaya
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum. "Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis."Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan.""Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"Pengacara tua itu tertawa."Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi – diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin – doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini.
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang."Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog.""Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar – benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin dan beku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.
Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan. "Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya." "Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang. "Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah – menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku." Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."
"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."
"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal – soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!”
Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"
"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang. Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan."Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional.""Tapi..."
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster – poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?"

A. LATAR BELAKANG
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, Studi sastra (ilmu sastra) mencakup tiga bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga ilmu tersebut saling berkaitan satu sama lain. Menghubungkan sastra sebagai objek yang diteliti, dengan menggunakan teori sastra dan pemahaman sebagai pelengkap melaui sejarah sastra. Kritik sastra berperan sebagai pengukur dan analisis sebuah karya sastra. Sejauh mana isi, peran dan makna sebuah karya sastra, bernilai atau berkwalitasnya sebuah karya sastra di ukur melalui sebuah analisis kritik sastra.
Sastra menjelaskan kepada kita tentang konsep sastra sebagai salah satu disiplin ilmu humaniora yang akan mengantarkan kita ke arah pemahaman dan penikmatan fenomena yang terkandung di dalamnya. Dengan mempelajari teori sastra, kita akan memahami fenomena kehidupan manusia yang tertuang di dalam teori sastra. Sebaliknya juga, dengan memahami fenomena kehidupan manusia dalam teori sastra kita akan memahami pula teori sastra. Sastra merupakan wujud dari pengambaran dan pencitraan kehidupan masyarakat. Apa yang terjadi dimasyarakat diwujudkan dalam karya sastra. Oleh karena itu sastra memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Senada dengan hal tersebut Semi (1889:23) mengemukakan kritik sastra memiliki peran sebagai jembatan penghubung antara karya sastra dengan masyarakat penikmat sastra. Kritik sastra merupakan kajian untuk menganalisis sebuah karya sastra. Secara umum kritik sastra bertujuan mengapreasiasi sebuah karya sastra. Kemudian menurut Semi (1989:24-25) fungsi dari kritik sastra bukan hanya sebagai wujud apreasiasi namun sebagai upaya untuk mengembangkan dan pembinaan terhadap sastra. Selain itu melalui kritik sastra, sebagai sarana penunjang ilmu sastra. Kritik sastra merupakan wadah analisis karya sastra, analisis tes struktur cerita, gaya bahasa, teknik pencitraan, dan sebagainya.
Karya sastra merupakan wujud dan bentuk dari perilaku yang diciptakan, contoh karya sastra yang sederhana adalah cerpen. Cerpen merupakan karya sastra yang menarik dan sederhana. Menceritakan sebuah konflik secara singkat dan lugas, namun memiliki unsur – unsur sastra yang menarik. Cerpen yang di analisis adalah cerpen karya Putu Wijaya. Putu Wijaya merupakan salah seorang sastrawan yang produktif. Karya-karya Putu Wijaya banyak mendapatkan tanggapan dari para kritikus sastra. Berbagai komentar terhadap novel – novel Putu Wijaya baik yang bersifat sekilas atau yang sifatnya mendalam dalam bentuk esei bermunculan di media massa, buku, maupun dalam forum-forum seminar. Cerpen dan karya – karya Putu Wijaya menarik dan dikenal oleh masyarakat, sehingga menarik untuk dianalisis.
Bila seorang kritikus mengharapkan dari sastra supaya kenyataan diperjelas, maka kriteria inilah yang dipergunakan. Pendapat seperti ini pernah dikemukakan Goenawan Moehamad bahwa tugas sastrawan dan seniman pada umumnya adalah membuat penghayatan terhadap kehidupan menjadi lebih intens. Dengan kata lain karya sastra yang baik hendaknya mempunyai intensitas terhadap realitas, bukan sekedar meletakkan kembali realitas tersebut (Moehamad : 1988:53)
Sastra yang diciptakan harus mencerminkan kenyataan. Kalau pun belum, karya sastra yang diciptakan dituntut untuk mendekati kenyataan. Suatu pengembangan konseptual yang dan bagian kenyataan. Pentingnya mempelajari sastra, memiliki peran sendiri tetapi sastra pada umumnya memberikan manfaat bagi para penikmatnya. Dengan mengetahui manfaat yang ada, paling tidak kita mampu memberikan kesan bahwa sastra yang diciptakan berguna untuk kemaslahatan manusia.

B. PROFIL PENGARANG
Namanya I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak sulit untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya.Putu yang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Ia bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama (Kabuki) di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1974, ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Sebelum pulang ke Indonesia, mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy.
Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang melekat di kepala saya adalah bagaimana menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh, sehingga yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya Tempo," ungkap Putu. Ia juga membiasakan diri dengan tenggat - suatu siksaan bagi kebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman (1979-1985), dan ia tetap produktif menulis cerita pendek, novel, lakon, dan mementaskannya lewat Teater Mandiri, yang dipimpinnya. Di samping itu, ia mengajar pula di Akademi Teater, Institut Kesenian Jakarta (IKJ)




C. APRESIASI CERPEN PERADILAN RAKYAT DENGAN PENDEKATAN ESTETIS DAN MIMETIK
Cerpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya adalah cerpen yang berani menceritakan betapa ironisnya peradilan yang ada di negeri ini. Yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini adalah seorang pengacara muda yang cerdas, dan berpikir kritis. Ia mencermati keadaan dan situasi, seorang pengacara muda yang bersikap adil dan profesional pada pekerjaannya sebagai pengacara. Dia mempunyai ayah yang juga seorang pengacara yang disegani pada masanya. Permasalahan muncul ketika seorang oknum pejabat yang banyak melakukan pelanggaran hukum meminta bantuannya untuk menjadi pengacaranya. Dalam hal itu dia menghadapi gejolak antara mau membantunya atau tidak.
Secara pribadi dia tidak ingin menjadi pengacaranya tetapi secara profesional dia tidak bisa menolak klien yang meminta bantuannya sebagai pembela di pengadilan. Akhirnya dia meminta pendapat kepada ayahnya sebagai seorang pengacara bukan sebagai anak. Tetapi kasus itulah yang akhirnya membawanya dalam kehancuran. Dari sini Putu Wijaya menggambarkan keindahan serta realitas bagaimana seorang pengacara muda yang sangat cerdas tetapi minim pengalaman hidup dijatuhkan oleh sebuah kasus yang merupakan sandiwara pengadilan belaka ynag sarat akan unsur – unsur politik.
Putu wijaya dalam cerpen ini juga mengkritik soal banyaknya mafia – mafia kasus (markus) yang telah membudadaya dalam negeri ini. Keadaan Negara yang sedang carut maruk membuat para pelaku mafia kasus bisa menghindari jeratan hukum apabila mereka bisa menyewa pengacara terkenal dan menyuap aparat negara.
Secara nyata mafia peradilan ini melibatkan banyak lembaga. Mafia peradilan juga melibatkan hakim peradilan. Pada masa Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan, Komisi Yudisial (YK) telah mengajukan 28 hakim untuk dijatuhkan sanksi terkait pelanggaran. Namun sayangnya, rekomendasi tersebut tidak ada satu pun yang ditindaklanjuti. Di era kepemimpinan Harifin A. Tumpa, dari 11 hakim yang direkomendasikan untuk dikenakan sanksi, baru dua yang ditindaklanjuti.
Hal ini bisa terjadi dikarenakan faktor rendahnya kualitas sumberdaya manusia baik intelektualitas dan spiritual, birokrasi peradilan yang berjenjang, pengawasan sangat lemah, dan rendahnya integritas pimpinan menjadi penyebab merebaknya mafia peradilan di Indonesia. Di samping tidak ada sanksi berat bagi pelaku mafia peradilan makin menambah suburnya mafia ini. Satu contoh, mantan hakim pengadilan tinggi Harini Wijoso, yang menjadi pengacara pengusaha Probosutedjo. Dia yang telah terbukti menyuap dengan uang 400 ribu dolar AS dan Rp 800 juta, hanya divonis 2 tahun di tingkat pengadilan banding. Semua faktor ini muncul dan berakar dari sistem peradilan yang diadopsi Indonesia.
Seperti yang terdapat dalam kutipan cerpen berikut.
“Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin dan beku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara.”
Putu wijaya, mampu mengekspresikan dengan baik. Negara sebagai wujud teater, suatu pertunjukan sandiwara. Hal ini pula dilatarbelakangi oleh profesi penulis sebagi seorang sastrawan, penulis pula menjabat sebagai Pimpinan Teater Mandiri, Jakarta sejak tahun 1971 hingga sekarang. Kutipan diatas merupakan wujud ekspreasi jiwa mengenai kedudukan posisi bangsa dan negara saat ini bisa berubah.
“Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.“Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya.”
Penulis mampu menekspresikan diri seorang pengacara muda, yang profesional, dan cerdas. Hal tersebut pula didasari, bahwa penulis juga seorang mahasiswa fakultas hukum, penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum UGM 1969.
“Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel – yel dan poster – poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.”
Penulis mampu mengkritisi pemerintahan, dan memaparkan pandangannya pada pemerintahan. Wujud dari ekpresi terhadap situasi dan keadaan yang terjadi di masyarakat, hal ini pula didasari oleh profesi yang penah menjadi wartawaan di berbagai media cetak. Misalnya penulis pernah menjadi wartawan majalah Ekspres (1969), wartawan majalah Tempo (1971-1979) dan Redaktur Pelaksana majalah Zaman (1979-1985).
Bagaimana pada saat ini keadilan adalah bagi orang – orang yang mempunyai uang banyak dan kekuasaan lebih.

D. PENUTUP
Dari cerpen “Peradilan Rakyat” karya Putu Wijaya ini dapat diambil hikmah, dalam mengambil pilihan hidup itu kita seharusnya sebagai manusia, harus menggunakan pikiran serta perasaan. Sehingga pilihan yang kita ambil tersebut tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Banyaknya mafia – mafia kasus yang terjadi saat ini adalah bukti kebrobrokan moral yang terjadi di Negara ini, yang dimana hokum bisa dibeli di negeri ini. Kita yang sebagai manusia mempunyai akhlak hendaknya dalam menjalani sebuah pekerjaan haruslah sesuai dengan norma – norma yang berlaku, sehingga hal – hal yang merugikan orang lain apalagi menyengsarakan orang lain tersebut bisa di hindari. Bukan tidak mungkin bila rakyat telah marah, mereka akan lupa diri dan bisa melakukan hal – hal yang di luar batas kewajaran.

DAFTAR RUJUKAN

Sumadiria, Haris. 2006. Bahasa Jurnalistik; Panduan Praktis Penulisa dan Jurnalis. Bandung. Simbiosa Retakama Media.
Wellek & Warren A. (1986). Teori Kesusastraan (Diindonesiakan Melami Budianta).
Zulmasri. 2008. ”Kebimbangan Pengarang dan Pendekatan Ekspresif”. http://zulmasri.wordpress.com/2008/03/28/kebimbangan-pengarang-dan-pendekatan-ekspresif/
http ://tempointeraktif.com/2010/03/08/memberantas-mafia-peradilan/

analisis kalimat berdasarkan ciri -ciri, peran,dan fungsi S, P, O,K

BAGIAN I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Suatu pernyataan merupakan kalimat jika di dalam pernyataan itu sekurang – kurangnya terdapat predikat dan subjek, baik disertai objek, pelengkap, atau keterangan maupun tidak, bergantung kepada tipe verba predikat kalimat tersebut. Suatu untaian kata yang tidak memiliki predikat disebut frasa. Untuk menentukan predikat suatu kalimat, dapat dilakukan pemeriksaan apakah ada verba (kata kerja) dalam untaian kata itu. Selain verba, predikat suatu kalimat dapat pula berupa adjektiva dan nomina.
Dalam bentuk lisan, unsur subjek dan predikat itu dipisahkan jeda yang ditandai oleh pergantian intonasi. Relasi antar kedua unsur ini dinamakan relasi predikatif, yaitu relasi yang memperlihatkan hubungan subjek dan predikat. Sebaliknya suatu unsur disebut frasa jika unsur itu terdiri dari dua kata atau lebih, tidak terdapat predikat di dalamnya, dan satu dari kata-kata itu sebagai inti serta yang lainnya sebagai pewatas atau penjelas. Biasanya frasa itu mengisi tempat subjek, predikat, objek, pelengkap, atau keterangan. Relasi kata yang menjadi inti dan kata yang menjadi pewatas/penjelas ini dinamakan sebagai atributif. Contohnya sebagai berikut.
a) Anak kecil itu // pandai sekali.
Unsur anak kecil itu (subjek) yang menjadi intinya adalah anak karena dalam unsur itu anak tidak dapat ditiadakan dan kata itu dapat mewakili unsur subjek. Demikian juga, pandai sekali intinya adalah pandai karena kata pandai tidak dapat ditiadakan dan kata itu dapat mewakili unsur predikat. Contoh di atas merupakan kalimat karena terdapat dua unsur yang menjadi syarat dari suatu kalimat. Rangkaian kata anak kecil itu mewakili unsur subjek, sedangkan pandai sekali mewakili unsur predikat.
Jika dituliskan, kalimat diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda seru, atau tanda tanya. Dengan kata lain, untaian kata yang diawali dengan huruf kapital pada kata pertama dan diakhiri dengan tanda titik, tanda seru, atau tanda tanya adalah kalimat menurut pengertian kaidah ejaan.
Untuk mengecek apakah kalimat yang dihasilkan memenuhi syarat kaidah tata bahasa, perlu dikenal ciri-ciri subjek, predikat, objek, pelengkap dan keterangan. Kalimat yang benar harus memiliki kelengkapan unsur kalimat. Selain itu pengenalan ciri-ciri unsur kalimat ini juga berperan untuk menguraikan kalimat atas unsur-unsurnya.

1. 2 Topik Bahasan
Peran S, P, O, K dalam kalimat akan dibahas dalam makalah ini. Karena begitu pentingnya unsur – unsur S, P, O, K dalam sebuah kalimat. Sehingga para pembaca diharapkan bisa mengetahui kaidah – kaidah penulisan yang benar serta mengetahui unsur – unsur sebuah kalimat. Oleh karena itu, fokus permasalahan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Ciri – ciri Subjek, Predikat, Objek, dan Keterangan.
2. Analisis Kalimat Berdasarkan Fungsi, Kategori, dan Peran S, P, O, K


1.3 Tujuan Penulisan Makalah
Makalah ini dimaksudkan untuk membahas ciri – ciri serta fungsi dan peran S, P, O, K dalam kalimat. Dalam makalah ini saya ingin memaparkan dan menunjukkan fungsi dan peran S, P, O, K tersebut dalam kaidah penulisan dalam bahasa Indonesia. Saya berharap makalah yang saya buat ini dapat membantu pembaca dalam memperoleh pengetahuan tentang sintaksis sehingga kita bisa menulis sebuah kalimat sesuai dengan kaidah – kaidah bahasa Indonesia yang benar.


BAGIAN II
PEMBAHASAN

2.1 Ciri – Ciri Subjek, Predikat, Objek, dan Keterangan
2.1.1 Ciri-Ciri Subjek
Subjek adalah unsur pokok yang terdapat pada sebuah kalimat di samping unsur predikat. Dengan mengetahui ciri – ciri subjek secara lebih terperinci, kalimat yang dihasilkan dapat terpelihara strukturnya. Jawaban atas Pertanyaan Apa atau Siapa
Penentuan subjek dapat dilakukan dengan mencari jawaban atas pertanyaan apa atau siapa yang dinyatakan dalam suatu kalimat. Untuk subjek kalimat yang berupa manusia, biasanya digunakan kata tanya siapa.
1. Disertai Kata Itu
Kebanyakan subjek dalam bahasa Indonesia bersifat takrif (definite). Untuk menyatakan takrif, biasanya digunakan kata itu. Subjek yang sudah takrif misalnya nama orang, nama negara, instansi, atau nama diri lain dan juga pronomina tidak disertai kata itu. Contoh : Kucing itu (S) mengejar tikus.
2. Mempunyai Keterangan Pewatas Yang
Kata yang menjadi subjek suatu kalimat dapat diberi keterangan lebih lanjut dengan menggunakan penghubung yang. Keterangan ini dinamakan keterangan pewatas. Contoh : Yang dibangun(S) rumah pribadi.
3. Tidak Didahului Preposisi
Subjek tidak didahului preposisi, seperti dari, dalam, di, ke, kepada, pada. Orang sering memulai kalimat dengan menggunakan kata-kata seperti itu sehingga menyebabkan kalimat-kalimat yang dihasilkan tidak bersubjek. Contoh : Di bangunan(S) itu dibuatkan jendela besar.
4. Berupa Nomina atau Frasa Nominal
Subjek kebanyakan berupa nomina atau frasa nominal. Di samping nomina, subjek dapat berupa verba atau adjektiva, biasanya, disertai kata penunjuk itu.
6. Jika diubah menjadi kalimat tanya S tidak dapat diberi partikel –kah dan tidak dapat dipertegas dengan partikel –lah
7. Bagian yang diterangkan predikat.
Subjek dapat dicari dengan pertanyaan ‘Apa atau Siapa yang tersebut dalam predikat’. Sedangkan predikat adalah bagian kalimat yang menerangkan subjek. Predikat dapat ditentukan dengan pertanyaan ‘yang tersebut dalam subjek sedang apa, berapa, di mana, dan lain-lain’.
Contoh:
Sedang belajar(P) mereka itu(S).
Fungsi tersebut bisa dibuktikan dengan pertanyaan ‘Siapa yang sedang belajar? Jawabannya ‘mereka itu’.

2.1.2 Ciri-Ciri Predikat
Predikat juga merupakan unsur utama suatu kalimat di samping subjek.
Bagian ini khusus membicarakan ciri-ciri predikat secara lebih terperinci.
1. Jawaban atas Pertanyaan Mengapa atau Bagaimana
Dilihat dari segi makna, bagian kalimat yang memberikan informasi atas pertanyaan mengapa atau bagaimana adalah predikat kalimat. Pertanyaan sebagai apa atau jadi apa dapat digunakan untuk menentukan predikat yang berupa nomina penggolong (identifikasi). Kata tanya berapa dapat digunakan untuk menentukan predikat yang berupa numeralia (kata bilangan) atau frasa numeralia.
2. Kata Adalah atau Ialah
Predikat kalimat dapat berupa kata adalah atau ialah. Predikat itu terutama digunakan jika subjek kalimat berupa unsur yang panjang sehingga batas antara subjek dan pelengkap tidak jelas.
3. Dapat Diingkarkan
Predikat dalam bahasa Indonesia mempunyai bentuk pengingkaran yang diwujudkan oleh kata tidak. Bentuk pengingkaran tidak ini digunakan untuk predikat yang berupa verba atau adjektiva. Di samping tidak sebagai penanda predikat, kata bukan juga merupakan penanda predikat yang berupa nomina atau predikat kata merupakan.
4. Dapat Disertai Kata-kata Aspek atau Modalitas
Predikat kalimat yang berupa verba atau adjektiva dapat disertai kata-kata aspek seperti telah, sudah, sedang, belum, dan akan. Kata-kata itu terletak di depan verba atau adjektiva. Kalimat yang subjeknya berupa nomina bernyawa dapat juga disertai modalitas, kata-kata yang menyatakan sikap pembicara (subjek), seperti ingin, hendak, dan mau.
5. Unsur Pengisi Predikat
Predikat suatu kalimat dapat berupa:
Kata, misalnya verba, adjektiva, atau nomina.
Frasa, misalnya frasa verbal, frasa adjektival, frasa nominal, frasa numeralia (bilangan).
6. Predikat dapat diberi partikel –kah.
Contoh:
Merka itu (S) sedang belajar(P).
Sedang belajarkah mereka itu?
Merekakah sedang belajar? (salah)

2.1.3 Ciri-Ciri Objek
Unsur kalimat ini bersifat wajib dalam susunan kalimat aktif transitif yaitu kalimat yang sedikitnya mempunyai tiga unsur utama, subjek, predikat, dan objek. Predikat yang berupa verba intransitif (kebanyakan berawalan ber- atau ter-) tidak memerlukan objek, sedangkan verba transitif yang memerlukan objek kebanyakan berawalan me-. Ciri-ciri objek ini sebagai berikut.
1. Langsung di Belakang Predikat
Objek hanya memiliki tempat di belakang predikat, tidak pernah mendahului predikat.
Dapat Menjadi Subjek Kalimat Pasif
Objek yang hanya terdapat dalam kalimat aktif dapat menjadi subjek dalam kalimat pasif. Perubahan dari aktif ke pasif ditandai dengan perubahan unsur objek dalam kalimat aktif menjadi subjek dalam kalimat pasif yang disertai dengan perubahan bentuk verba predikatnya.
1) Tidak Didahului Preposisi
Objek yang selalu menempati posisi di belakang predikat tidak didahului preposisi. Dengan kata lain, di antara predikat dan objek tidak dapat disisipkan preposisi.
2) Objek Berupa Frasa Nomina atau Pengganti Frasa Nomina
Objek mengikuti predikat yang berupa verba transitif (memerlukan objek) atau semi-transitif dan pelengkap mengikuti predikat yang berupa verba intransitif(tidak memerlukan objek).
Contoh:
a. Transitif (memerlukan objek)
1. Orang itu(S) menjual(P). (Salah)
2. Orang itu(S) menjual(P) es kelapa muda(O)
b. Semi-transitif (bisa atau tidak perlu objek)
1. Orang itu(S) minum(P).
2. Orang itu(S) minum(P) es kelapa muda(O).
3. Es kelapa muda(S) diminum(P) orang itu(O).

2.1.4 Ciri – Ciri Keterangan
Keterangan merupakan unsur kalimat yang memberikan informasi lebih lanjut tentang suatu yang dinyatakan dalam kalimat; misalnya, memberi informasi tentang tempat, waktu, cara, sebab, dan tujuan. Keterangan ini dapat berupa kata, frasa, atau anak kalimat. Keterangan yang berupa frasa ditandai oleh preposisi, seperti di, ke, dari, dalam, pada, kepada, terhadap, tentang, oleh, dan untuk. Keterangan yang berupa anak kalimat ditandai dengan kata penghubung, seperti ketika, karena, meskipun, supaya, jika, dan sehingga. Berikut ini beberapa ciri unsur keterangan.
1. Bukan Unsur Utama
Berbeda dari subjek, predikat, objek, dan pelengkap, keterangan merupakan unsur tambahan yang kehadirannya dalam struktur dasar kebanyakan tidak bersifat wajib. Keterangan adalah bagian kalimat yang menerangkan subjek, predikat, objek atau pelengkap. Berupa frasa nomina, preposisi, dan konjungsi.
2. Tidak Terikat Posisi
Di dalam kalimat, keterangan merupakan unsur kalimat yang memiliki kebebasan tempat. Keterangan dapat menempati posisi di awal atau akhir kalimat, atau di antara subjek dan predikat.
Contoh:
Dulu(Ket) orang itu(S) menjual(P) es kelapa muda(O) di jalan surabaya(Ket).

Analisis Kalimat Berdasarkan Fungsi, Kategori, dan Peran S, P, O, K
Dalam analisis fungsional klausa dianalisis berdasarkan fungsi unsur-unsurnya menjadi S, P, O, Pel dan Ket dalam analisis kategorial telah dijelaskan bahwa fungsi S terdiri dari N, fungsi P terdiri dari N, V, Bil, FD, fungsi O terdiri dari N, fungsi Pel terdiri dari N, V, Bil dan fungsi ket terdiri dari Ket, FD, N.
Fungsi-fungsi itu disamping terdiri dari kategori-kategori kata atau frase juga terdiri dari makna-makna yang sudah barang tentu makna unsur pengisi fungsi berkaitan dengan makna yang dinyatakan oleh unsur pengisi fungsi yang lain.

Contoh :
Dinda Menemani Adiknya Di tempat tidur Beberapa saat
F S P O Ket 1) Ket 2)
K N V N FD N
P Pelaku Perbuatan Penderita Tempat Waktu

Ket
F : Fungsi
K : Kategori
P : Peran

Fungsi, Kategori, dan Peran S, P, O, Pel, K dalam Kalimat
Predikat Subjek Objek (1) Objek (2) Pelengkap Keterangan
Perbuatan
Keadaan
Keberadaan
Pengenal
Jumlah
Perolehan
Sebab
Penderita
Hasil
Tempat
Penerima
Pelaku
Alat
Sebab
Penderita
Hasil
Tempat
Penerima
Objektif
Dikenal
Terjumlah Penderita
Penerima
Tempat
Alat
Hasil
Pelaku
Hal Penderita
Hasil
Alat
Penderita
Alat
Peserta
Asal
Hal
Keadaan
Jumlah Tempat
Waktu
Cara
Penerima
Peserta
Alat
Sebab
Pelaku
Keseringan
Perbandingan
Perkecualian
Tujuan
Syarat
Kondisional
Akibat
Arah

1. Makna Unsur Pengisi P
a. Menyatakan makna "Perbuatan"
Contoh : Dinda sedang belajar.
Frase sedang belajar yang menduduki fungsi P menyatakan makna "Perbuatan" yaitu perbuatan yang sedang dilakukan oleh "pelakunya" yaitu 'Dinda'
b. Menyatakan makna "Keadaan"
Contoh : 1) Rambutnya hitam dan lebat
2) Rumah itu sangat besar
3) Lukanya sangat parah
Kata-kata hitam, lebat, besar, dan parah semuanya merupakan makna keadaan.
Makna keadaan dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu :
1. Keadaan relatif singkat. Keadaan ini mudah berubah.
Misalnya :1) Rumah itu sangat bersih.
2) Kami sudah mengantuk.
2. Keadaan yang relatif lama dan kecenderungannya tidak mudah berubah. Keadaan yang semcam ini secara khusus disebut sifat. Misalnya :1) Mahasiswa itu sangat rajin.
2) Perempuan itu ramah sekali.
3) Pohon cemara itu sangat tinggi.
3. Keadaan yang merupakan runtutan perubahan keadaan yang disebut proses. Misalnya : 1) Hujannya mereda.
2) Pengaruhnya semakin meluas.
4. Keadaan yang merupakan pengalaman kejiwaan.
Misalnya : 1) Orang itu dapat memahami keinginan anaknya.
2) Setiap orang menyukai perbuatan baik.
3) Orang itu sangat sayang kepada binatang.
c. Menyatakan Makna 'Keberatan"
Contoh : 1) Para tamu di ruang depan.
2) Ariel berada diruang baca.
3) Dinda tinggal di luar kota.
Kata yang bercetak miring tersebut menjadi unsur pengisi P tidak menyatakan makna "perbuatan" dan "keadaan" melainkan menyatakan makna "keberadaan".
d. Menyatakan makna "pengenal"
Contoh : 1) Orang itu adalah pegawai kedutaan.
2) Mereka adalah mahasiswa UM.
3) Dia adalah teman kecil saya.
e. Menyatakan makna "jumlah"
Contoh :1) Rumah itu dua rumah.
2) Anak orang itu lima.
3) Kaki meja itu empat.
f. Menyatakan makna "perolehan"
Contoh :1) Ariel memiliki mobil.
2) Dinda mendapat hadiah.
3) Sayur-sayuran itu mengandung banyak vitamin.
g. Menyatakan makna “sebab”
Contoh : 1) Pedagang kaki lima menyebabkan kemacetan di jalan raya.
2) Yang menyebabkan kebakaran itu ledakan tabung elpiji.
h. Menyatakan makna “penderita”
Contoh : 1) Yang tertabrak kucing saya.
i. Menyatakan makna “hasil”
Contoh : 1) Yang dibakar sate kambing.
2) Yang tanak nasi.
j. Menyatakan makna “tempat”
Contoh : 1) Yang dikunjungi rumah nenek.
k. Menyatakan makna “penerima”
Contoh : 1) Yang dibelikan mainan robot adik saya.
2) Yang dibelikan mobil baru Luna Maya.
2. Makna Unsur Pengisi S
a. Menyatakan Makna "pelaku"
Contoh : 1) Seorang perempuan tua membeli beras.
2) Mahasiswa mengerjakan beberapa tes.
b. Menyatakan makna "alat"
Contoh : 1) Truk-truk itu mengangkut beras.
2) Sebuah gambar menghiasi kamar kerjanya.
c. Menyatakan makna "sebab"
Contoh : 1) Banjir besar itu menghancurkan kota.
2) Kamar itu panas karena perapian.
d. Menyatakan makna "penderita"
Contoh : 1) Benda itu dipukulkannya dengan batu lain.
2) Jalan-jalan sedang diperbaiki.
e. Menyatakan makna "hasil"
Contoh : 1) Rumah-rumah banyak didirikan pemerintah.
2) Novel itu dikarang oleh pengarang muda dari kalimantan.
f. Menyatakan makna "tempat"
Contoh : 1) Pantai Kuta banyak dikunjungi turis.
2) Gua itu belum pernah dimasuki orang.
g. Menyatakan makna "penerima"
Contoh : 1) Gadis itu akan dibuatkan rok oleh ibunya.
h. Menyatakan makna "objektif"
Contoh : 1) Rambutnya hitam dan lebat.
2) Lukanya membesar.
i. Menyatakan makna "dikenal"
Contoh : 1) Orang itu pegawai kedutaan.
2) Dia adalah teman saya.
j. Menyatakan makna "terjumlah"
Contoh : 1) Kaki meja itu empat.
2) Anak orang itu lima.
3. Makna Unsur Pengisi O (1)
a. Menyatakan makna "penderita"
Contoh : 1) Ia menebang pohon.
2) Seorang laki-laki menurunkan dua koper.
b. Menyatakan makna "penerima"
Contoh : 1) Ahmad membeli buku baru untuk anaknya.
2) Dinda membelikan baju baru bagi anaknya.

c. Menyatakan makna "tempat"
Contoh : 1) Banyak turis mengunjungi candi Borobudur.
2) Petani itu menanam ubi-ubian di tegalnya.
d. Menyatakan makna "alat"
Contoh : 1) Polisi menembak penjahat dengan pistolnya
2) Ia mengikatkan tali pada sebatang pohon.
e. Menyatakan makna "hasil"
Contoh : 1) Pemerintah membuat jalan-jalan baru.
f. Menyatakan makna “pelaku”
Contoh : 1) Penjahat itu ditangkap polisi.
2) Roti itu dimakan adik.
g. Menyatakan makna “hal”
Contoh : 1) Pak Hasan mengatakan bahwa mobilnya telah dicuri.
4. Makna Unsur Pengisi O (2)
a. Menyatakan makna "penderita".
Contoh : 1) Ariel membelikan anaknya buku baru.
b. Menyatakan makna "hasil".
Contoh : 1) Penjahit membuatkan kebaya ibu.
c. Menyatakan makna “alat”
Contoh : Pulsaku habis, orang itu meminjamkan hpnya
5. Makna Unsur Pengisi Pelengkap
a. Menyatakan makna "penderita".
Contoh : 1) Banyak mahasiswa belajar bahasa jerman.
b. Menyatakan makna "alat".
Contoh : 1) Ia bersenjatakan bambu runcing.
c. Menyatakan makna “peseta”
Contoh : 1) Dia bersama istrinya.
d. Menyatakan makna “asal”
Contoh : 1) Adik bersepatu kulit.
2) Luffi bertopi jerami.
e. Menyatakan makna “hal”
Contoh : 1) Kakek bercerita jaman perang.
f. Menyatakan makna “keadaan”
Contoh : 1) Presiden mengatakan bahwa keadaan para pengungsi gunung merapi sangat memperihatinkan.
2) Dia menceritakan bahwa Paris itu sangat indah kotanya.
g. Menyatakan makna “jumlah”
Contoh : 1) Ayamku betelur 5 buah.
6. Makna Unsur Pengisi KET
a. Menyatakan makna "tempat"
Contoh : 1) Aku melanjutkan kuliahku di Malang.
b. Menyatakan makna "waktu"
Contoh : 2) Bapak kepala daerah pergi ke Jakarta kemarin.
c. Menyatakan makna "cara"
Contoh : Pencuri itu lari dengan skripsi.
d. Menyatakan makna "peserta"
Contoh : Ariel senang bercakap-cakap denganku
e. Menyatakan makna "alat"
Contoh : Anak itu menulis dengan tangan kiri.
f. Menyatakan makna "sebab"
Contoh : Orang itu menjadi gila karena tekanan hidup.
g. Menyatakan makna "pelaku"
Contoh : Senayan mulai dihuni oleh beberapa olahragawan.
h. Menyatakan makna "keseringan"
Contoh : Ariel telah menyerukan kata awas beberapa kali.
i. Menyatakan makna "perbandingan"
Contoh : Ariel sangat pandai seperti kakaknya.
j. Menyatakan makna "perkecualian"
Contoh : Anak-anak itu tidak boleh masuk kecuali saya.
k. Menyatakan makna “syarat”
Contoh : 1) Dia bisa masuk asalkan tidak berisik.
2) Nanti dibelikan asal mau makan.
l. Menyatakan makna “kondisional”
Contoh : Meskipun sedang sakit, saya tetap masuk kuliah.
m. Menyatakan makna “akibat”
Contoh : 1) Pertandingan sepakbola ini ditunda akibatnya para supporter kecewa.
n. Menyatakan makna “tujuan”
Contoh : 1) Dia banyak makan untuk menjadi lebih gemuk.
o. Menyatakan makna “arah”
Contoh : 1) Para turis melepaskan para anak penyu ke laut.
2) Sore hari matahari terbenam ke arah barat.
BAGIAN III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bila menyimak uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketidakcermatan penulisan dalam sebuah kalimat akan mengakibatkan kesalahan dalam memaknai sebuah kalimat.Hal ini menimbulkan problematik sehingga perlu pelurusan dan pemecahan yang didasarkan pada kaidah-kaidah sintaksis. Pentingnya peran serta fungsi S, P, O, K dalam sebuah kalimat adalah wajib sehingga kalimat bukanlah disebut kalimat jika minimal tidak ada unsur S dan P. Pentingnya pembahasan makalah ini adalah dapat memberitahu pembaca tentang penulisan sebuah kalimat yang sesuai kaidah – kaidah sintaksis. Sehingga kesalahan dalam penulisan sebuah kalimat dapat dikurangi. Jika tidak, kesalahan tersebut akan berlangsung langgeng dan meluas di kalangan masyarakat tutur Indonesia.




Daftar Rujukan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Ibrahim, Syukur, dkk. Bahan Ajar Sintaksis Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional Universitas Negeri Malang.
Ramlan, M. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta: C.V. Karyono.
Samsuri. 1985. Tata Bahasa Indonesia Sintaksis. Jakarta: Sastra Budaya.
Sugono, Dendy. 1986. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: C.V. Kilat Grafika.
Sumadi. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia. Malang : A3.
Rusnaji, Oscar. Aspek-aspek Linguistik. IKIP Malang.
Wirjosoedjarmo. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Surabaya: Sinar Wijaya
Rusnaji, Oscar. 1983. Aspek-aspek Sintaksis Bahasa Indonesia. IKIP Malang.

Selasa, 16 November 2010

Tulang

Tulang Putih memancarkan Kabut,
Keras namun juga bisa Lembut,
TulangKu kuserahkan sebagian PadaMu,
Tulang RusukKu,
Tulang yang berada disisi HatiKu,
Kurelakkan UntukMu,
Hanya cengan itu Kita akan menjadi Satu,

Jumat, 05 November 2010

Ceroen A.A Navis : Perempuan Itu Bernama Lara

Perempuan Itu Bernama Lara


Lama juga setelah perang usai Si Dali mencari-cari dengar dimana Lara. Pada waktu dia hampir-hampir melupakannya, perempuan itu ditemuinya di Bandara Kemayoran. Pada mulanya keduanya sama terpaku ketika saling pandang seperti tidak percaya pada penglihatan masing-masing. Lalu keduanya saling menyongsong. Si Dali mengulurkan tangan untuk bersalam. Sedangkan Lara mengembangkan kedua tangannya untuk merangkul.Lalu mereka duduk bersisian sambil berbicara tentang macam-macam hal tanpa menyinggung masa lalu yang telah jauh di belakang.


Seperti tiba-tiba saja suara panggilan untuk penumpang jurusan Surabaya terdengar. Lara berdiri. Keduanya berangkulan lagi sebagai sahabat lama yang akrab. Kemudian Si Dali bertanya: "Tadi kau bicara tentang bisnis. Kalau aku boleh tahu, bisnis apa?"


"Oh. Berdagang saja."


"Dagang apa?"

"Dagang apalagi kalau sudah terlanjur dari dulu. Aku dagang diriku sendiri." jawab Lara dengan suara datar, seperti padanya tak lagi ada emosi.

Si Dali terhempas duduk ke kursinya lagi. Matanya nanap memandang Lara yang kian menjauh. Tiba-tiba dia seperti kenal betul beda sosok perempuan seperti Lara dengan perempuan karir atau perempuan rumahtangga. Seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, yang duduk pada kursi di belakangnya bertanya: "Anda kenal dia juga, rupanya?"


"Dia isteri komandan kami. Kapten. Meninggal dalam pertempuran dulu." kata Si Dali seperti kepada diri sendiri.


"Coba kalau aku tahu sebelumnya......" kata laki-laki itu tanpa melanjutkan.


"Mengapa?"

"Tak apa-apa. Akupun kapten dulunya." kata laki-laki itu seperti orang baru melewati tanjakan.


Si Dali yang dulunya seorang kopral tersentak. Naluri prajuritnya masa gerilya mendorongnya berdiri untuk memberi hormat. Tapi segera ia sadar, masa tabik-menabik telah lama lewat.


"Sejarah menghasilkan kehidupan yang tidak sama. Begitu Lara. Begitu aku. Begitu anda sendiri, barangkali. Hanya nilai moral yang tidak pernah berobah. Hanya kita yang sering lupa. Atau tidak peduli." kata laki-laki itu.


Lalu mereka berpisah ketika panggilan untuk penumpang ke Padang agar naik ke pesawat. Berpisah tanpa bersalaman. Dalam penerbangan dari Jakarta ke Padang, bayangan peristiwa lama kembali mengambang dalam mata ingatan Si Dali.



***


Tentu saja si Kapten menghiruk-pikuk, memaki-maki bahkan bercarut-carut ketika tahu isterinya minggat. Setahu orang, Lara tidak pernah bertengkar dengan suaminya. Tapi semua orang tidak yakin apabila Lara tidak pernah berselingkuh dengan laki-laki muda ganteng, yang beberapa di antaranya sering bersama Si Kapten. Apalagi sepeninggal Si Kapten pada waktu meninjau front. Biasanya Si Kapten pergi tidak kurang dari sepekan. Kadang-kadang sampai dua pekan. Karena garis frontnya memang luas dan memanjang.


Kepergian Si Kapten sekali ini tidak meninjau front. Melainkan menghadiri rapat komando. Cuma beberapa hari saja. Termasuk perjalanan dua hari pulang pergi. Lara sudah tahu itu. Apa pasal makanya dia minggat. Padahal ketika ditinggal lebih lama dia tidak kemana-mana.


"Kalau dia mau pergi, boleh saja. Masuk kota juga boleh. Perempuan tidak perlu ikut perang. Malah jadi beban. Dulu sudah aku bilang, tinggal saja di kota. Tapi dia tidak mau. Alasannya, dia tidak mau mengkhianati perjuangan. Tapi kini dia pergi. Ke kota lagi. Siapa tahu, dia sudah bosan tinggal di hutan lalu mau khianat." Si Kapten bertura-tura ketika caci-makinya mulai berkurang.


"Mana Si Dali." teriaknya kemudian.


Ketika Si Dali tiba, lalu katanya: "Cari dia sampai dapat. Paling kurang, aku tahu kemana dia pergi."

Menurut aturan dalam pasukan, bila komandan marah-marah, bawahan tidak boleh menjawab. Demikian pula apabila turun perintah, apapun macamnya harus segera dilaksanakan. Tak boleh ada pertanyaan. Kerut kening saja pun tidak boleh. Meski bentuk perintah itu demi kepentingan pribadi. Karena kepentingan pribadi akan banyak mempengaruhi mental komandan.Artinya mental komandan tidak boleh sampai kacau. Jika mentalnya sampai kacau, komandonya pun akan kacau. Perang akan kalah. Maka segera saja Si Dali menghambur.


Si Dali berjalan cepat menyusuri jalan kampung yang tak pernah terawat semenjak perang. Diapun tidak bertanya pada dirinya harus kemana mencari isteri yang minggat itu. Pokoknya ia mesti jalan tanpa memikir apa-apa. Seperti yang selalu dikatakan komandan: bahwa seorang prajurit bila da- pat perintah maju, harus maju. Meski peluru musuh berdesingan. Tidak boleh berpikir apa-apa. Walau maut tantangannya.


Karena bukan robot, akhirnya Si Dali kecapaian juga ketika jalan itu dihadang sungai kecil yang airnya begitu bening. Sambil duduk di atas batu dan menjuntaikan kaki ke air, Si Dali mulai berpikir. Dia mencoba menyelusuri saat-saat terakhir Lara dilihatnya. Yang paling dia ingat benar, perempuan itu memang cantik sekali. Rambutnya ikal. Alis matanya lebat. Dadanya penuh. Betisnya aduhai. Dia pun ingat pada suatu khayalannya, mereka mulai dari bersentuhan tangan, lalu berangkulan. Akhirnya nafas mereka sama ngos-ngosan. Ketika selesai, Lara memasangkan baju si Kapten kepadanya. Lalu melekatkan satu bintang kuning di bahunya. Bintang yang sudah lama disiapkan Si Kapten setelah tersiar cerita bahwa pangkatnya akan naik. Lalu kata Lara: "Engkau lebih hebat dari dia."

Pada saat itu si Kapten muncul. Tapi dia tidak marah. Malah berdiri tegap sambil memberi tabik kepadanya, seolah-olah Si Dali yang atasan. "Memang enak jadi komandan. Meski salah tetap dihormati." kata hati Si Dali.


Ketika dia sadar dari lamunan, hatinya berkata: "Prajurit seperti aku, memang hanya dapat berkhayal." Tak lama kemudian khayalannya berlanjut. "Masih mending berkhayal belum terlarang. Bagaimana jika khayalan itu dibolehkan pula jadi kenyataan, seperti kehidupan di luar ketenteraan? Bayangkan."


Tiba-tiba seekor kucing air muncul di permukaan sungai. Berlari masuk semak. Di moncongnya seekor ikan menggelepar-gelepar. Sesaat terlayang dalam pikirannya, ikan yang dimoncong kucing air itu ialah Lara yang berusaha lepas dari tangkapan Si Kapten.


"Bagus Lara, kalau kau bisa lepas." katanya seraya melemparkan batu ke belukar persembunyian kucing itu.


Setelah lima hari mencari tanpa tahu kemana mencari, Si Dali kembali. Mau melaporkan bahwa pencariannya gagal. Tapi kampung yang jadi pos komando sudah kosong. Tak seorang pun dijumpainya. Penduduknya pun tidak. Maka tahulah dia bahwa kampung itu ditinggalkan akibat serbuan musuh. Rumah yang ditempati Si Kapten telah menjadi puing. Hitam terbakar. Sisa apinya masih mengepulkan asap. Asap yang tipis.

Di tangga rumah di lereng bukit Lara sedang duduk termangu. Ditemani perempuan setengah baya yang berselubung kain batik lusuh. Keduanya senang melihat Si Dali datang. Si Dali pun senang, karena tugas yang diperintahkan kepadanya telah selesai. Lara telah ditemukan. Sejenak dia ragu, karena menyangkakan itu lagi-lagi khayalan belaka.


Dan malam pun tiba. Lama-lama semakin larut. Si Dali tidak bisa tidur. Lalu duduk di tangga tempat Lara duduk termanggu siangnya. Udara terasa mulai dingin. Dia mulai berkhayal, khayalan yang kian kacau. Tak bisa dibedakannya antara khayal sebagai kenyataan dengan kenyataan sebagai khayal ketika tiba-tiba Lara sudah duduk pula di sisinya. Keduanya sama diam. Tapi pikiran Si Dali tidak keruan oleh bau tubuh perempuan yang sudah lama menggemaskan hatinya itu.


"Aku tidak bisa tidur. Kau juga?" kata perempuan itu setelah lama mereka sama membisu. Pikiran Si Dali yang kacau mulai membentuk khayal laki-lakinya. Lambat laun pikiran itu tidak lagi khayalan. Kemudian sekali, di sisi perempuan baya yang mendengkur dalam tidurnya lewat tengah malam, Lara berkata sepelan bisikan ke telinga Si Dali.


"Kau tahu Si Kapten lebih doyan anak jawi*) daripada aku, isterinya?"


Si Dali mendengus.


"Kau tahu aku disuruh tiduri oleh anak jawinya sebagai imbalan?"

Si Dali mendengus lagi.


"Kau kira aku senang?"


"Dapat perjaka silih berganti, mengapa tidak senang?" kata Si Dali dalam hati.


"Aku benci digermoi suamiku. Aku muak melayani anak ingusan. Aku inginkan laki-laki matang seperti kau."


Perasaan Si Dali seperti balon hampir pecah oleh tiupan angin kencang yang berapi.

"Sejak mula kawin aku sudah curigai dia peranak jawi. Maka itu aku ikuti dia bergerilya. Supaya perangainya tidak berkelanjutan. Justru di sini aku digermoinya." lanjutnya. Setelah agak lama terdiam dia berkata lagi. "Aku pernah memancingmu. Tapi kau tidak acuh. Mengapa?" tanya Lara agak lama kemudian.


"Apalah aku, seorang prajurit kacungan. Bagaimana bisa bersaing dengan perjaka yang cakap-cakap itu." jawab Si Dali dalam hatinya. Kemudian katanya: "Engkau istri komandan. Bagaimana jadinya aku bila ketahuan. Bagaimana perang ini jadinya bila komandan dikhianati prajurit?"

"Kalau komandan mengkhianati istrinya, menjadikan anak buahnya sebagai anak jawi?" Lara berkata seperti tidak untuk dijawab.


Lama sebelum perempuan itu tidur lagi, Si Dali bertanya: "Kemana saja kau hilang beberapa hari ini?"


"Aku muak digermoi. Aku mau ke kota. Tapi di jalan aku bertemu patroli musuh. Ngeri bertemu mereka. Lebih ngeri bila mereka meniduriku. Maka aku kembali." kata Lara.


Setelah beberapa lama hening, Dali bertanya lagi: "Bagaimana cara hidupmu begini berakhirnya?"


"Aku pikir ini masih permulaan."


"Permulaan?"


*) Anak jawi = anak muda pasangan laki-laki homo.

"Kata suamiku, ia berperang karena menjadi tentera. Ia menjadi tentera untuk mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Setelah merdeka, sampailah cita-cita pemimpin bangsa. Maka tentera tidak diperlukan lagi. Dia akan jadi pengusaha untuk mengisi kemerdekaan itu, kata- nya". kata Lara dengan suara yang lusuh.


"Engkau akan jadi isteri pengusaha besar. Betapa enaknya buah kemerdekaaan itu bagimu." kata hati Si Dali.


"Aku kira aku akan merana bila dia sukses jadi pengusaha."

"Merana?" tanya Si Dali karena tidak paham.

"Kalau dia kaya, seperti halnya orang berobah nasib secara mendadak, anak jawinya akan lebih banyak. Lalu aku akan cepat menjadi tua. Mengerikan."


Hati Si Dali tersentuh hiba. Lalu dia memeluk Lara erat-erat. Mereka terbangun ketika perempuan baya membawakan mereka dua cangkir kopi panas, yang masih dapat ditemukannya pada rumah yang telah ditinggalkan penghuninya. Si Dali mencubit pahanya kuat-kuat untuk tahu apakah ia berada dalam khayalan? Cubitan itu terasa sakit. Dan tiba-tiba ada rasa rikuh karena merasa tepergoki. Tapi kedua perempuan itu tidak rikuh.


Berhari-hari kemudian terberita Si Kapten terbunuh pada suatu serangan musuh. Lara bergegas mengemasi miliknya. Lalu berangkat ke kota. Karena ditinggalkan tanpa pamit, Si Dali meyakinkan dirinya bahwa segala yang terjadi semata mimpi dari masa silam yang telah lama lewat. Mimpi yang panjang. Mimpi yang tak kunjung hilang dalam kenangan. Kenangan yang bukan peristiwa yang dapat dicatat oleh buku sejarah.



***


Ketika kakinya mencecah landasan Bandara Tabing, sejenak dia termangu. Kenangan kepada Lara ditindih oleh pikiran yang kemudian diucapkannya: "Lara berdagang dirinya untuk menggapai hidup yang lebih baik. Aku? Aku tidak berdagang, tapi tergadai. Ya, tergadai."


Demi melihat banyak orang di gedung terminal, Si Dali bertanya pada dirinya. "Apa mereka juga tergadai seperti aku? Kalau ya, apa mereka bisa menebusnya? Kalau seperti Lara, berapa lama dagangannya diminati?"


Tiba-tiba Si Dali tidak merasa kakinya di atas beton landasan. Kakinya seolah terangkat oleh pikirannya yang terbang mengawang.


1 September 1996.

Nilai-Nilai Estetis Dalam Puisi Kontemporer

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Puisi merupakan bentuk karya sastra yang tergolong paling tua. Namun, sampai sekarang tidak ada definisi yang mutlak mengenai puisi. Sejak kelahirannya, puisi memang sudah menunjukkan ciri khas seperti yang kita kenal sekarang. Meskipun puisi telah mengalami perkembangan dan perubahan tahun demi tahun, bentuk karya sastra ini memang dikonsep oleh pencipta atau penyairnya sebagai puisi dan bukan bentuk prosa yang kemudian dipuisikan. Namun secara garis besar puisi adalah karya sastra yang memiliki unsur-unsur keindahan (estetis).
Dalam sejarah perkembangan puisi, dikenal jenis puisi kontemporer. Sastra kontemporer adalah karya sastra yang muncul sekitar tahun 70-an, bersifat eksperimental, memiliki sifat-sifat yang “menyimpang” dari konvensi-konvensi sastra yang berlaku biasa atau umum. Sastra kontemporer muncul sebagai reaksi terhadap sastra konvensional yang sudah beku dan tidak kreatif lagi. Hal inilah yang membut pusi kontemporer menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Karya sastra adalah fenomena yang berbunga-bunga sehingga peneliti diharapkan dapat meneliti dan mengungkap keindahan didalamnya. Keindahan adalah ciptaan pengarang dengan seperangkat bahasa. Melalui eksplorasi bahasa yang khas, pengarang akan menampilkan aspek keindahan yang optimal. Untuk mengkaji keindahan karya sastra pendekatan yang paling tepat adalah pendekatan estetika.

B. Tujuan Hasil Penulisan Apresiasi
Penulisan hasil analisis puisi kontenporer dengan pendekatan estetis ini bertujuan untuk
1. Menyajikan unsur-unsur keindahan bentuk dan makna karya sastra.
2. Menyajikan konsep keindahan puisi kontemporer dari aspek literer
yang membentuk sutu keindahan yang utuh.


C. Pengertian Pendekatan dan Prosedur Kerja Apresiasi
Secara sepintas estetik itu sekedar mengungkap masalah unsur pembentuk seni sastra saja. Padahal, penelitian ini juga merupakan bagian dari strukturalisme murni (Endarwarsa, 2006:69). Hanya saja, jika penelitian struktualisme murni menekankan aspek hubungan antar unsur, penelitian estetik tidak demikian. Penelitian lebih difokuskan pada aspek yang menyebabkan karya sastra menjadi indah dan menarik.
Para ahli sastra mengungkapkan berbagai pengertian mengenai pendekatan estetik sebagai berikut. Menurut Endraswara (2003:69) kajian estetik hanya memfokuskan pada aspek yang menyebabkan karya sastra menjadi indah dan menarik. Menurut Wellek & Warren (Budianta: 1995) pendekatan estetik adalah kajian sastra yang memfokuskan bidang kajiannya pada unsur intrinsik yang menarik dan menyenangkan. Asumsinya bahwa karya sastra dipandang sebagai karya seni yang memiliki unsur keindahan.
Dari beberapa pengertian pendekatan Esstetik di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan estetik adalah pendekatan yang mengkaji unsur-unsur intrinsik karya sastra yang menyebabkan keindahan dan menarik. Keindahan (estetik) dalam karya sastra begitu penting keberadaannya, kerena pada hakikatnya karya sastra merupakan karya imajinatif yang menggunakan bahasa sebagai media dan memiliki nilai estetik yang dominan.
Estetika karya sastra dapat kita lihat dari struktur bahasa yang digunakan seperti bentuknya, penyusunan alur, konflik-konflik, humor, dan sebagainya. Sama seperti yang dikemukakan oleh Shanon Ahmad, di dalam puisi terdapat pemikiran, ide, emosi, bentuk, dan kesan. Dimungkinkan bahwa melalui unsur-unsur tersebut sebuah karya sastra dapat diidentifikasi konsep estetisnya.
Dalam menganalisis puisi kontemporer apresiator memanfaatkan bantuan stilistika yaitu ilmu tentang gaya (Ratna, 2009: 3).
Adapun prosedur kerja apresiasi yang perlu dilakukan adalah
1. Mengidentifikasi unsur-unsur yang memiliki keindahan literer yang membentuk satu keutuhan (unity).
2. Mengidentifikasi unsur-unsur yang secara merata tergarap dengan baik).
3. Mengidentifikasi unsur-unsur yang membentuk keselarasan (harmony)
4. Mengidentifikasi unsur yang mendapat tekanan yang tepat (right emphasis)
D. Karakteristik Puisi Kontemporer
Puisi sebagai bagian dari sastra sering mengalami perkembangan, dari segi bentuk dan nafasnya. Dalam zaman sastra lama Indonesia kita mengenal bentuk-bentuk seperti mantra, bidal, pantun, dan syair yang kemudian muncul bentuk-bentuk puisi baru pada tahun 1930-an, misalnya saja soneta, kwatren, terzina, stanza,dan sebagainya(Waluyo, 1987:17). Pada tahun 1945an, Chairil Anwar sebagai penyair garda depan saat itu memproklamasikan bentuk puisi yang lebih baru yang sering kita kenal dengan bentuk puisi bebas (Waluyo, 1987:18)
Lalu pada tahun 1973 kita dikagetkan dengan munculnya puisi-puisi dengan bentuknya yang aneh dan ganjil menurut ukuran Indonesia ykni puisi kontenporer. Puisi Kontemporer adalah bentuk puisi yang berusaha lari dari ikatan konvensional puisi iti sendiri (Waluyo, 1987:19).
Puisi kontenporer terbagi atas bebrapa jenis seperti puisi puisi konkret, puisi mbeling, dan puisi mantra. Puisi konkret Puisi konkret (poems for the eye) diartikan sebagai puisi yang bersifat visual, yang dapat dihayati keindahannya dari sudut penglihatan (Kennedy dalam Waluyo, 1995:138). Jenis puisi ini mulai dipopulerkan sejak tahun 1970-an oleh Sutardji Calzoum Bachri.
Pusi mantra menganggap arti kata itu menindas kebebasan kata-kata dengan memberinya beban makna bisa berasal dari dalam bahasa, seperti semantik atau sintaksis, tetapi dapat pula berasal dari lingkungan luar bahasa, seperti konvensi sosial, kekuasaan politik, atau norma-norma moral.
Mengikuti Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna. Proposisi-proposisi tentang pemikirannya ini kemudian dirumuskannya dalam sebuah manifesto yang dikenal sebagai Kredo Puisi.
Kredo puisi sebenarnya mengandung beberapa ketidak jelasan. Bagaimanapun juga kata adalah alat, yang pada dasarnya digunakan oleh penyair dalam hal ini Sutadji, untuk menyampaikan pokok-pokok pikirannya. Kata tanpa pengertian jelas tidak mungkin. Jikalau kata itu masih punya makna leksikal. Sehingga secara otomatis jika kata sedah dianggap tidak mempunyai pengertian lagi maka ia skehilanggan cirinya sebagi suatu bahasa. Melainkan hanya bunyi saja (Teeuw, 1983: 148). Sajak seperti itu lebih tepat dikatakan mendekati pengertian musik, seni musik, dari pada puisi. Aspek distingtif sebagai bahasa hilang dan dalam praktek ternyata puisi seperti itu. Sajak sajak itu bersifat vokalis saja.
Puisi mbeling adalah puisi yang berisi kelakar, ejekan, kritik. Puisi mbeling adalah bagian dari gerakan mbeling yang dicetuskan oleh Remy Sylado, suatu gerakan yang dimaksudkan untuk mendobrak sikap rezim Orde Baru yang dianggap feodal dan munafik (Silado, 2004: 2). Puisi mbeling hendak mendobrak pandangan estetika yang menyatakan bahwa bahasa puisi harus diatur dan dipilih-pilih sesuai stilistika yang baku. Pandangan ini, menurut gerakan puisi mbeling, hanya akan menyebabkan kaum muda takut berkreasi secara bebas. Sehingga dalam puisi mbeling diatas bahkan tidak terlalu dipusingkan dengan pengunaan bunyi, irama, asonansi, aliterasi, diksi dan gaya.
Pengarang Sutardji mulai tidak mempercayai kekuatan kata tetapi dia mulai berpaling pada eksistensi bunyi dan kekuatannya. Danarto justru memulai dengan kekuatan garis dalam menciptakan puisi. Puisi kontemporer memang cenderung berbentuk aneh dan ganjil. Di samping Sutardji dan Danarto, juga Sapardi Djoko Damono, penyair lain mencanangkan bentuk puisi ganjil adalah Ibrahim Sattah, Hamid Jabar, Husni Jamaluddin, Noorca Marendra, dan sebagainya.
Lebih jauh boleh dikatakan bahwa puisi kontemporer seringkali memakai kata-kata yang kurang memperhatikan santun bahasa, memakai kata-kata makian kasar, ejekan, dan lain-lain. Pemakaian kata-kata simbolik atau lambang intuisi, gaya bahasa, irama, dan sebagainya dianggapnya tidak begitu penting lagi.
Puisi kontemporer digolongkan ke dalam periode 70-an. Tema yang sering diangkat dalam decade ini dantaraya tema protes yang ditujukan kepada kepincangan sosial dan dampak negatif dari industrialisasi, tema humanisme yang mengemukakan kesadaran bahwa manusia adalah subjek pembangunan dan bukan objek pembangunan.
Tak lupa juga tema religious yang cenderng mistik, tema yang dilukiskan melalui alegori dan parable, tema tentang perjuangan menegakkan hak-hak azasi manusia berupa perjuangan untuk kebebasan, persamaan hak, pemerataan, dan bebas dari cengkeraman dari teknologi modern.Tema kritik sosial terhadap tindakan sewenang-wenang dari mereka yang menyelewengkan kekuasaan dan jabatan.
Adapun Ciri-ciri puisi dekade 70an yaitu Puisi bergaya mantra dengan sarana kepuitisan berupa pengulangan kata, frasa, atau kalimat. Gaya bahasa paralelisme dikombinasi dengan gaya bahasa hiperbola dan enumerasi dipergunakan penyair untuk memperoleh efek pengucapan maksimal. Tipografi puisi dieksploitasi secara sugestif dan kata-kata nonsens dipergunakan dan diberi makna baru.
Untuk mengapresiasi puisi diatas, terlebih dahulu kita harus mengerti konsep tentang stilistika. Sebelum ada istilah stilistika bahasa sudah terlebih dahulu memiliki gaya. Gaya bahasa akhirnya punya kekhasan dan menyimpan autonomaly of the estetik (Endrawarsa, 2006:71). Gaya bahasa sastra yang kuat menarik untuk diteliti khususnya dari aspek stilistika. Analisis stilistika mengkaji puncak kehebatan penulis menggunakan gaya bahasa sastra. Gaya bahasa sastra berbeda dari gaya bahasa yang digunakan setiap hari.
Kata-kata dari bahasa daerah banyak dipergunakan untuk memberi efek kedaerahan dan efek ekspresif. Asosiasi bunyi banyak digunakan untuk memeroleh makna baru. Banyak digunakan gaya penulisan prosaic. Banyak menggunakan kata-kata tabu. Banyak ditulis puisi lugu untuk mengungkapkan gagasan secara polos.

ANALISIS PUISI KONTENPORER DENGAN PENDEKATAN ESTETIS

HUSSPUSS
husspuss 1
Diamlah
Kasihani mereka
Mereka sekedar penyair
Husspuss 5
Maafkan aku
Aku bukan penyair sekedar
Aku depan
Depan yang memburu
Membebaskan kata 10
memanggilMu
pot pot pot
pot pot pot
kalau pot tak mau pot
biar pot semau pot 15
mencari pot
pot
hei Kau dengar mantraku
Kau dengar kucing memanggilMu
Izukalizu 20
Mapakazaba itasatali
tutulita
Papliko arukazuku kodega zuzuzkalibu
Tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
Zuzuzangga zegezegeze zege 25
Zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
Ga zegezegeze zukuzangga zegrzegeze zu
Kuzangga zegezegeze aahh...!
Nama nama kalian bebas
Carilah tuhan semaumu 30


Sutardji Calzoum Bachri
Amuk

Puisi Husspuss ini, larik 20 sampai 28 terdiri dari kata yang hanya bunyi-bunyi bahasa yang tidak mempunyai pengertian. Kata-kata itu asing dalam bahasa indonesia dikaji dalam berbagai segi. Panjang kata yang terdiri dari 4-7 suku kata, Rentetan suku katanya berupa urutan konsonan dan vokal secara berurutan dengan pola vkvkvkv. Pengulangan bunyi pot dari larik 12-17 yang kurang jelas maknanya. Sehingga terdapat asonansi bunyi /o/ yang dominan di baris ke 12-17. Bunyi /o/ berkesan pokok dan kokoh. Struktur fonem yang didominasi /e/, /u/ dan/z / pada baris ke 25-28 memberikan kesan murung, lemah gemulai dan berdesis. Penggunan bunyi-bunyi seperti ini tidak lazim dalam bahasa indonesia.
Seandainya ada sajak yang terdiri dari bunyi-bunyi seperti ini saja tanpa ada kata yang punya penegertian maka akan sulit sekali untuk melakukan interpretasi. Puisi itu menarik karena keestetisannya. Segi estetis yang ditimbulkan karena keanehan yang diciptakan. Dalam keadaan tertentu unsur bunyi dapat berfungsi tanpa makna, namun hal itu hanya akan tercipta jika ada konvensi (kesepekatan) pengetahuan pada pihak pembaca jika kata yang tidak bermakna itu bisa dan harus diberi makna, hal seperti ini oleh Herman J. Waluyo disebut sebagi penyimpangan bahasa.
Penyimpangan bahasa sering menjadi ciri dari suatu periode sastra. Dalam puisi Husspuss mengalami 3 buah penyimpangan bahasa. Pertama penyimpangan leksikal yakni kata-kata yang digunakan dalam puisi menyimpang dari kata-kata yang kita pergunakan sehari-hari. Sutadji memilih kata-kata yang sesuai dengan pengucapan jiwanya dan disesuaikan dengan tuntutan estetis.
Kedua adalah penyimpangan sintaksis. Puisi tidak membentuk kalimat. Namun membentuk larik-larik. Dapat kita lihat jika sutardji sering kalap dalam menggunakan huruf kapital pada awal larik dan mengakhirinya dengan titik. Bahkan tidak ada sama sekali yang mengunakan kaidah ini dan yang terakhir penyimpangan grafologis. Dalam menulis kata-kata, kalimat, larik dan baris, penyair sengaja melakakukan penyimpangan dari kaidah bahasa yang sudah berlaku. Huruf kapital dan tanda baca tidak digunakan sebagai mana mestinya. Hal ini dilakukan oleh penyair untuk mendapatkan efek estetis. Penyimpangan sistem tulisan seperti in biasa disebut penyimpangan grafologis.(Teew, 1983:149 )
Pembebasan kata yang dimaksudkan masih memungkinkan kelonggaran penyimpanagan bahasa yang ada batasnya untuk termungkinkanya komunikasi. Walau bagaimanapun juga kemungkinan berkomunikasi dengan pembaca harus tetap dipertahankan. Untuk menghindari cap puisi gelap. Walaupun predikat puisi gelap itu bisa berbeda dari satu orang ke orang lain, sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya.
Dalam puisi indonesia modern mungkin sekali Sutardjilah yang paling berani menyimpang kebiasaan kode dan norma kebahasaan bahasa Indonesia. Sutardji sendiri mengatakan puisinya mantra, alat bahasa yang gaib, yang memungkinkan manusia menghubungi atau menguasai dunia yang di luar kemampuannya atau jangkauanya yang normal. Namun juga tidak berarti bahwa sajak Sutardji sama sekali keluar dari konvensi bahasa. Sebab dalam hal Husspus pun penyimpangan hanya mungkin berkat kode yang ada. Pemberontakan hanya akan ada jika ada yang “diberontaki”. Dan interpretasi penyimpangan dan pemberontakan hanya mungkin dalam relasi dan kontras dengan apa yang disimpangi.
Secara garis besar unsur keidahan yang menonol dalam pusi Husspuss ini adalah unsur diksi yang tidak lazim dan berusaha membebaskan diri dari konvensi tata bahasa yang lazim digunakan. Namun marilah kita liahat bebrapa cuplikan larik puisi Husspuss dibawah!

Diamlah 2
Kasihani mereka
Mereka sekedar penyair
Husspuss
Maafkan aku
Aku bukan penyair sekedar
Aku depan
Depan yang memburu
Membebaskan kata
memanggilMu 11

Kau dengar kucing memanggilMu 19

Nama nama kalian bebas 29
Carilah tuhan semaumu 30

Larik-larik di atas bisa disebut biasa dan sederhana saja bagi orang yang interpretasinya berskala tertentu. Namun tidak dapat ditampik jika dalam puisi Husspuss juga terdapat kata-kata yang aneh. Untuk memperkaya pengetahuan kita tentang uisi mantra mari kita lihat puisi O dibawah ini.

O
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O...


(Sutardji Calzoum Backri)

Dalam puisi O ini Sutardji memilih diksi yang yang tepat. Seperti apa yang dia katakan bahwa kata itu adalah pengertian itu sendiri tidak harus bermakna lain. Sehingga dalam puisinya ini hanya ada makna denotasi.
Dalam puisi ini kata-kata yang digunakan Sutardji adalah kata-kata yang bisa digunakan dalam bahasa sehari-hari. Tetapi ada kata yang berasal dari bahasa daerah antara yaitu bahasa Jawa, terlihat pada kata ”bolong” yang berarti berlubang.
Disisi lain hanya sedikit kata yang menimbulkan efek efoni (tehnik memindahkan bunyi) antara lain duhairindu, duhaingilu, duhaisangsai, orindu, obolong, dan orisau. Sehingga puisi tersebut tidak terlihat kemerduannya.
Walaupun banyak terdapat asonansi seperti

Dukaku dukakau dukarisau
Resahku resahkau resahrisau resahbalau
Raguku ragukau raguguru ragutahu
Mauku maukau mautahu mausampai.......maugapai
Siasiaku siasiakau.....siasiabalau siasiarisau
Waswasku waswaskau
Duhaiku duhaikau duhairindu duhai ngilu

Asonansi yang ada tersebut tetap saja menimbulkan efek kakafoni. Karena kesan bunyi indahnya seperti bunyi dalam mantra jadi terkesan biasa dan tidak merdu. Begitu juga pada iramanya paduan bunyi itu hanya membuat irama yang datar-datar saja sehingga tak ada luapan-luapan emosi yang bisa mempengaruhi irama.
Bahasa kiasan yang ditampilkan adalah repetisi, yakni pengulangan kata guna menekankan arti pada kata itu. Seperti tekanan pada kata ”duka” yang diulang sampai lima kali terlihat kalau sang penyair sedang mengalami duka entah duka pada dirinya, pada kau atau mungkin kekasihnya, duka pada temannya ataupun duka seekor kucing.
Begitu juga penekanan pada kata resah, ragu, mau, sia-sia, waswas, duhai, dan o adalah sebuah tekanan yang memberi makna lebih pada duka, keresahan yang akhirnya menimbulkan ragu dan juga keingintahuan walaupun itu hanya sia-sia dan membuat waswas. Pengulangan kata itu merupakan penekanan juga pada artinya.
Dalam puisi O ini terdapat beberapa pencitraan antara lain, gerak, pedengaran, perasa dan penglihatan. Gerak terlihat dari kata”maugapai” karena seakan kita bergerak untuk menggapai harapan itu. Pendengaran terlihat dari kata ”dukangiau” karena kata ngiau disitu adalah suara hewan yakni kucing sebagai suatu bahan perbandingan. Indera perasa juga terasa dilibatkan dalam kata ”duhaingilu” sehingga pembaca seakan ikut merasa ngilu dengan membaca puisi tersebut. Selain itu juga ada pencitraan penglihatan pada kata ”okosong” dan ”obolong” karena kosong dan bolong itu hanya bisa diketahui dangan melihat suasana.
Semuanya merupakan pencintran yang bertujuan membawa pembaca dengan segenap inderanya sehingga bisa merasakan sakit dan kehampaan yang ada dalam puisi tersebut. Dengan melibatkan indera bisa dirasakan dengan seluruh imajinasinya apa yang ada dalam puisi tersebut.
Kata-kata yang seakan berupa mantra itu merupakan ekspresi dari doa. Penyair merasa duka, resah dan ragu yang mendalam. Perasaan inilah yang membuat penyair berkeinginan untuk mencapainya walaupun semuanya harus sia-sia.
Semuanya hanya tinggal perasaan waswas dan kehampaan. Kehampaan yang dirasakan itu dilambangkan dengan kata bolong dan kosaong yang seakan-akan seperti huruf O. Jadi sebenarnya huruf O adalah penggambaran dari perasaan hampa dan kosong sang penyair.
Selain itu kata-katanya yang seperti mantra seakan-akan menyiratkan bahwa puisi itu adalah doa. Hingga puisi itu merupakan hakikat dari Tuhan dan dosa. Tentang bagaimana manusia merasa berdosa dengan segala keresahan dan kesedihan sehingga semuanya hanya bisa dikembalikan pada Tuhan.
Sajak ini menggambarkan suasana optimis pada penyair. Suasana optimis ini berubah menjadi absurd, karena walaupun sudak merasa tidak mungkin tetapi masih ada usaha untuk mengapai semua itu. Dengan keyakinan semuanya akan bisa tercapai walaupun itu juga tak mungkin.
Sajak ini kata-katanya dikuai oleh emosi dan rasio yang tak menentu sehingga menjadi sebuah misteri. Karena semuanya seakan hanya sebuah misteri yang seakan-akan semuanya itu sulit untuk dipahami dan terlihat tidak komunikatif. Kandungan yang tak kalah kayanya dari puisi O dapat dilihat dalam puisi mantera.

MANTERA

lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi (5)
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka

puah!
kau jadi Kau! (10)
Kasihku

Dilihat dari bentuk sajaknya, sajak ini terdiri dari dua bait yang tidak
simetris. Bait pertama terdiri dari delapan larik dan yang ke dua terdiri
dari tiga larik. Keadaan tak sebanding ini memberi kesan berat, adanya
tekanan. Sesuai dengan judul, maka interpretasi yang timbul kemudian
adalah adanya masalah, dan untuk mengembalikan pada keadaan semula,
pada harmoni, diperlukan mantra.
Dilihat dari rimanya, tidak banyak rima yang terdapat pada larik-larik
awal atau akhir seperti yang biasanya terdapat pada sajak tradisional, tetapi
persamaan bunyi vokal selarik atau asonansi banyak ditemukan. Memang,
mantra pada prinsipnya adalah permainan bunyi
Sajak yang terdiri dari duapuluh delapan kata inihanya mengandung dua verba yang salah satunya merupakan bentuk pasif (dicabik), sedangkan yang lain merupakan bentuk nomina dan adjektiva. Hal ini memberi kesan statis seperti juga dukun yang sedang mengucapkan mantra di depan kemenyannya. Meskipun demikian tak adanya tanda baca selain dua tanda seru, serta tiadanya huruf besar, menimbulkan kesan adanya suatu gerakan yang tak berhenti, bagaikan asap yang mengepul tinggi.
Sementara itu, kedua tanda seru menunjukkan fungsi ekspresif yang kuat.
Selanjutnya, sebagaimana telah dikatakan di atas, judul sajak ini adalah “Mantra”. Apabila kita perhatikan, semua kosakatayang digunakan sangat mendukung hal ini. “lima percik mawar” adalah air mawar yang biasa digunakan oleh sang dukun dalam berdoa, demikian pula “tujuh sayap merpati”. Pada umumnya yang digunakan sebagai korban adalah ayam hitam namun di sini digunakan jenis unggas lain, yaitu merpati. Ini menunjukkan bahwa Sutardji ingin menunjukkan bahwa tidak selalu hitam itu simbol keburukan. Selanjutnya frase “sesayat langit perih” menunjukkan adanya suatu kesakitan atau kesedihan yang membutuhkan mantra.
Sajak ini juga menarik dari aspek pragmatisnya, karena apabila bait pertama dikemukakan oleh pencerita, untuk menampilkan keadaan sang dukun yang sedang berdoa, maka bait kedua hanya berisi komunikasi langsung antara
dukun dengan penguasa alam semesta. Itulah sebabnya bagian ini sangat
ekspresif. Seruan “Puah” dilontarkan sang dukun pada akhir doanya,
biasanya disertai ludah yang dianggap mempunyai kekuatan gaib, kekuatan
penyembuh.. Maka “kau” yang ditampilkan dengan huruf “k” kecil, berubah
menjadi “Kau” dengan huruf “besar”, artinya si dukun telah berhasil
menyatu dengan penguasa alam semesta yang disebutnya dan dianggapnya
sebagai “Kasihku”.


SEPISAUPI
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi (5)
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi (10)
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
(Sutardji C. Bachri 1973)
Berangkat dari penyusunan kata, puisi ini sangatlah khas yaitu pada permainan bahasa yang digunakan. Hal tersebut dapat dilihat pada penggabungan beberapa kata sekaligus, seperti
sepi + pisau → sepisau
sepi + pikul → sepikul
sepi + pukau → sepukau
sepi + pisau + apa → sepisaupa
sepi + pisau + api → sepisaupi
Pertautan-pertautan kata tersebut menimbulkan suatu kata baru yang unik. Sehingga hal itu mengharuskan pembaca untuk keluar dari frame pemaknaan konvensional.
Luka bersanding dengan duri, dosa dengan sepi, duka dengan diri, sepi dengan nyanyi, diri dengan duri, pasangan-pasangan kata yang membuat pembaca harus merekonstruksi ulang mengenai pemaknaan kata yang telah terekam dalam memori. Lebih jauh di sinilah kekuatan Sutardji untuk mengeluarkan kata dari beban makna yang disandang selama ini. Kata-kata tersebut menghasilkan bentukan kata dan makna yang lain.
Dari segi unsur bentuk, keindahan puisi tersebut terlihat pada perualangan bunyi yang ditimbulkan dari rima.Rima puisi ini digarap sangat mengesankan oleh Sutardji, dengan menggunakan pola rima a a, yaitu di setiap akhir larik puisi ini diakhiri dengan bunyi i. Sehingga menimbulkan suasana bunyi yang merdu dan indah.
Permainan kata yang dilakukan Sutardji banyak kita dapati dalam puisi ini. Yang paling menonjol adalah pada kata sepisaupi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kata ini merupakan hasil dari penggabunngan beberapa kata. Kata tersebut yaitu /sepi/, /pisau/, /api/. Jika kita perhatikan setiap kata tersebut mengandung vokal i.
Selain itu puisi ini banyak menggunakan bunyi konsonan s dan p. Efek /s/ dan /p/ pada “sepisaupi” menimbulkan efek magis dan efek penggunaan fonem tersebut berpengaruh pada pengucapan puisi yang dibaca dengan cepat dan terdengar seperti mantra. Pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan atau keindahan bunyi. Terdapat pada kata,

Sepisaupa
Sepisaupi
Sepisapanya

Pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Terdapat pada kata,

sepisaupa
sepisapanya
nyanyi

Unsur Nada dan Suasana puisi yang terlukiskan pada puisi tersebut adalah suasana magis. Efek magis ditimbulkan Sutardji melalui pengulangan kata serta pengobrak-abrikan kata dalam puisi sepisaupi ini. Kata sepisaupi jika didengarkan seperti mantra. Hal itu dikarenakan penggabungan kata-kata sepi dan pisau jika dibaca tanpa putus kita akan dapat menangkap makna dari sepi dan pisau itu. Efek /s/ dan /p/ pada “sepisaupi” menimbulkan efek magis, dan efek penggunaan fonem tersebut berpengaruh pada pengucapan puisi yang dibaca dengan cepat dan terdengar seperti mantra.
Efek magis yang murni pada puisi tersebut juga dapat kita lihat dari pengulangan-pengulangan (repetisi) seperti pada mantra. Sepisau, sepisaupa, sepisaupi, begitu banyak diulang-ulang dalam puisi ini. Bila diperhatikan lebih lanjut, efek yang diperoleh dari perulangan kata-kata yang tidak jelas artinya ini seakan-akan menunjukkan sesuatu yang gaib.
Dalam puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan serta untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran). Hal tersebut juga dapat dilihat dari bait kedua yang isinya tak jauh beda, yaitu menceritakan tentang sebuah penderitaan “sepikul diri keranjang duri”. Larik tersebut mengandung majas hiperbola, yang digunakan untuk memperkuat makna penderitaan yang luar biasa.
Unsur dominan yang mampu menunjukan konsep estetis dalam puisi “Sepisaupi” adalah bunyi. Secara estetis puisi ini memiliki bentuk puisi yang sedikit beda, tidak ada kateraruran yang ada dalam bentuknyata dapat dikatakan berbentuk bebas.
Meskipun pengarang banyak menggunakan kata-kata yang tabu , tetapi hal itu tidak mengurangi nilai keindahannya. Malah mebuat puisi ini semakin menarik dan memiliki kesan yang berbeda.
Jadi nilai estetis yang terdapat pada puisi Sepisaupi karya Sutardji ini dilihat dari segi karakteristik bahasanya, meliputi diksi, bunyi, dan sarana retorika (repetisi), sedangkan dari segi karakteristik bentuknya, meliputi rima dan bentuknya yang bebas.
Selanjutnya adalah puisi konkret. Contoh puisi konkret adalah puisi legendaris “Tragedi Winka Sihka”

TRAGEDI WINKA & SIHKA

kawin
kawin
kawin
kawin
ka
wi
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku

Puisi karya Sutardji Calzoum Bachri ini termasuk salah satu puisi kontemporer. Pada periode ini, puisi yang diciptakan memiliki banyak kesamaan, misalnya bentuk yang tidak beraturan yakni bebas sesuai dengan selera sang penyair. Bila dalam puisi sebelumnya (Chairil Anwar) sangat menempatkan makna dan isi puisi menjadi hal terpenting, tidak dengan Sutardji, ia ingin menempatkan bentuk puisi (fisiknya). Ia ingin menempatkan puisi yang sama dengan mantra, dengan adanya pengulangan kata, frasa, dan bunyi. Di samping itu, ia juga mengutamakan bentuk fisik berupa tulisan-tulisan yang mengandung maksud tertentu seperti yang tercermin pada syair di atas.
Kata inti dari syair tragedi sihka winka adalah kata kasih dan kata kawin. Tema syair ini adalah perjalanan hidup yang sengsara dengan banyak marabahaya. Ekspresi yang terkandung di dalamnya adalah makna nonsense dan tipografi yang penuh makna.
Kata kawin, kasih, winka, sihka, ka – win, dan ka – sih adalah tanda-tanda bermakna. Logika tanda itu sebagai berikut: bila kata itu utuh, sempurna seperti aslinya, maka arti dan maknanya sempurna. Bila kata-kata dibalik, maka maknanya-pun terbalik, berlawanan dengan arti kata aslinya. Dalam kata “kawin” terkandung konotasi kebahagiaan, sedangkan “winka” itu mengandung makna kesengsaraan. “Kawin” adalah persatuan, sebaliknya “winka” adalah perceraian. “Kasih” itu berarti cinta, sedangkan “sihka” kebencian. Bila “kawin” dan “kasih” menjadi “winka” dan “sihka” itu adalah tragedi kehidupan. Targedi mulai terjadi ketika “kawin” dan “kasih” tidak bisa dipertahankan dan terpecah menjadi sih – sih, kata tak bermakna, yang menunjukkan hidup menjadi sia-sia belaka.
Sedangkan penulisan puisi tragedi winka sihka yang disusun secara zig zag ini membuat bentuk puisi ini berbeda dengan yang lain. Justru bentuk yang berbeda dengan yang lain ini yang membawa nilai estetik tersendiri, karena penyair mempunyai makna tersendiri dengan susunan bentuk yang ia ciptakan, yakni sebuah tanda yang merupakan suatu lambang keliku-likuan suatu perjalanan yang penuh dengan bahaya. Dengan kata lain, bentuk larik dan kata dalam puisi tersebut membentuk makna yang tersembunyi. Hanya penyairlah yang tahu maksudnya. Sebagai pembaca, kita dapat memaknai kata-kata yang tertulis dalam larik-larik puisi itu.















Q

! !
! ! !
! !! ! ! !
!

! a (5)
Lif ! !
l
l a
l a m
! ! (10)


mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
iiiiiiiiiiiii
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
(Suradji c. Bachri)

Puisi di atas bila disingkat menjadi "Q : alif lam mim". Hal itu jelas meunjukkan puisi ini mengutip salah satu ayat dalam Al Quran. Beberapa ayat dalam Al Quran yang berupa huruf-huruh hijaiyah tanpa harakat, misalnya : tho ha, lam mim shod, dan lain-lain.
Tipografi puisi sebagaimana tertulis di atas sebagaimana pembacaan kalau qiraah. Ayat ini terpampang jelas pada Al Baqarah ayat pertama. Keunikan bentuk pada puisi ini memiliki daya tarik tersendiri.
Lif
l
l a
l a
Bentuk tersebut seperti sebuah selurutan, yakni I dan a yang semakin menurun. Jika kita maknai, dalam kehidupan kita tidak selalu berada diatas namun bias jatuh juga.
! a
Lif
l
l a
l a
Jika kita amati lagi bentuk ini seperti sebuah jalan yang bercabang, hal itu bias dimaknai bahwa dalam hidup seringkali kita dihadapkan pada beberapa pilihan, maka kita harus bisa menentukan pilihan yang terbaik dalam hidup kita.
! a
Lif ! !
l
l a
l a m
! !
Bentuk tersebut seperti orang yang sedang bersujud, hal itu menunjukkan bahwa makhluk hidup senantiasa bersujud pada Tuhan.
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
iiiiiiiiiiiii
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
Bunyi panjang saat melafalkan harokat mim pada saat membaca alif lam mim, digambarkan penyair dengan menggunakan rentetan-rentetan bunyi tersebut. Dan bentuk dari rentetan bunyi tersebut melambangkan panjang usia manusia dan usia manusia hidup di dunia tidaklah sama
Dalam puisi tersebut terdapat huruf m sebanyak 28 kali (jumlah huruf hijaiyah), i sebanyak 13 kali (sifat wajib Allah), m sebanyak 33 kali (zikir dalam sholat). Huruf M yang berjumlah 28 tersebut melambangkan tingkat iman manusia mula-mula. Huruf i sebanyak 13 melambangkan ujian keimanan oleh Allah SWT dan m sebanyak 33 melambangkan tingkat iman manusia seusai mendapatkan ujian.
Puisi Q ini menunjukkan bahwa Allah sengaja tidak memberitahukan maknanya secara langsung. Penyair ingin menggambarkan bahwa Allah memberikan teka-teki kepada manusia. Dalam hal ini, Allah hanya memberikan isyarat konsonan dasarnya dan kita yang memaknainya.
Letak keindahan dari puisi ini bisa kita lihat dari segi bentuknya. Melambangkan masjid dan jika dilihat dari samping terdapat lafadz Allah. Jadi pengarang menyampaikan pesan yang ingin disampaikannya melalui symbol-simbol dan bentuk.
Selanjutnya akan dibahas jenis puisi kontenporer lainya. Yakni puisi mbeling contoh puisi mmbeling dapat dilihat di bawah ini.
Sajak Sikat Gigi

Seseorang lupa menggosok giginya sebelum tidur 1
Di dalam tidur ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya
terbuka

Ketika ia bangun pagi hari 5
Sikat giginya tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali

Dan ia berpendapat bahwa, kejadian itu terlalu
berlebih-lebihan 10

(Yudistira Adi Nugroho 1974)

Secara sekilas puisi mbeling di atas tidak berbeda dengan cerita humor yang disampaikan dengan bahasa lugas dalam kehidupan sehari-hari. Gaya penulisan prosaik begitu tertonjol. Puisi yang terdiri dari 10 baris di atas memiliki keanehan yang mencuat di baris ke 7 dan 8 yang terlebih dahulu dirangsang oleh baris 5 dan 6. Cerita seperti itu mungkin tidak akan pernah terjadi dalam kehidupan nyata. Sungguh khayal dipikirkan jika sebuah sikat gigi datang dalam mimpi seseorang karena orang itu lupa menyikat gigi sebelum tidur. Apalagi saat pagi tiba sikat gigi itu hilang sepotong karena tersesat didalam mimpi.
Namun akan terlalu dangkal jika puisi terbaik tahun 1976-1977 Dewan Kesenian Jakarta itu dimaknai sesedarhana itu. Keluguan yang disampaikan sampai pada titik nekad. Tampaknya sudah tidak memperdulikan lagi apakah yang tertulis diatas sebuah sajak atau hanya petualangan yang tidak pernah dilakukan oleh penyair-penyair yang berbobot.
Struktur batin dari puisi diatas kurang lebih dapat dimaknai sebagai suatu hal yang terkadang kecil tapi jika dilupakan akan mengakibatkan hal yang buruk. Contoh yang diangkat dalam puisi adalah sikat gigi, sepele bukan, namun jika tidak dilakukan maka ribuan kuman akan bersarang dimulut kita saat tidur malam. Begitu juga hal-hal kecil yang sering terabaikan dalam hidup, saat hal-hal kecil itu bertumpuk maka akan membuat satu kekuatan yang akan merepotkan.
Meskipun sebagian orang belum bisa menerima kehadiran puisi semacam ini dalam kesusastraan yang serius, namun tidak dapat dipungkiri jika kehadirran sajak semacam ini memberikan corak baru dalam perpuisian Indonesia. Dalam Sajak Sikat Gigi pemanfaatan potensi bahasa sebagai rangkaian bunyi-bunyi, baik menyangkut makna atau tidak, terlihat pada persajakan.

Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya
terbuka

Secara sekilas dapat kita lihat adanya majas personifikasi. Karena hanya manusia atau individu bernyawa yang dapat melakukan aktifitas “mengosok-gosok”. Sikat gigi bukanlah mahluk hidup maka terjadi majas personifikasi. Namun dapat jika ditelaah lebih dalam lagi puisi Sajak Sikat Gigi sama sekali tidak mengandung majas. Meskipun kegiatan mengosok-gosok hanya bisa dilakukan oleh mahluk hidup tetapi dalam mimpi tokoh yang diceritakan hal itu benar-benar terjadi. Ia berdiri untuk pengertian yang sesunguhnya. Bait terakhir yang terdiri dari dua baris merupakan kesatuan bulat yang mengikat bait-bait diatasnya. Bait itu menjadi semacam kesimpulan dari uraian diatasnya. Dalam narasi biasa disebut ending.
Sayangnya kesadaran tentang hal-hal kecil seperti ini selalu di abaikan sebagai suatu hal yang sepele dan khayal terjadi. Hal ini terlukis dalam bait terakhir sebagai ending dari puisi bergaya prosaik ini. Selain menonjol dalam hal gaya kepenulisan, ada pula puisi mbeling yang menonjol dalam hal diksi seperti dibawah ini
Puisi buat pacarku

Duhai pacarku,
Yang pesek
Sebetulnya ik enggak ngebet
Ama situ
Tapi apa daya
Babemu kaya
Nanti kita berbulan madu
Pakek corolla
Ke neraka!
(Amin Subagio, 1976)

Dari segi bahasa yang dipergunakan dalam Puisi Buat Pacarku sudah sangat jelas bahasa yang digunakan bukan bahasa Indonesia dalam ragam yang baku. Bahasa yang digunakan itu lebih dekat dengan bahasa sehari-hari. Kata-kata sehari-hari dan kata-kata yang berasal dari bahasa daerah banyak kita jumpai dari sajak itu. Yaitu pengunaan bahasa indonesia dialek Jakarta. Misalnya ik, enggak.ngebet, dan babe. Pengunaan bahasa sehari-hari seperti itu dan bahasa yang terpengaruh oleh bahasa daerah terasa lebih akrab, lebih memasyrakat, dan lebih nakal.
Sedang maknanya secar eksplisit menampar kebanyakan manusia jaman sekarang yang memilih jodoh. Harta menjadi ukuran yang pertama kali dilihat sebelum mengiyakan sebuah ikatan rumahtangga. Sedang dalam ajaran suatu agama tertentu harta menjadi pertimbangan yang kesekian. Seharusnya yang dilihat pertama kali sebelum menetukan pendamping hidup adalah perilakunya.
Orang yang berperilaku baik lebih mungkin bisa membawa sebuah rumahtangga kepintu surga. Sedangkan harta babe seperti yang dikemukakan dalam puisi diatas hanya akan membawa ke neraka. Memang juga tidak bisa langsung dipukul rata seperti demikian. Namun harta yang tidak dari kerja keras sendiri, apalagi mendapatkanya dengna cara menikahi sang putri dari empunya harta, bukankah hal seperti itu hanya mengedepanlan kepusan pribadi bukan hal yang sebenarnya dicari dalam rumahtangga.












PENUTUP
Puisi dipandang sebagai karya sastra yang memiliki unsur-unsur estetis seperti yang terdapat pada sajak Husspuss, O, Sepisaupi, Tragedi Winka Sihka, Q, Sajak Sikat Gigi, dan Puisi buat Pacarku, yang mewakili sebagian dari contoh-contoh puisi kontemporer yang pernah jaya di eranya. Selanjutnya, mengidentifikasi unsur-unsur yang turut membangun konsep estetis(keindahan) dalam pusi tersebut sehingga membentuk satu keutuhan(unity) puisi tersebut. Dalam keempat pusi tersebut diperoleh unsur-unsur yang diperkirakan mampu menciptakan dan menimbulkan nilai estetis(keindahan), antara lain: diksi, imaji, bahasa kiasan, sarana retorika yang tergabung dalam karakteristik bahasa. Selanjutnya terdapat unsur rima, perulangan bunyi yang tergabung dalam karakteristik bunyi dan makna puisi yang termasuk dalam isi sebuah puisi. Langkah ketiga ialah mengidentifikasi unsur-unsur yang secara merata tergarap dengan baik. Maksudnya menemukan unsur yang menonjol dalam pembangunan konsep estetis pada puisi kontemporer atau unsur yang mendapat tekanan yang tepat (right emphasis) ialah unsur diksi. Hal tersebut didukung oleh hasil yang didapatkan setelah melakukan pembuktian dan pada kenyataannya terdapat pada semua puisi yang ada. Unsur tersebut (diksi) mendorong unsur-unsur lainnya untuk membentuk keselarasan (harmony) dan akhirnya dapat membentuk kesatuan makna yang utuh yang dari segi makna juga mengandung nilai estetis.


Daftar Rujukan

Aminuddin. 1995. Stilistika. Semarang: IKIP Semarang Press.
Endraswara, sewardi. 2006. Metodologi penelitian sastra. Yogyakarta:Pustaka Widyatama.
Suwignyo, Heri. 2008. kritik Sastra Indonesia Modern. Malang: Asah Asih Asuh.
Tarigan, Henry G. 1971. Ptinsip-prinsip dasar puisi. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 1983. Tergantung Pada Kata. Bandung: Pustaka Jaya.
Waluyo, Herman J.. 1987. Teori dan apresiasi puisi. Jakarta: Erlangga.