Selasa, 16 November 2010

Tulang

Tulang Putih memancarkan Kabut,
Keras namun juga bisa Lembut,
TulangKu kuserahkan sebagian PadaMu,
Tulang RusukKu,
Tulang yang berada disisi HatiKu,
Kurelakkan UntukMu,
Hanya cengan itu Kita akan menjadi Satu,

Jumat, 05 November 2010

Ceroen A.A Navis : Perempuan Itu Bernama Lara

Perempuan Itu Bernama Lara


Lama juga setelah perang usai Si Dali mencari-cari dengar dimana Lara. Pada waktu dia hampir-hampir melupakannya, perempuan itu ditemuinya di Bandara Kemayoran. Pada mulanya keduanya sama terpaku ketika saling pandang seperti tidak percaya pada penglihatan masing-masing. Lalu keduanya saling menyongsong. Si Dali mengulurkan tangan untuk bersalam. Sedangkan Lara mengembangkan kedua tangannya untuk merangkul.Lalu mereka duduk bersisian sambil berbicara tentang macam-macam hal tanpa menyinggung masa lalu yang telah jauh di belakang.


Seperti tiba-tiba saja suara panggilan untuk penumpang jurusan Surabaya terdengar. Lara berdiri. Keduanya berangkulan lagi sebagai sahabat lama yang akrab. Kemudian Si Dali bertanya: "Tadi kau bicara tentang bisnis. Kalau aku boleh tahu, bisnis apa?"


"Oh. Berdagang saja."


"Dagang apa?"

"Dagang apalagi kalau sudah terlanjur dari dulu. Aku dagang diriku sendiri." jawab Lara dengan suara datar, seperti padanya tak lagi ada emosi.

Si Dali terhempas duduk ke kursinya lagi. Matanya nanap memandang Lara yang kian menjauh. Tiba-tiba dia seperti kenal betul beda sosok perempuan seperti Lara dengan perempuan karir atau perempuan rumahtangga. Seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, yang duduk pada kursi di belakangnya bertanya: "Anda kenal dia juga, rupanya?"


"Dia isteri komandan kami. Kapten. Meninggal dalam pertempuran dulu." kata Si Dali seperti kepada diri sendiri.


"Coba kalau aku tahu sebelumnya......" kata laki-laki itu tanpa melanjutkan.


"Mengapa?"

"Tak apa-apa. Akupun kapten dulunya." kata laki-laki itu seperti orang baru melewati tanjakan.


Si Dali yang dulunya seorang kopral tersentak. Naluri prajuritnya masa gerilya mendorongnya berdiri untuk memberi hormat. Tapi segera ia sadar, masa tabik-menabik telah lama lewat.


"Sejarah menghasilkan kehidupan yang tidak sama. Begitu Lara. Begitu aku. Begitu anda sendiri, barangkali. Hanya nilai moral yang tidak pernah berobah. Hanya kita yang sering lupa. Atau tidak peduli." kata laki-laki itu.


Lalu mereka berpisah ketika panggilan untuk penumpang ke Padang agar naik ke pesawat. Berpisah tanpa bersalaman. Dalam penerbangan dari Jakarta ke Padang, bayangan peristiwa lama kembali mengambang dalam mata ingatan Si Dali.



***


Tentu saja si Kapten menghiruk-pikuk, memaki-maki bahkan bercarut-carut ketika tahu isterinya minggat. Setahu orang, Lara tidak pernah bertengkar dengan suaminya. Tapi semua orang tidak yakin apabila Lara tidak pernah berselingkuh dengan laki-laki muda ganteng, yang beberapa di antaranya sering bersama Si Kapten. Apalagi sepeninggal Si Kapten pada waktu meninjau front. Biasanya Si Kapten pergi tidak kurang dari sepekan. Kadang-kadang sampai dua pekan. Karena garis frontnya memang luas dan memanjang.


Kepergian Si Kapten sekali ini tidak meninjau front. Melainkan menghadiri rapat komando. Cuma beberapa hari saja. Termasuk perjalanan dua hari pulang pergi. Lara sudah tahu itu. Apa pasal makanya dia minggat. Padahal ketika ditinggal lebih lama dia tidak kemana-mana.


"Kalau dia mau pergi, boleh saja. Masuk kota juga boleh. Perempuan tidak perlu ikut perang. Malah jadi beban. Dulu sudah aku bilang, tinggal saja di kota. Tapi dia tidak mau. Alasannya, dia tidak mau mengkhianati perjuangan. Tapi kini dia pergi. Ke kota lagi. Siapa tahu, dia sudah bosan tinggal di hutan lalu mau khianat." Si Kapten bertura-tura ketika caci-makinya mulai berkurang.


"Mana Si Dali." teriaknya kemudian.


Ketika Si Dali tiba, lalu katanya: "Cari dia sampai dapat. Paling kurang, aku tahu kemana dia pergi."

Menurut aturan dalam pasukan, bila komandan marah-marah, bawahan tidak boleh menjawab. Demikian pula apabila turun perintah, apapun macamnya harus segera dilaksanakan. Tak boleh ada pertanyaan. Kerut kening saja pun tidak boleh. Meski bentuk perintah itu demi kepentingan pribadi. Karena kepentingan pribadi akan banyak mempengaruhi mental komandan.Artinya mental komandan tidak boleh sampai kacau. Jika mentalnya sampai kacau, komandonya pun akan kacau. Perang akan kalah. Maka segera saja Si Dali menghambur.


Si Dali berjalan cepat menyusuri jalan kampung yang tak pernah terawat semenjak perang. Diapun tidak bertanya pada dirinya harus kemana mencari isteri yang minggat itu. Pokoknya ia mesti jalan tanpa memikir apa-apa. Seperti yang selalu dikatakan komandan: bahwa seorang prajurit bila da- pat perintah maju, harus maju. Meski peluru musuh berdesingan. Tidak boleh berpikir apa-apa. Walau maut tantangannya.


Karena bukan robot, akhirnya Si Dali kecapaian juga ketika jalan itu dihadang sungai kecil yang airnya begitu bening. Sambil duduk di atas batu dan menjuntaikan kaki ke air, Si Dali mulai berpikir. Dia mencoba menyelusuri saat-saat terakhir Lara dilihatnya. Yang paling dia ingat benar, perempuan itu memang cantik sekali. Rambutnya ikal. Alis matanya lebat. Dadanya penuh. Betisnya aduhai. Dia pun ingat pada suatu khayalannya, mereka mulai dari bersentuhan tangan, lalu berangkulan. Akhirnya nafas mereka sama ngos-ngosan. Ketika selesai, Lara memasangkan baju si Kapten kepadanya. Lalu melekatkan satu bintang kuning di bahunya. Bintang yang sudah lama disiapkan Si Kapten setelah tersiar cerita bahwa pangkatnya akan naik. Lalu kata Lara: "Engkau lebih hebat dari dia."

Pada saat itu si Kapten muncul. Tapi dia tidak marah. Malah berdiri tegap sambil memberi tabik kepadanya, seolah-olah Si Dali yang atasan. "Memang enak jadi komandan. Meski salah tetap dihormati." kata hati Si Dali.


Ketika dia sadar dari lamunan, hatinya berkata: "Prajurit seperti aku, memang hanya dapat berkhayal." Tak lama kemudian khayalannya berlanjut. "Masih mending berkhayal belum terlarang. Bagaimana jika khayalan itu dibolehkan pula jadi kenyataan, seperti kehidupan di luar ketenteraan? Bayangkan."


Tiba-tiba seekor kucing air muncul di permukaan sungai. Berlari masuk semak. Di moncongnya seekor ikan menggelepar-gelepar. Sesaat terlayang dalam pikirannya, ikan yang dimoncong kucing air itu ialah Lara yang berusaha lepas dari tangkapan Si Kapten.


"Bagus Lara, kalau kau bisa lepas." katanya seraya melemparkan batu ke belukar persembunyian kucing itu.


Setelah lima hari mencari tanpa tahu kemana mencari, Si Dali kembali. Mau melaporkan bahwa pencariannya gagal. Tapi kampung yang jadi pos komando sudah kosong. Tak seorang pun dijumpainya. Penduduknya pun tidak. Maka tahulah dia bahwa kampung itu ditinggalkan akibat serbuan musuh. Rumah yang ditempati Si Kapten telah menjadi puing. Hitam terbakar. Sisa apinya masih mengepulkan asap. Asap yang tipis.

Di tangga rumah di lereng bukit Lara sedang duduk termangu. Ditemani perempuan setengah baya yang berselubung kain batik lusuh. Keduanya senang melihat Si Dali datang. Si Dali pun senang, karena tugas yang diperintahkan kepadanya telah selesai. Lara telah ditemukan. Sejenak dia ragu, karena menyangkakan itu lagi-lagi khayalan belaka.


Dan malam pun tiba. Lama-lama semakin larut. Si Dali tidak bisa tidur. Lalu duduk di tangga tempat Lara duduk termanggu siangnya. Udara terasa mulai dingin. Dia mulai berkhayal, khayalan yang kian kacau. Tak bisa dibedakannya antara khayal sebagai kenyataan dengan kenyataan sebagai khayal ketika tiba-tiba Lara sudah duduk pula di sisinya. Keduanya sama diam. Tapi pikiran Si Dali tidak keruan oleh bau tubuh perempuan yang sudah lama menggemaskan hatinya itu.


"Aku tidak bisa tidur. Kau juga?" kata perempuan itu setelah lama mereka sama membisu. Pikiran Si Dali yang kacau mulai membentuk khayal laki-lakinya. Lambat laun pikiran itu tidak lagi khayalan. Kemudian sekali, di sisi perempuan baya yang mendengkur dalam tidurnya lewat tengah malam, Lara berkata sepelan bisikan ke telinga Si Dali.


"Kau tahu Si Kapten lebih doyan anak jawi*) daripada aku, isterinya?"


Si Dali mendengus.


"Kau tahu aku disuruh tiduri oleh anak jawinya sebagai imbalan?"

Si Dali mendengus lagi.


"Kau kira aku senang?"


"Dapat perjaka silih berganti, mengapa tidak senang?" kata Si Dali dalam hati.


"Aku benci digermoi suamiku. Aku muak melayani anak ingusan. Aku inginkan laki-laki matang seperti kau."


Perasaan Si Dali seperti balon hampir pecah oleh tiupan angin kencang yang berapi.

"Sejak mula kawin aku sudah curigai dia peranak jawi. Maka itu aku ikuti dia bergerilya. Supaya perangainya tidak berkelanjutan. Justru di sini aku digermoinya." lanjutnya. Setelah agak lama terdiam dia berkata lagi. "Aku pernah memancingmu. Tapi kau tidak acuh. Mengapa?" tanya Lara agak lama kemudian.


"Apalah aku, seorang prajurit kacungan. Bagaimana bisa bersaing dengan perjaka yang cakap-cakap itu." jawab Si Dali dalam hatinya. Kemudian katanya: "Engkau istri komandan. Bagaimana jadinya aku bila ketahuan. Bagaimana perang ini jadinya bila komandan dikhianati prajurit?"

"Kalau komandan mengkhianati istrinya, menjadikan anak buahnya sebagai anak jawi?" Lara berkata seperti tidak untuk dijawab.


Lama sebelum perempuan itu tidur lagi, Si Dali bertanya: "Kemana saja kau hilang beberapa hari ini?"


"Aku muak digermoi. Aku mau ke kota. Tapi di jalan aku bertemu patroli musuh. Ngeri bertemu mereka. Lebih ngeri bila mereka meniduriku. Maka aku kembali." kata Lara.


Setelah beberapa lama hening, Dali bertanya lagi: "Bagaimana cara hidupmu begini berakhirnya?"


"Aku pikir ini masih permulaan."


"Permulaan?"


*) Anak jawi = anak muda pasangan laki-laki homo.

"Kata suamiku, ia berperang karena menjadi tentera. Ia menjadi tentera untuk mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Setelah merdeka, sampailah cita-cita pemimpin bangsa. Maka tentera tidak diperlukan lagi. Dia akan jadi pengusaha untuk mengisi kemerdekaan itu, kata- nya". kata Lara dengan suara yang lusuh.


"Engkau akan jadi isteri pengusaha besar. Betapa enaknya buah kemerdekaaan itu bagimu." kata hati Si Dali.


"Aku kira aku akan merana bila dia sukses jadi pengusaha."

"Merana?" tanya Si Dali karena tidak paham.

"Kalau dia kaya, seperti halnya orang berobah nasib secara mendadak, anak jawinya akan lebih banyak. Lalu aku akan cepat menjadi tua. Mengerikan."


Hati Si Dali tersentuh hiba. Lalu dia memeluk Lara erat-erat. Mereka terbangun ketika perempuan baya membawakan mereka dua cangkir kopi panas, yang masih dapat ditemukannya pada rumah yang telah ditinggalkan penghuninya. Si Dali mencubit pahanya kuat-kuat untuk tahu apakah ia berada dalam khayalan? Cubitan itu terasa sakit. Dan tiba-tiba ada rasa rikuh karena merasa tepergoki. Tapi kedua perempuan itu tidak rikuh.


Berhari-hari kemudian terberita Si Kapten terbunuh pada suatu serangan musuh. Lara bergegas mengemasi miliknya. Lalu berangkat ke kota. Karena ditinggalkan tanpa pamit, Si Dali meyakinkan dirinya bahwa segala yang terjadi semata mimpi dari masa silam yang telah lama lewat. Mimpi yang panjang. Mimpi yang tak kunjung hilang dalam kenangan. Kenangan yang bukan peristiwa yang dapat dicatat oleh buku sejarah.



***


Ketika kakinya mencecah landasan Bandara Tabing, sejenak dia termangu. Kenangan kepada Lara ditindih oleh pikiran yang kemudian diucapkannya: "Lara berdagang dirinya untuk menggapai hidup yang lebih baik. Aku? Aku tidak berdagang, tapi tergadai. Ya, tergadai."


Demi melihat banyak orang di gedung terminal, Si Dali bertanya pada dirinya. "Apa mereka juga tergadai seperti aku? Kalau ya, apa mereka bisa menebusnya? Kalau seperti Lara, berapa lama dagangannya diminati?"


Tiba-tiba Si Dali tidak merasa kakinya di atas beton landasan. Kakinya seolah terangkat oleh pikirannya yang terbang mengawang.


1 September 1996.

Nilai-Nilai Estetis Dalam Puisi Kontemporer

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Puisi merupakan bentuk karya sastra yang tergolong paling tua. Namun, sampai sekarang tidak ada definisi yang mutlak mengenai puisi. Sejak kelahirannya, puisi memang sudah menunjukkan ciri khas seperti yang kita kenal sekarang. Meskipun puisi telah mengalami perkembangan dan perubahan tahun demi tahun, bentuk karya sastra ini memang dikonsep oleh pencipta atau penyairnya sebagai puisi dan bukan bentuk prosa yang kemudian dipuisikan. Namun secara garis besar puisi adalah karya sastra yang memiliki unsur-unsur keindahan (estetis).
Dalam sejarah perkembangan puisi, dikenal jenis puisi kontemporer. Sastra kontemporer adalah karya sastra yang muncul sekitar tahun 70-an, bersifat eksperimental, memiliki sifat-sifat yang “menyimpang” dari konvensi-konvensi sastra yang berlaku biasa atau umum. Sastra kontemporer muncul sebagai reaksi terhadap sastra konvensional yang sudah beku dan tidak kreatif lagi. Hal inilah yang membut pusi kontemporer menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Karya sastra adalah fenomena yang berbunga-bunga sehingga peneliti diharapkan dapat meneliti dan mengungkap keindahan didalamnya. Keindahan adalah ciptaan pengarang dengan seperangkat bahasa. Melalui eksplorasi bahasa yang khas, pengarang akan menampilkan aspek keindahan yang optimal. Untuk mengkaji keindahan karya sastra pendekatan yang paling tepat adalah pendekatan estetika.

B. Tujuan Hasil Penulisan Apresiasi
Penulisan hasil analisis puisi kontenporer dengan pendekatan estetis ini bertujuan untuk
1. Menyajikan unsur-unsur keindahan bentuk dan makna karya sastra.
2. Menyajikan konsep keindahan puisi kontemporer dari aspek literer
yang membentuk sutu keindahan yang utuh.


C. Pengertian Pendekatan dan Prosedur Kerja Apresiasi
Secara sepintas estetik itu sekedar mengungkap masalah unsur pembentuk seni sastra saja. Padahal, penelitian ini juga merupakan bagian dari strukturalisme murni (Endarwarsa, 2006:69). Hanya saja, jika penelitian struktualisme murni menekankan aspek hubungan antar unsur, penelitian estetik tidak demikian. Penelitian lebih difokuskan pada aspek yang menyebabkan karya sastra menjadi indah dan menarik.
Para ahli sastra mengungkapkan berbagai pengertian mengenai pendekatan estetik sebagai berikut. Menurut Endraswara (2003:69) kajian estetik hanya memfokuskan pada aspek yang menyebabkan karya sastra menjadi indah dan menarik. Menurut Wellek & Warren (Budianta: 1995) pendekatan estetik adalah kajian sastra yang memfokuskan bidang kajiannya pada unsur intrinsik yang menarik dan menyenangkan. Asumsinya bahwa karya sastra dipandang sebagai karya seni yang memiliki unsur keindahan.
Dari beberapa pengertian pendekatan Esstetik di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan estetik adalah pendekatan yang mengkaji unsur-unsur intrinsik karya sastra yang menyebabkan keindahan dan menarik. Keindahan (estetik) dalam karya sastra begitu penting keberadaannya, kerena pada hakikatnya karya sastra merupakan karya imajinatif yang menggunakan bahasa sebagai media dan memiliki nilai estetik yang dominan.
Estetika karya sastra dapat kita lihat dari struktur bahasa yang digunakan seperti bentuknya, penyusunan alur, konflik-konflik, humor, dan sebagainya. Sama seperti yang dikemukakan oleh Shanon Ahmad, di dalam puisi terdapat pemikiran, ide, emosi, bentuk, dan kesan. Dimungkinkan bahwa melalui unsur-unsur tersebut sebuah karya sastra dapat diidentifikasi konsep estetisnya.
Dalam menganalisis puisi kontemporer apresiator memanfaatkan bantuan stilistika yaitu ilmu tentang gaya (Ratna, 2009: 3).
Adapun prosedur kerja apresiasi yang perlu dilakukan adalah
1. Mengidentifikasi unsur-unsur yang memiliki keindahan literer yang membentuk satu keutuhan (unity).
2. Mengidentifikasi unsur-unsur yang secara merata tergarap dengan baik).
3. Mengidentifikasi unsur-unsur yang membentuk keselarasan (harmony)
4. Mengidentifikasi unsur yang mendapat tekanan yang tepat (right emphasis)
D. Karakteristik Puisi Kontemporer
Puisi sebagai bagian dari sastra sering mengalami perkembangan, dari segi bentuk dan nafasnya. Dalam zaman sastra lama Indonesia kita mengenal bentuk-bentuk seperti mantra, bidal, pantun, dan syair yang kemudian muncul bentuk-bentuk puisi baru pada tahun 1930-an, misalnya saja soneta, kwatren, terzina, stanza,dan sebagainya(Waluyo, 1987:17). Pada tahun 1945an, Chairil Anwar sebagai penyair garda depan saat itu memproklamasikan bentuk puisi yang lebih baru yang sering kita kenal dengan bentuk puisi bebas (Waluyo, 1987:18)
Lalu pada tahun 1973 kita dikagetkan dengan munculnya puisi-puisi dengan bentuknya yang aneh dan ganjil menurut ukuran Indonesia ykni puisi kontenporer. Puisi Kontemporer adalah bentuk puisi yang berusaha lari dari ikatan konvensional puisi iti sendiri (Waluyo, 1987:19).
Puisi kontenporer terbagi atas bebrapa jenis seperti puisi puisi konkret, puisi mbeling, dan puisi mantra. Puisi konkret Puisi konkret (poems for the eye) diartikan sebagai puisi yang bersifat visual, yang dapat dihayati keindahannya dari sudut penglihatan (Kennedy dalam Waluyo, 1995:138). Jenis puisi ini mulai dipopulerkan sejak tahun 1970-an oleh Sutardji Calzoum Bachri.
Pusi mantra menganggap arti kata itu menindas kebebasan kata-kata dengan memberinya beban makna bisa berasal dari dalam bahasa, seperti semantik atau sintaksis, tetapi dapat pula berasal dari lingkungan luar bahasa, seperti konvensi sosial, kekuasaan politik, atau norma-norma moral.
Mengikuti Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna. Proposisi-proposisi tentang pemikirannya ini kemudian dirumuskannya dalam sebuah manifesto yang dikenal sebagai Kredo Puisi.
Kredo puisi sebenarnya mengandung beberapa ketidak jelasan. Bagaimanapun juga kata adalah alat, yang pada dasarnya digunakan oleh penyair dalam hal ini Sutadji, untuk menyampaikan pokok-pokok pikirannya. Kata tanpa pengertian jelas tidak mungkin. Jikalau kata itu masih punya makna leksikal. Sehingga secara otomatis jika kata sedah dianggap tidak mempunyai pengertian lagi maka ia skehilanggan cirinya sebagi suatu bahasa. Melainkan hanya bunyi saja (Teeuw, 1983: 148). Sajak seperti itu lebih tepat dikatakan mendekati pengertian musik, seni musik, dari pada puisi. Aspek distingtif sebagai bahasa hilang dan dalam praktek ternyata puisi seperti itu. Sajak sajak itu bersifat vokalis saja.
Puisi mbeling adalah puisi yang berisi kelakar, ejekan, kritik. Puisi mbeling adalah bagian dari gerakan mbeling yang dicetuskan oleh Remy Sylado, suatu gerakan yang dimaksudkan untuk mendobrak sikap rezim Orde Baru yang dianggap feodal dan munafik (Silado, 2004: 2). Puisi mbeling hendak mendobrak pandangan estetika yang menyatakan bahwa bahasa puisi harus diatur dan dipilih-pilih sesuai stilistika yang baku. Pandangan ini, menurut gerakan puisi mbeling, hanya akan menyebabkan kaum muda takut berkreasi secara bebas. Sehingga dalam puisi mbeling diatas bahkan tidak terlalu dipusingkan dengan pengunaan bunyi, irama, asonansi, aliterasi, diksi dan gaya.
Pengarang Sutardji mulai tidak mempercayai kekuatan kata tetapi dia mulai berpaling pada eksistensi bunyi dan kekuatannya. Danarto justru memulai dengan kekuatan garis dalam menciptakan puisi. Puisi kontemporer memang cenderung berbentuk aneh dan ganjil. Di samping Sutardji dan Danarto, juga Sapardi Djoko Damono, penyair lain mencanangkan bentuk puisi ganjil adalah Ibrahim Sattah, Hamid Jabar, Husni Jamaluddin, Noorca Marendra, dan sebagainya.
Lebih jauh boleh dikatakan bahwa puisi kontemporer seringkali memakai kata-kata yang kurang memperhatikan santun bahasa, memakai kata-kata makian kasar, ejekan, dan lain-lain. Pemakaian kata-kata simbolik atau lambang intuisi, gaya bahasa, irama, dan sebagainya dianggapnya tidak begitu penting lagi.
Puisi kontemporer digolongkan ke dalam periode 70-an. Tema yang sering diangkat dalam decade ini dantaraya tema protes yang ditujukan kepada kepincangan sosial dan dampak negatif dari industrialisasi, tema humanisme yang mengemukakan kesadaran bahwa manusia adalah subjek pembangunan dan bukan objek pembangunan.
Tak lupa juga tema religious yang cenderng mistik, tema yang dilukiskan melalui alegori dan parable, tema tentang perjuangan menegakkan hak-hak azasi manusia berupa perjuangan untuk kebebasan, persamaan hak, pemerataan, dan bebas dari cengkeraman dari teknologi modern.Tema kritik sosial terhadap tindakan sewenang-wenang dari mereka yang menyelewengkan kekuasaan dan jabatan.
Adapun Ciri-ciri puisi dekade 70an yaitu Puisi bergaya mantra dengan sarana kepuitisan berupa pengulangan kata, frasa, atau kalimat. Gaya bahasa paralelisme dikombinasi dengan gaya bahasa hiperbola dan enumerasi dipergunakan penyair untuk memperoleh efek pengucapan maksimal. Tipografi puisi dieksploitasi secara sugestif dan kata-kata nonsens dipergunakan dan diberi makna baru.
Untuk mengapresiasi puisi diatas, terlebih dahulu kita harus mengerti konsep tentang stilistika. Sebelum ada istilah stilistika bahasa sudah terlebih dahulu memiliki gaya. Gaya bahasa akhirnya punya kekhasan dan menyimpan autonomaly of the estetik (Endrawarsa, 2006:71). Gaya bahasa sastra yang kuat menarik untuk diteliti khususnya dari aspek stilistika. Analisis stilistika mengkaji puncak kehebatan penulis menggunakan gaya bahasa sastra. Gaya bahasa sastra berbeda dari gaya bahasa yang digunakan setiap hari.
Kata-kata dari bahasa daerah banyak dipergunakan untuk memberi efek kedaerahan dan efek ekspresif. Asosiasi bunyi banyak digunakan untuk memeroleh makna baru. Banyak digunakan gaya penulisan prosaic. Banyak menggunakan kata-kata tabu. Banyak ditulis puisi lugu untuk mengungkapkan gagasan secara polos.

ANALISIS PUISI KONTENPORER DENGAN PENDEKATAN ESTETIS

HUSSPUSS
husspuss 1
Diamlah
Kasihani mereka
Mereka sekedar penyair
Husspuss 5
Maafkan aku
Aku bukan penyair sekedar
Aku depan
Depan yang memburu
Membebaskan kata 10
memanggilMu
pot pot pot
pot pot pot
kalau pot tak mau pot
biar pot semau pot 15
mencari pot
pot
hei Kau dengar mantraku
Kau dengar kucing memanggilMu
Izukalizu 20
Mapakazaba itasatali
tutulita
Papliko arukazuku kodega zuzuzkalibu
Tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
Zuzuzangga zegezegeze zege 25
Zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
Ga zegezegeze zukuzangga zegrzegeze zu
Kuzangga zegezegeze aahh...!
Nama nama kalian bebas
Carilah tuhan semaumu 30


Sutardji Calzoum Bachri
Amuk

Puisi Husspuss ini, larik 20 sampai 28 terdiri dari kata yang hanya bunyi-bunyi bahasa yang tidak mempunyai pengertian. Kata-kata itu asing dalam bahasa indonesia dikaji dalam berbagai segi. Panjang kata yang terdiri dari 4-7 suku kata, Rentetan suku katanya berupa urutan konsonan dan vokal secara berurutan dengan pola vkvkvkv. Pengulangan bunyi pot dari larik 12-17 yang kurang jelas maknanya. Sehingga terdapat asonansi bunyi /o/ yang dominan di baris ke 12-17. Bunyi /o/ berkesan pokok dan kokoh. Struktur fonem yang didominasi /e/, /u/ dan/z / pada baris ke 25-28 memberikan kesan murung, lemah gemulai dan berdesis. Penggunan bunyi-bunyi seperti ini tidak lazim dalam bahasa indonesia.
Seandainya ada sajak yang terdiri dari bunyi-bunyi seperti ini saja tanpa ada kata yang punya penegertian maka akan sulit sekali untuk melakukan interpretasi. Puisi itu menarik karena keestetisannya. Segi estetis yang ditimbulkan karena keanehan yang diciptakan. Dalam keadaan tertentu unsur bunyi dapat berfungsi tanpa makna, namun hal itu hanya akan tercipta jika ada konvensi (kesepekatan) pengetahuan pada pihak pembaca jika kata yang tidak bermakna itu bisa dan harus diberi makna, hal seperti ini oleh Herman J. Waluyo disebut sebagi penyimpangan bahasa.
Penyimpangan bahasa sering menjadi ciri dari suatu periode sastra. Dalam puisi Husspuss mengalami 3 buah penyimpangan bahasa. Pertama penyimpangan leksikal yakni kata-kata yang digunakan dalam puisi menyimpang dari kata-kata yang kita pergunakan sehari-hari. Sutadji memilih kata-kata yang sesuai dengan pengucapan jiwanya dan disesuaikan dengan tuntutan estetis.
Kedua adalah penyimpangan sintaksis. Puisi tidak membentuk kalimat. Namun membentuk larik-larik. Dapat kita lihat jika sutardji sering kalap dalam menggunakan huruf kapital pada awal larik dan mengakhirinya dengan titik. Bahkan tidak ada sama sekali yang mengunakan kaidah ini dan yang terakhir penyimpangan grafologis. Dalam menulis kata-kata, kalimat, larik dan baris, penyair sengaja melakakukan penyimpangan dari kaidah bahasa yang sudah berlaku. Huruf kapital dan tanda baca tidak digunakan sebagai mana mestinya. Hal ini dilakukan oleh penyair untuk mendapatkan efek estetis. Penyimpangan sistem tulisan seperti in biasa disebut penyimpangan grafologis.(Teew, 1983:149 )
Pembebasan kata yang dimaksudkan masih memungkinkan kelonggaran penyimpanagan bahasa yang ada batasnya untuk termungkinkanya komunikasi. Walau bagaimanapun juga kemungkinan berkomunikasi dengan pembaca harus tetap dipertahankan. Untuk menghindari cap puisi gelap. Walaupun predikat puisi gelap itu bisa berbeda dari satu orang ke orang lain, sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya.
Dalam puisi indonesia modern mungkin sekali Sutardjilah yang paling berani menyimpang kebiasaan kode dan norma kebahasaan bahasa Indonesia. Sutardji sendiri mengatakan puisinya mantra, alat bahasa yang gaib, yang memungkinkan manusia menghubungi atau menguasai dunia yang di luar kemampuannya atau jangkauanya yang normal. Namun juga tidak berarti bahwa sajak Sutardji sama sekali keluar dari konvensi bahasa. Sebab dalam hal Husspus pun penyimpangan hanya mungkin berkat kode yang ada. Pemberontakan hanya akan ada jika ada yang “diberontaki”. Dan interpretasi penyimpangan dan pemberontakan hanya mungkin dalam relasi dan kontras dengan apa yang disimpangi.
Secara garis besar unsur keidahan yang menonol dalam pusi Husspuss ini adalah unsur diksi yang tidak lazim dan berusaha membebaskan diri dari konvensi tata bahasa yang lazim digunakan. Namun marilah kita liahat bebrapa cuplikan larik puisi Husspuss dibawah!

Diamlah 2
Kasihani mereka
Mereka sekedar penyair
Husspuss
Maafkan aku
Aku bukan penyair sekedar
Aku depan
Depan yang memburu
Membebaskan kata
memanggilMu 11

Kau dengar kucing memanggilMu 19

Nama nama kalian bebas 29
Carilah tuhan semaumu 30

Larik-larik di atas bisa disebut biasa dan sederhana saja bagi orang yang interpretasinya berskala tertentu. Namun tidak dapat ditampik jika dalam puisi Husspuss juga terdapat kata-kata yang aneh. Untuk memperkaya pengetahuan kita tentang uisi mantra mari kita lihat puisi O dibawah ini.

O
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O...


(Sutardji Calzoum Backri)

Dalam puisi O ini Sutardji memilih diksi yang yang tepat. Seperti apa yang dia katakan bahwa kata itu adalah pengertian itu sendiri tidak harus bermakna lain. Sehingga dalam puisinya ini hanya ada makna denotasi.
Dalam puisi ini kata-kata yang digunakan Sutardji adalah kata-kata yang bisa digunakan dalam bahasa sehari-hari. Tetapi ada kata yang berasal dari bahasa daerah antara yaitu bahasa Jawa, terlihat pada kata ”bolong” yang berarti berlubang.
Disisi lain hanya sedikit kata yang menimbulkan efek efoni (tehnik memindahkan bunyi) antara lain duhairindu, duhaingilu, duhaisangsai, orindu, obolong, dan orisau. Sehingga puisi tersebut tidak terlihat kemerduannya.
Walaupun banyak terdapat asonansi seperti

Dukaku dukakau dukarisau
Resahku resahkau resahrisau resahbalau
Raguku ragukau raguguru ragutahu
Mauku maukau mautahu mausampai.......maugapai
Siasiaku siasiakau.....siasiabalau siasiarisau
Waswasku waswaskau
Duhaiku duhaikau duhairindu duhai ngilu

Asonansi yang ada tersebut tetap saja menimbulkan efek kakafoni. Karena kesan bunyi indahnya seperti bunyi dalam mantra jadi terkesan biasa dan tidak merdu. Begitu juga pada iramanya paduan bunyi itu hanya membuat irama yang datar-datar saja sehingga tak ada luapan-luapan emosi yang bisa mempengaruhi irama.
Bahasa kiasan yang ditampilkan adalah repetisi, yakni pengulangan kata guna menekankan arti pada kata itu. Seperti tekanan pada kata ”duka” yang diulang sampai lima kali terlihat kalau sang penyair sedang mengalami duka entah duka pada dirinya, pada kau atau mungkin kekasihnya, duka pada temannya ataupun duka seekor kucing.
Begitu juga penekanan pada kata resah, ragu, mau, sia-sia, waswas, duhai, dan o adalah sebuah tekanan yang memberi makna lebih pada duka, keresahan yang akhirnya menimbulkan ragu dan juga keingintahuan walaupun itu hanya sia-sia dan membuat waswas. Pengulangan kata itu merupakan penekanan juga pada artinya.
Dalam puisi O ini terdapat beberapa pencitraan antara lain, gerak, pedengaran, perasa dan penglihatan. Gerak terlihat dari kata”maugapai” karena seakan kita bergerak untuk menggapai harapan itu. Pendengaran terlihat dari kata ”dukangiau” karena kata ngiau disitu adalah suara hewan yakni kucing sebagai suatu bahan perbandingan. Indera perasa juga terasa dilibatkan dalam kata ”duhaingilu” sehingga pembaca seakan ikut merasa ngilu dengan membaca puisi tersebut. Selain itu juga ada pencitraan penglihatan pada kata ”okosong” dan ”obolong” karena kosong dan bolong itu hanya bisa diketahui dangan melihat suasana.
Semuanya merupakan pencintran yang bertujuan membawa pembaca dengan segenap inderanya sehingga bisa merasakan sakit dan kehampaan yang ada dalam puisi tersebut. Dengan melibatkan indera bisa dirasakan dengan seluruh imajinasinya apa yang ada dalam puisi tersebut.
Kata-kata yang seakan berupa mantra itu merupakan ekspresi dari doa. Penyair merasa duka, resah dan ragu yang mendalam. Perasaan inilah yang membuat penyair berkeinginan untuk mencapainya walaupun semuanya harus sia-sia.
Semuanya hanya tinggal perasaan waswas dan kehampaan. Kehampaan yang dirasakan itu dilambangkan dengan kata bolong dan kosaong yang seakan-akan seperti huruf O. Jadi sebenarnya huruf O adalah penggambaran dari perasaan hampa dan kosong sang penyair.
Selain itu kata-katanya yang seperti mantra seakan-akan menyiratkan bahwa puisi itu adalah doa. Hingga puisi itu merupakan hakikat dari Tuhan dan dosa. Tentang bagaimana manusia merasa berdosa dengan segala keresahan dan kesedihan sehingga semuanya hanya bisa dikembalikan pada Tuhan.
Sajak ini menggambarkan suasana optimis pada penyair. Suasana optimis ini berubah menjadi absurd, karena walaupun sudak merasa tidak mungkin tetapi masih ada usaha untuk mengapai semua itu. Dengan keyakinan semuanya akan bisa tercapai walaupun itu juga tak mungkin.
Sajak ini kata-katanya dikuai oleh emosi dan rasio yang tak menentu sehingga menjadi sebuah misteri. Karena semuanya seakan hanya sebuah misteri yang seakan-akan semuanya itu sulit untuk dipahami dan terlihat tidak komunikatif. Kandungan yang tak kalah kayanya dari puisi O dapat dilihat dalam puisi mantera.

MANTERA

lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi (5)
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka

puah!
kau jadi Kau! (10)
Kasihku

Dilihat dari bentuk sajaknya, sajak ini terdiri dari dua bait yang tidak
simetris. Bait pertama terdiri dari delapan larik dan yang ke dua terdiri
dari tiga larik. Keadaan tak sebanding ini memberi kesan berat, adanya
tekanan. Sesuai dengan judul, maka interpretasi yang timbul kemudian
adalah adanya masalah, dan untuk mengembalikan pada keadaan semula,
pada harmoni, diperlukan mantra.
Dilihat dari rimanya, tidak banyak rima yang terdapat pada larik-larik
awal atau akhir seperti yang biasanya terdapat pada sajak tradisional, tetapi
persamaan bunyi vokal selarik atau asonansi banyak ditemukan. Memang,
mantra pada prinsipnya adalah permainan bunyi
Sajak yang terdiri dari duapuluh delapan kata inihanya mengandung dua verba yang salah satunya merupakan bentuk pasif (dicabik), sedangkan yang lain merupakan bentuk nomina dan adjektiva. Hal ini memberi kesan statis seperti juga dukun yang sedang mengucapkan mantra di depan kemenyannya. Meskipun demikian tak adanya tanda baca selain dua tanda seru, serta tiadanya huruf besar, menimbulkan kesan adanya suatu gerakan yang tak berhenti, bagaikan asap yang mengepul tinggi.
Sementara itu, kedua tanda seru menunjukkan fungsi ekspresif yang kuat.
Selanjutnya, sebagaimana telah dikatakan di atas, judul sajak ini adalah “Mantra”. Apabila kita perhatikan, semua kosakatayang digunakan sangat mendukung hal ini. “lima percik mawar” adalah air mawar yang biasa digunakan oleh sang dukun dalam berdoa, demikian pula “tujuh sayap merpati”. Pada umumnya yang digunakan sebagai korban adalah ayam hitam namun di sini digunakan jenis unggas lain, yaitu merpati. Ini menunjukkan bahwa Sutardji ingin menunjukkan bahwa tidak selalu hitam itu simbol keburukan. Selanjutnya frase “sesayat langit perih” menunjukkan adanya suatu kesakitan atau kesedihan yang membutuhkan mantra.
Sajak ini juga menarik dari aspek pragmatisnya, karena apabila bait pertama dikemukakan oleh pencerita, untuk menampilkan keadaan sang dukun yang sedang berdoa, maka bait kedua hanya berisi komunikasi langsung antara
dukun dengan penguasa alam semesta. Itulah sebabnya bagian ini sangat
ekspresif. Seruan “Puah” dilontarkan sang dukun pada akhir doanya,
biasanya disertai ludah yang dianggap mempunyai kekuatan gaib, kekuatan
penyembuh.. Maka “kau” yang ditampilkan dengan huruf “k” kecil, berubah
menjadi “Kau” dengan huruf “besar”, artinya si dukun telah berhasil
menyatu dengan penguasa alam semesta yang disebutnya dan dianggapnya
sebagai “Kasihku”.


SEPISAUPI
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi (5)
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi (10)
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
(Sutardji C. Bachri 1973)
Berangkat dari penyusunan kata, puisi ini sangatlah khas yaitu pada permainan bahasa yang digunakan. Hal tersebut dapat dilihat pada penggabungan beberapa kata sekaligus, seperti
sepi + pisau → sepisau
sepi + pikul → sepikul
sepi + pukau → sepukau
sepi + pisau + apa → sepisaupa
sepi + pisau + api → sepisaupi
Pertautan-pertautan kata tersebut menimbulkan suatu kata baru yang unik. Sehingga hal itu mengharuskan pembaca untuk keluar dari frame pemaknaan konvensional.
Luka bersanding dengan duri, dosa dengan sepi, duka dengan diri, sepi dengan nyanyi, diri dengan duri, pasangan-pasangan kata yang membuat pembaca harus merekonstruksi ulang mengenai pemaknaan kata yang telah terekam dalam memori. Lebih jauh di sinilah kekuatan Sutardji untuk mengeluarkan kata dari beban makna yang disandang selama ini. Kata-kata tersebut menghasilkan bentukan kata dan makna yang lain.
Dari segi unsur bentuk, keindahan puisi tersebut terlihat pada perualangan bunyi yang ditimbulkan dari rima.Rima puisi ini digarap sangat mengesankan oleh Sutardji, dengan menggunakan pola rima a a, yaitu di setiap akhir larik puisi ini diakhiri dengan bunyi i. Sehingga menimbulkan suasana bunyi yang merdu dan indah.
Permainan kata yang dilakukan Sutardji banyak kita dapati dalam puisi ini. Yang paling menonjol adalah pada kata sepisaupi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kata ini merupakan hasil dari penggabunngan beberapa kata. Kata tersebut yaitu /sepi/, /pisau/, /api/. Jika kita perhatikan setiap kata tersebut mengandung vokal i.
Selain itu puisi ini banyak menggunakan bunyi konsonan s dan p. Efek /s/ dan /p/ pada “sepisaupi” menimbulkan efek magis dan efek penggunaan fonem tersebut berpengaruh pada pengucapan puisi yang dibaca dengan cepat dan terdengar seperti mantra. Pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan atau keindahan bunyi. Terdapat pada kata,

Sepisaupa
Sepisaupi
Sepisapanya

Pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Terdapat pada kata,

sepisaupa
sepisapanya
nyanyi

Unsur Nada dan Suasana puisi yang terlukiskan pada puisi tersebut adalah suasana magis. Efek magis ditimbulkan Sutardji melalui pengulangan kata serta pengobrak-abrikan kata dalam puisi sepisaupi ini. Kata sepisaupi jika didengarkan seperti mantra. Hal itu dikarenakan penggabungan kata-kata sepi dan pisau jika dibaca tanpa putus kita akan dapat menangkap makna dari sepi dan pisau itu. Efek /s/ dan /p/ pada “sepisaupi” menimbulkan efek magis, dan efek penggunaan fonem tersebut berpengaruh pada pengucapan puisi yang dibaca dengan cepat dan terdengar seperti mantra.
Efek magis yang murni pada puisi tersebut juga dapat kita lihat dari pengulangan-pengulangan (repetisi) seperti pada mantra. Sepisau, sepisaupa, sepisaupi, begitu banyak diulang-ulang dalam puisi ini. Bila diperhatikan lebih lanjut, efek yang diperoleh dari perulangan kata-kata yang tidak jelas artinya ini seakan-akan menunjukkan sesuatu yang gaib.
Dalam puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan serta untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran). Hal tersebut juga dapat dilihat dari bait kedua yang isinya tak jauh beda, yaitu menceritakan tentang sebuah penderitaan “sepikul diri keranjang duri”. Larik tersebut mengandung majas hiperbola, yang digunakan untuk memperkuat makna penderitaan yang luar biasa.
Unsur dominan yang mampu menunjukan konsep estetis dalam puisi “Sepisaupi” adalah bunyi. Secara estetis puisi ini memiliki bentuk puisi yang sedikit beda, tidak ada kateraruran yang ada dalam bentuknyata dapat dikatakan berbentuk bebas.
Meskipun pengarang banyak menggunakan kata-kata yang tabu , tetapi hal itu tidak mengurangi nilai keindahannya. Malah mebuat puisi ini semakin menarik dan memiliki kesan yang berbeda.
Jadi nilai estetis yang terdapat pada puisi Sepisaupi karya Sutardji ini dilihat dari segi karakteristik bahasanya, meliputi diksi, bunyi, dan sarana retorika (repetisi), sedangkan dari segi karakteristik bentuknya, meliputi rima dan bentuknya yang bebas.
Selanjutnya adalah puisi konkret. Contoh puisi konkret adalah puisi legendaris “Tragedi Winka Sihka”

TRAGEDI WINKA & SIHKA

kawin
kawin
kawin
kawin
ka
wi
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku

Puisi karya Sutardji Calzoum Bachri ini termasuk salah satu puisi kontemporer. Pada periode ini, puisi yang diciptakan memiliki banyak kesamaan, misalnya bentuk yang tidak beraturan yakni bebas sesuai dengan selera sang penyair. Bila dalam puisi sebelumnya (Chairil Anwar) sangat menempatkan makna dan isi puisi menjadi hal terpenting, tidak dengan Sutardji, ia ingin menempatkan bentuk puisi (fisiknya). Ia ingin menempatkan puisi yang sama dengan mantra, dengan adanya pengulangan kata, frasa, dan bunyi. Di samping itu, ia juga mengutamakan bentuk fisik berupa tulisan-tulisan yang mengandung maksud tertentu seperti yang tercermin pada syair di atas.
Kata inti dari syair tragedi sihka winka adalah kata kasih dan kata kawin. Tema syair ini adalah perjalanan hidup yang sengsara dengan banyak marabahaya. Ekspresi yang terkandung di dalamnya adalah makna nonsense dan tipografi yang penuh makna.
Kata kawin, kasih, winka, sihka, ka – win, dan ka – sih adalah tanda-tanda bermakna. Logika tanda itu sebagai berikut: bila kata itu utuh, sempurna seperti aslinya, maka arti dan maknanya sempurna. Bila kata-kata dibalik, maka maknanya-pun terbalik, berlawanan dengan arti kata aslinya. Dalam kata “kawin” terkandung konotasi kebahagiaan, sedangkan “winka” itu mengandung makna kesengsaraan. “Kawin” adalah persatuan, sebaliknya “winka” adalah perceraian. “Kasih” itu berarti cinta, sedangkan “sihka” kebencian. Bila “kawin” dan “kasih” menjadi “winka” dan “sihka” itu adalah tragedi kehidupan. Targedi mulai terjadi ketika “kawin” dan “kasih” tidak bisa dipertahankan dan terpecah menjadi sih – sih, kata tak bermakna, yang menunjukkan hidup menjadi sia-sia belaka.
Sedangkan penulisan puisi tragedi winka sihka yang disusun secara zig zag ini membuat bentuk puisi ini berbeda dengan yang lain. Justru bentuk yang berbeda dengan yang lain ini yang membawa nilai estetik tersendiri, karena penyair mempunyai makna tersendiri dengan susunan bentuk yang ia ciptakan, yakni sebuah tanda yang merupakan suatu lambang keliku-likuan suatu perjalanan yang penuh dengan bahaya. Dengan kata lain, bentuk larik dan kata dalam puisi tersebut membentuk makna yang tersembunyi. Hanya penyairlah yang tahu maksudnya. Sebagai pembaca, kita dapat memaknai kata-kata yang tertulis dalam larik-larik puisi itu.















Q

! !
! ! !
! !! ! ! !
!

! a (5)
Lif ! !
l
l a
l a m
! ! (10)


mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
iiiiiiiiiiiii
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
(Suradji c. Bachri)

Puisi di atas bila disingkat menjadi "Q : alif lam mim". Hal itu jelas meunjukkan puisi ini mengutip salah satu ayat dalam Al Quran. Beberapa ayat dalam Al Quran yang berupa huruf-huruh hijaiyah tanpa harakat, misalnya : tho ha, lam mim shod, dan lain-lain.
Tipografi puisi sebagaimana tertulis di atas sebagaimana pembacaan kalau qiraah. Ayat ini terpampang jelas pada Al Baqarah ayat pertama. Keunikan bentuk pada puisi ini memiliki daya tarik tersendiri.
Lif
l
l a
l a
Bentuk tersebut seperti sebuah selurutan, yakni I dan a yang semakin menurun. Jika kita maknai, dalam kehidupan kita tidak selalu berada diatas namun bias jatuh juga.
! a
Lif
l
l a
l a
Jika kita amati lagi bentuk ini seperti sebuah jalan yang bercabang, hal itu bias dimaknai bahwa dalam hidup seringkali kita dihadapkan pada beberapa pilihan, maka kita harus bisa menentukan pilihan yang terbaik dalam hidup kita.
! a
Lif ! !
l
l a
l a m
! !
Bentuk tersebut seperti orang yang sedang bersujud, hal itu menunjukkan bahwa makhluk hidup senantiasa bersujud pada Tuhan.
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
iiiiiiiiiiiii
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
Bunyi panjang saat melafalkan harokat mim pada saat membaca alif lam mim, digambarkan penyair dengan menggunakan rentetan-rentetan bunyi tersebut. Dan bentuk dari rentetan bunyi tersebut melambangkan panjang usia manusia dan usia manusia hidup di dunia tidaklah sama
Dalam puisi tersebut terdapat huruf m sebanyak 28 kali (jumlah huruf hijaiyah), i sebanyak 13 kali (sifat wajib Allah), m sebanyak 33 kali (zikir dalam sholat). Huruf M yang berjumlah 28 tersebut melambangkan tingkat iman manusia mula-mula. Huruf i sebanyak 13 melambangkan ujian keimanan oleh Allah SWT dan m sebanyak 33 melambangkan tingkat iman manusia seusai mendapatkan ujian.
Puisi Q ini menunjukkan bahwa Allah sengaja tidak memberitahukan maknanya secara langsung. Penyair ingin menggambarkan bahwa Allah memberikan teka-teki kepada manusia. Dalam hal ini, Allah hanya memberikan isyarat konsonan dasarnya dan kita yang memaknainya.
Letak keindahan dari puisi ini bisa kita lihat dari segi bentuknya. Melambangkan masjid dan jika dilihat dari samping terdapat lafadz Allah. Jadi pengarang menyampaikan pesan yang ingin disampaikannya melalui symbol-simbol dan bentuk.
Selanjutnya akan dibahas jenis puisi kontenporer lainya. Yakni puisi mbeling contoh puisi mmbeling dapat dilihat di bawah ini.
Sajak Sikat Gigi

Seseorang lupa menggosok giginya sebelum tidur 1
Di dalam tidur ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya
terbuka

Ketika ia bangun pagi hari 5
Sikat giginya tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali

Dan ia berpendapat bahwa, kejadian itu terlalu
berlebih-lebihan 10

(Yudistira Adi Nugroho 1974)

Secara sekilas puisi mbeling di atas tidak berbeda dengan cerita humor yang disampaikan dengan bahasa lugas dalam kehidupan sehari-hari. Gaya penulisan prosaik begitu tertonjol. Puisi yang terdiri dari 10 baris di atas memiliki keanehan yang mencuat di baris ke 7 dan 8 yang terlebih dahulu dirangsang oleh baris 5 dan 6. Cerita seperti itu mungkin tidak akan pernah terjadi dalam kehidupan nyata. Sungguh khayal dipikirkan jika sebuah sikat gigi datang dalam mimpi seseorang karena orang itu lupa menyikat gigi sebelum tidur. Apalagi saat pagi tiba sikat gigi itu hilang sepotong karena tersesat didalam mimpi.
Namun akan terlalu dangkal jika puisi terbaik tahun 1976-1977 Dewan Kesenian Jakarta itu dimaknai sesedarhana itu. Keluguan yang disampaikan sampai pada titik nekad. Tampaknya sudah tidak memperdulikan lagi apakah yang tertulis diatas sebuah sajak atau hanya petualangan yang tidak pernah dilakukan oleh penyair-penyair yang berbobot.
Struktur batin dari puisi diatas kurang lebih dapat dimaknai sebagai suatu hal yang terkadang kecil tapi jika dilupakan akan mengakibatkan hal yang buruk. Contoh yang diangkat dalam puisi adalah sikat gigi, sepele bukan, namun jika tidak dilakukan maka ribuan kuman akan bersarang dimulut kita saat tidur malam. Begitu juga hal-hal kecil yang sering terabaikan dalam hidup, saat hal-hal kecil itu bertumpuk maka akan membuat satu kekuatan yang akan merepotkan.
Meskipun sebagian orang belum bisa menerima kehadiran puisi semacam ini dalam kesusastraan yang serius, namun tidak dapat dipungkiri jika kehadirran sajak semacam ini memberikan corak baru dalam perpuisian Indonesia. Dalam Sajak Sikat Gigi pemanfaatan potensi bahasa sebagai rangkaian bunyi-bunyi, baik menyangkut makna atau tidak, terlihat pada persajakan.

Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya
terbuka

Secara sekilas dapat kita lihat adanya majas personifikasi. Karena hanya manusia atau individu bernyawa yang dapat melakukan aktifitas “mengosok-gosok”. Sikat gigi bukanlah mahluk hidup maka terjadi majas personifikasi. Namun dapat jika ditelaah lebih dalam lagi puisi Sajak Sikat Gigi sama sekali tidak mengandung majas. Meskipun kegiatan mengosok-gosok hanya bisa dilakukan oleh mahluk hidup tetapi dalam mimpi tokoh yang diceritakan hal itu benar-benar terjadi. Ia berdiri untuk pengertian yang sesunguhnya. Bait terakhir yang terdiri dari dua baris merupakan kesatuan bulat yang mengikat bait-bait diatasnya. Bait itu menjadi semacam kesimpulan dari uraian diatasnya. Dalam narasi biasa disebut ending.
Sayangnya kesadaran tentang hal-hal kecil seperti ini selalu di abaikan sebagai suatu hal yang sepele dan khayal terjadi. Hal ini terlukis dalam bait terakhir sebagai ending dari puisi bergaya prosaik ini. Selain menonjol dalam hal gaya kepenulisan, ada pula puisi mbeling yang menonjol dalam hal diksi seperti dibawah ini
Puisi buat pacarku

Duhai pacarku,
Yang pesek
Sebetulnya ik enggak ngebet
Ama situ
Tapi apa daya
Babemu kaya
Nanti kita berbulan madu
Pakek corolla
Ke neraka!
(Amin Subagio, 1976)

Dari segi bahasa yang dipergunakan dalam Puisi Buat Pacarku sudah sangat jelas bahasa yang digunakan bukan bahasa Indonesia dalam ragam yang baku. Bahasa yang digunakan itu lebih dekat dengan bahasa sehari-hari. Kata-kata sehari-hari dan kata-kata yang berasal dari bahasa daerah banyak kita jumpai dari sajak itu. Yaitu pengunaan bahasa indonesia dialek Jakarta. Misalnya ik, enggak.ngebet, dan babe. Pengunaan bahasa sehari-hari seperti itu dan bahasa yang terpengaruh oleh bahasa daerah terasa lebih akrab, lebih memasyrakat, dan lebih nakal.
Sedang maknanya secar eksplisit menampar kebanyakan manusia jaman sekarang yang memilih jodoh. Harta menjadi ukuran yang pertama kali dilihat sebelum mengiyakan sebuah ikatan rumahtangga. Sedang dalam ajaran suatu agama tertentu harta menjadi pertimbangan yang kesekian. Seharusnya yang dilihat pertama kali sebelum menetukan pendamping hidup adalah perilakunya.
Orang yang berperilaku baik lebih mungkin bisa membawa sebuah rumahtangga kepintu surga. Sedangkan harta babe seperti yang dikemukakan dalam puisi diatas hanya akan membawa ke neraka. Memang juga tidak bisa langsung dipukul rata seperti demikian. Namun harta yang tidak dari kerja keras sendiri, apalagi mendapatkanya dengna cara menikahi sang putri dari empunya harta, bukankah hal seperti itu hanya mengedepanlan kepusan pribadi bukan hal yang sebenarnya dicari dalam rumahtangga.












PENUTUP
Puisi dipandang sebagai karya sastra yang memiliki unsur-unsur estetis seperti yang terdapat pada sajak Husspuss, O, Sepisaupi, Tragedi Winka Sihka, Q, Sajak Sikat Gigi, dan Puisi buat Pacarku, yang mewakili sebagian dari contoh-contoh puisi kontemporer yang pernah jaya di eranya. Selanjutnya, mengidentifikasi unsur-unsur yang turut membangun konsep estetis(keindahan) dalam pusi tersebut sehingga membentuk satu keutuhan(unity) puisi tersebut. Dalam keempat pusi tersebut diperoleh unsur-unsur yang diperkirakan mampu menciptakan dan menimbulkan nilai estetis(keindahan), antara lain: diksi, imaji, bahasa kiasan, sarana retorika yang tergabung dalam karakteristik bahasa. Selanjutnya terdapat unsur rima, perulangan bunyi yang tergabung dalam karakteristik bunyi dan makna puisi yang termasuk dalam isi sebuah puisi. Langkah ketiga ialah mengidentifikasi unsur-unsur yang secara merata tergarap dengan baik. Maksudnya menemukan unsur yang menonjol dalam pembangunan konsep estetis pada puisi kontemporer atau unsur yang mendapat tekanan yang tepat (right emphasis) ialah unsur diksi. Hal tersebut didukung oleh hasil yang didapatkan setelah melakukan pembuktian dan pada kenyataannya terdapat pada semua puisi yang ada. Unsur tersebut (diksi) mendorong unsur-unsur lainnya untuk membentuk keselarasan (harmony) dan akhirnya dapat membentuk kesatuan makna yang utuh yang dari segi makna juga mengandung nilai estetis.


Daftar Rujukan

Aminuddin. 1995. Stilistika. Semarang: IKIP Semarang Press.
Endraswara, sewardi. 2006. Metodologi penelitian sastra. Yogyakarta:Pustaka Widyatama.
Suwignyo, Heri. 2008. kritik Sastra Indonesia Modern. Malang: Asah Asih Asuh.
Tarigan, Henry G. 1971. Ptinsip-prinsip dasar puisi. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 1983. Tergantung Pada Kata. Bandung: Pustaka Jaya.
Waluyo, Herman J.. 1987. Teori dan apresiasi puisi. Jakarta: Erlangga.

Morfofonemik

Morfofonemik adalah suatu kajian tentang perubahan-perubahan pada fonem yang disebabkan oleh hubungan antara dua morfem atau lebih. Morfofonemik merupakan subsistem yang menghubungkan morfologi dan fonologi. Di dalamnya dipelajari bagaimana morfem yang direalisasikan dalam tingkat fonologi. Proses morfofonemik merupakan peristiwa fonologis yang terjadi karena pertemuan morfem dengan morfem. Proses morfofonemik dalam bahasa Indonesia hanya terjadi dalam realisasi pertemuan morfem dasar dengan realisasi afiks, baik prefiks, sufiks, infiks maupun konfiks.
Dalam bahasa Indonesia yang terkenal ialah perubahan-perubahan fonem nasal yang berwujud /m/ di depan fonem /b/, /p/, /m/, /t/, /d/, /j/, /c/ dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia sedikitnya terdapat tiga proses morfofonemik, yaitu (1) proses perubahan fonem, (2) proses penambahan fonem, dan (3) proses hilangnya fonem.
Morfofonemik mempelajari perubahan – perubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain / Morfem ber-, misalnya terdiri dari tiga fonem, ialah / b, É™, r /. Akibat pertemuan morfem itu dengan morfem ajar, fonem /r/ berubah menjadi /I/, hinggs pertemusn morfem ber- dengsn morfem ajar menghasilkan kata belajar. Demikianlah di sini terjadi proses morfofonemik yang berupa perubahan fonem, ialah perubahan fonem /r/ pada ber- menjadi /l/.
Kata kerajaan /keraja?an/ terdiri dari dua morfem, ialah morfem ke-an dan –raja. Akibat pertemuan kedua morfem itu. Terjadilah proses morfofonemik yang berupa penambahan, ialah penambahan fonem /?/ pada ke-an, hingga morfem ke-an menjadi /kÉ™-?an/.
Kata melerai terdiri dari dua morfem, ialah morfem meN- dan morfem lerai. Akibat pertemuan kedua morfem itu, fonem /N/ pada morfem meN- hilang, hingga morfem meN- menjadi me-.
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat empat proses morfofonemik yaitu:
1. Proses perubahan fonem
2. Proses penambahan fonem
3. Proses hilangnya fonem
4. Proses pergeseran fonem

4.4 Proses Hilangnya Fonem
Proses hilangnya fonem /N/ pada meN- dan peN- terjadi sebagai akibat pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /I, r, y, w dan nasal/, misalnya:
MeN- + lerai → melerai
MeN- + yakinkan→ menyakinkan
MeN- + merahi → memerahi
MeN- + nalarkan→ menalarkan

peN- + lerai → pelerai
peN- + ramal → peramal
peN- + rusak → perusak
peN- + waris → pewaris
Fonem /r/ pada morfem ber-, per-, dan ter-, hilang sebagai akibat pertemuan morfem-morfem itu dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /r/ dan bentuk dasar yang suku pertamanya berakhir dengan /ər/, misalnya:
ber- + rantai → berantai
ber- + kerja → bekerja
ber- + serta → beserta
ber- + ternak → beternak

per- + rampung→ perampung
per- + rapat → perapat
per- + ragakan→ peragakan

ter- + rebut → terebut
ter- + permanai→ terpermanai
ter- + perdaya→ terperdaya

Fonem – fonem /p, t, s, k/ pada awal morfem hilang akibat pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem – fonem itu, misalnya:
meN- + tulis → menulis
meN- + sapu → menyapu

peN- + tulis → penulis
peN- + karang → pengarang
Pada kata memperagakan dan mentertawakan fonem /p/ dan /t/ yang merupakan fonem awal bentuk dasar kata itu tidak hilang karena fonem-fonem itu merupakan fonem awal afiks ialah afiks per- dan ter-. Demikian juga pada kata-kata menterjemahkan, mensupply, mengkoordinir, penterjemah, pensurvey, fonem=fonem /t, s, k,/ yang merupakan fonem awal bentuk dasar kata itu tidak hilang karena bentuk dasar kata-kata itu berasal dari kata asing yang masih mempertahankan keasingannya.

4.5 Proses Pergeseran Fonem
Ialah suatu pergeseran fonem dari suatu morfem kepada suatu morfem yang lain. Pergeseran fonem terjadi apabila suatu morfem yang berakhir dengan konsonan bertemu dengan morfem lain yang berasal dari fonem vocal dalam suatu kata, misalnya :
PanaÐ… – i → Pana – Ð…i
Pukuâ„“ - i → Puku - â„“i
KaraÅ‹ – an → Kara - Å‹an
Laut – an → Lau – tan

Proses hilangnya fonem /N/ pada meN- dan peN- terjadi sebagai akibat pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /l, r, y, w, dan nasal/, misalnya meN- + lerai menjadi melerai; peN- + lerai menjadi pelerai; meN- + rusak menjadi merusak; peN- + rusak menjadi perusak; meN- + wakil menjadi mewakili; peN- + waris menjadi pewaris; meN- + yakin menjadi meyakinkan; peN- + lupa menjadi pelupa; dan sebagainya.
Fonem /r/ pada morfem ber-, per-, dan ter- hilang sebagai akibat pertemuan morfem-morfem itu dengan bentuk dasar yang berawal dengan /r/ dan bentuk dasar yang suku pertamanya berakhir /er/, misalnya ber- + rantai menjadi berantai, ber- + ternak menjadi beternak; per- + raga menjadi peraga; ter- + rasa menjadi terasa; dan sebagainya.
Fonem-fonem /p, t, s, k/ pada awal morfem hilang akibat pertemuan dengan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem-fonem itu, misalnya meN- + pakai menjadi memakai; meN- + tulis menjadi menulis; peN- + pakai menjadi pemakai; meN- + karang menjadi mengarang; peN- karang menjadi pengarang, dan sebagainya. Perhatikan contoh lain berikut ini.
/’anak/ + /-nda/ /ananda/ /k/
/sejarah/ + /wan/ /sejarawan/ /h/
/’ilmiah/ + / wan/ / ’ilmiawan/ /h/

/ber-/ + /rumah/ /berumah/ /t/
/per-an/ + /raya/ /perayaan/ /r/
/ter-/ + /perdaya/ /terpedaya/ /r/

/meN-kan/ + /kirim/ /mengirimkan/ /k/ luluh
/meN-i/ + /kirim/ /mengirim/ /k/ luluh
/meN-/ + /tangkap/ /menangkap/ /t/ luluh/
/meN- + /pakai/ /memakai/ /p/ luluh


Daftar Rujukan
Alwasilah, A. Chaedar. 1992. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik.
Bandung: Angkasa.

Kridalaksana, Harimurti. 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Purwo, Bambang Kaswanti (Ed.). 2000. Kajian Serba Linguistik untuk Anton
Moliono Pereksa Bahasa. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia
Atmajaya.
Ramlan, M. 1985. Ilmu Bahasa Indonesia Morfologi suatu Tinjauan Deskriptif.
Yokyakarta. C.V. Karyono.

Rusyana, Yus dan Samsuri (eds.). 1983. Pedoman Penulisan Tatabahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sampson, Geoffrey. 1980. Schools of Linguistics Competition and Evaluation.
London: Hutchinson.

Samsuri. 1988. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
P2LPTK.

Samsuri. 1987. Analisis Bahasa: Memahami Bahasa Secara Ilmiah. Jakarta:
Erlangga.

Dardjwidjojo, Soenjono. 1983. Beberapa Aspek Linguistik Indonesia. Jakarta:
Djambatan.

Wahab, Abdul. 1990. Butir-butir Linguistik. Surabaya: Airlangga University
Press.

Wahab, Abdul. 1991. Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya:
Airlangga University Press.
a. Hilangnya fonem /N/ pada meN- dan peN- akibat bertemu dengan bentuk dasar yang berawal /l,r,y,w,dan nasal/. Misal : meN+lerai menjadi melerai peN + ramal menjadi peramal
b. Hilangnya fonem/r/ pada morfem ber-, per-, dan ter- sebagai akibat bertemu dengan bentuk dasar yang berawal fonem /r/ dan suku pertamanya berakhir dengan /Ó™r/.
contoh : ber-+rapat menjadi berapat ter- +rasa menjadi terasa ter- + rebut menjadi terebut
c. Hilangnya fonem /p,t,s,k/ pada awal morfem hilang akibat pertemuan morfem meN- dan peN-dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem-fonem itu. Misal : meN-+paksa menjadi memaksa peN- + karang menjadi pengarang.
Pada kata memperagakan dan mentertawakan fonem /p/ dan /t/ yang merupakan fonem awal bentuk dasar tidak hilang, karena fonem-fonem itu merupakan fonem awal afiks per- dan ter-.
Demikian pula dengan menterjemahkan, mensupply, mensurvey, mengkoordinir. Fonem-fonem /t, s, k/ tidak hilang karena bentuk dasar kata-kata itu berasal dari asing yang masih mempertahankan keasliannya.
Menurut Harimurti, (2007:183) “Morfofonemik adalah subsistem yang menghubungkan morfologi dan fonologi. Di dalamnya dipelajari bagaimana morfem direalisasikan dalam tingkat fonologi”. Alwi (2000:31) berpendapat bahwa proses morfofonemik adalah proses pengubahan bentuk yang diisyaratkan oleh jenis fonem atau morfem yang digabungkan. Menurut Ramlan, (1985:75) “Morfofonemik adalah proses yang mempelajari perubahan-perubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain.” Berdasarkan uraian sebelumnya, morfofonemik terjadi jika beberapa bentuk afiks bertemu dengan fonem awal tertentu pada sebuah kata dasar. Hal ini juga dapat terjadi pada afiks jika bertemu dengan kosakata asing. Misalnya, me(N) + download men-download.
Dalam bahasa Indonesia, terdapat kaidah-kaidah morfofonemik menurut Ramlan, proses morfofonemik dapat digolongkan dalam tiga proses. Tiga proses morfofonemik, yaitu proses perubahan fonem, proses penambahan fonem, dan proses hilangnya fonem.
Proses Penghilangan Fonem
Proses penghilangan fonem adalah proses yang terjadi sebagai akibat pertemuan morfem meN- dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /l, r, y, w, dan nasal/ (Ramlan, 1985:87).
Contoh:
me-render
me(N)- + render (me-render)
/ //N/
Berdasarkan keterangan sebelumnya, dalam Bab 2, penulis akan mengambil konsep proses afiksasi menurut Ramlan. Alasan penulis menggunakan konsep tersebut adalah karena penulis melihat adanya beberapa kesamaan dalam proses pemberian afiks. Selain itu, penulis menggunakan konsep tersebut karena penulis melihat bahwa data yang dikumpulkan penulis sebagian besar memiliki persamaan dalam proses afiksasi seperti yang diajukan Ramlan.
Dalam penelitian kali ini, Penulis akan menggunakan proses morfofonemik menurut Ramlan, karena penulis beranggapan bahwa proses morfofonemik terjadi akibat pertemuan morfem dengan fonem kata dasar. Berdasarkan hal tersebut, penulis menggunakan bentuk meN- sebagai bentuk dasar yang mendekati proses tersebut. Bentuk dasar meN- dengan /N/ sebagai bentuk abstrak merupakan bentuk yang dapat bergabung dengan bentuk mana pun dan dapat mengalami penyesuaian dengan bentuk yang mengikutinya. Selain itu, bentuk /N/ juga sebagai perwakilan dari bunyi nasal.
Berdasarkan keterangan sebelumnya, proses morfologis yang terdapat dalam bahasa Indonesia sama dengan afiksasi pada kosakata asing dalam istilah teknologi informasi. Dalam hal ini, proses morfologis yang dimaksud adalah afiksasi. Akan tetapi, ada beberapa hal yang berbeda dalam proses morfofonemiknya, yaitu kata dalam bahasa Inggris yang bergabung dengan afiks tetap mempertahankan bentuk dasar.

Senyum Karyamin Dengan Pendekatan Mimetik

PEMBAHASAN


A. LATAR BELAKANG
Salah satu cerpen karya Ahmad Tohari adalah cerpen dengan judul Senyum Karyamin, agaknya judul itu sendiri dapat menyuratkan makna yang ingin diangkat dalam cerpen-cerpen di dalamnya. Senyum untuk kepahitan hidup yang sering mendera Karyamin (wakil dari orang-orang desa yang miskin, yang pinggiran, dan juga yang orang yang selalu tidak mendapat keadilan) tanpa mengetahui jalan keluar darinya, dari kepahitan itu. Senyum sebagai lambang dari usaha menerima nasib, bahkan menertawainya, karena apa boleh buat dia sendiri tidak bisa berbuat apa – apa.
Dalam cerpen “Senyum Karyamin”, seorang tukang batu bernama Karyamin terpeleset berkali – kali menumpahkan batu – batu kali yang diangkatnya. Sakit perutnya lapar tak berisi karena tak ada uang yang Ia punya untuk membeli makanan. Sementara utang menumpuk, tengkulak yang menadah batu – batu itu kabur membawa upah mengangkut batu. Belum lagi tagihan untuk sumbangan – sumbangan yang mengancam dari pamong pemerintah setempat. Ia hanya bisa tersenyum.
Dalam cerpen Senyum Karyamin ini banyak menggambarkan sisi kehidupan para warga pinggiran yang tak dipedulikan nasibnya oleh para petinggi negara yang seharusnya memakmurkan hidup mereka. Pendektan yang dipilih untuk mengapresiasi cerpen Senyum Karyamin ini adalah pendekatan Mimetik, karena bila diapresiasi dengan pendekatan mimetik karya sastra ini akan terlihat keindahannya. Ini sesuai dengan pengertian dari pendekatan mimetik itu sendiri yang mengkaitkan pada kenyataan sosial, budaya, alam, dan lingkungan hidup tersebut.
Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang mengkaitkan karya sastra dengan kenyataan yang ditiru atau tercermin didalamnya. Dalam pendektan mimetik sebuah karya sastra dikatakan baik apabila suatu kenyataan, misalnya kenyataan sosial, budaya, alam, lingkungan hidup dan sebagainya. Serta dinyatakan dengan tepat, lengkap, atau secara unik sehingga memiliki daya pesona.
Bila seorang kritikus mengharapkan dari sastra supaya kenyataan diperjelas, maka kriteria inilah yang dipergunakan. Pendapat seperti ini pernah dikemukakan Goenawan Moehamad bahwa tugas sastrawan dan seniman pada umumnya adalah membuat penghayatan terhadap kehidupan menjadi lebih intens. Dengan kata lain karya sastra yang baik hendaknya mempunyai intensitas terhadap realitas, bukan sekedar meletakkan kembali realitas tersebut (Moehamad : 1988:53)




















B. APRESIASI CERPEN SENYUM KARYAMIN DENGAN PENDEKATAN MIMETIK
Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari yang merupakan judul kumpulan cerpen sekaligus bagian cerpen yang dibuat tahun 1980-an. Pada bagian awal cerpen ini kita merasakan indahnya dan besarnya arti sebuah senyum. Karyamin hanya seorang kuli angkut batu yang penghasilannya tidak seberapa bahkan terkadang tidak bisa mendapatkan apapun. Karyamin tersenyum saat apapun yang menimpanya disaat senang atau pun susah walau seringkali terasa perih melanda. Senyum seorang Karyamin adalah gambaran dari sebuah keikhlasan sebagian besar negeri ini.
Karyamin sama seperti kebanyakan rakyat negeri ini yang berada dibawah garis kemiskinan. Mereka hidup dalam keadaan yang sudah susah tetapi keadaan mereka yang demikian susah itu masih ditambah susah lagi dengan program – program Pemerintah yang malah mempersulit hidup mereka.
"Ya. Kamu memang mbeling, Min. Di gerumbul ini hanya kamu yang belum berpartisipasi. Hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk menolong orang orang yang kelaparan di sana. Nah, sekarang hari terakhir. Aku tak mau lebih lama kau persulit."
Karyamin yang dalam kesehariannya tidak mampu untuk memenuhi kehidupannya malah disuruh untuk membayar iuran bagi bangsa afrika yang kekurangan pangan. Ini sangat sesuai dengan apa yang terjadi di negara ini. Berdalih negara yang gemah ripah loh jinawi tetapi untuk menghidupi, memberi makan rakyatnya saja tidak mampu. Tetapi kalau ada negara lain yang membutuhkan bantuan mereka langsung bertindak, sementara nasib rakyat mereka sendiri yang miskin yang sampai berebut makanan dengan hewan tidak mereka pedulikan.
“Setelah melintasi titian Karyamin melihat sebutir buah jambu yang masak. Dia ingin memungutnya, tetapi urung karena pada buah itu terlihatjelas bekas gigitan kampret. Dilihatnya juga buah salak berceceran di tanah di sekitar pohonnya. Karyamin memungut sebuah, digigit, lalu dilemparkannya jauh jauh. Lidahnya seakan terkena air tuba oleh rasa buah salak yang masih mentah. Dan Kar¬yamin terus berjalan.”
“Dan karyamin terus berjalan” ini menggambarkan betapa Karyamin hanya menerima begitu saja keadaan hidupnya, karena mungkin dia tidak tahu harus berbuat apa, atau kalau Ia harus mengadu kepada siapa Ia tak tahu karena tidak ada yang peduli dengan nasib para orang – orang miskin seperti Karyamin. Bagaimana sosok seorang Karyamin yang merupakan orang miskin dengan penghasilan rendah bisa menjalaninya hidupnya meski dengan keadaan yang sulit, pekerjaan yang berat dan tertindas oleh orang yang kaya yang mempermainkan keadaan hidup mereka, bisa bertahan hidup adalah dengan mereka tidak pernah peduli akan masalah yang mereka hadapi. Mereka hanya menerima begitu saja keadaan hidupnya seperti apapun masalah yang menimpa mereka, mereka tidak akan mempedulikannya. Seakan – akan masalah – masalah yang ada pada mereka adalah teman hidup yang selalu menemani mereka.
Bangsa ku, bangsa mu, bangsa kita. Bangsa yang mempunyai senyum terbaik di dunia. Penduduknya dengan ramah memberikan senyum dalam keadaan apapun walau seringkali senyum itu bermakna lain dan jadilan Indonesia sebagai penduduk terramah dan mempunyai senyum terindah di dunia. Karyamin adalah gambaran bangsa ini, masyarakat Indonesia yang di ditulis berupa cerita oleh Ahmad Tohari, cerita yang sangat pilu melanda negeri ini. Layaknya karyamin dan teman-temannya yang sering mentertawakan diri sendiri disaat terperosok ke dalam kesusahan yang menimpa, dan berjuang buat orang lain. Orang lain yang sedang di derita kelaparan.
Begitulah cerpen ini yang menggambarkan negeri ini dengan sosok Karyamin. Cerpen ini indah sekali dari segi apapun kata – kata yang tidak terlalu berat dan makna yang tidak begitu susah dicari tapi cerpen ini sangat menyindir untuk semua pihak. Bagian dari cerpen ini yang tidak kalah penting penekanan pada kata “pandai bergembira dengan cara mentertawakan diri mereka sendiri” yang terdapat lebih dari dua kali. Kalimat tersebut menggambarkan bagaimana kehidupan para warga miskin yang merasa tidak mendapat keadilan dinegara ini. Itu dirasa lucu karena mereka sama – sama warga negara ini tetapi kenapa pemerintah lebih peduli kepada negara lain daripada memperdulikan nasib rakyatnya.
Meskipun demikian orang miskin seperti Karyamin masih mempunyai perasaan saling menolong dan kebersamaan yang kuat antar sesamanya. Ini tergambarkan dalam suasana pedesaan yang menjadi latar dicerpen Senyum Karyamin sebagai dunia yang jujur dan masih erat sekali rasa saling menolong.
“Iya, Min, iya. Tetapi kamu lapar, kan?"
Karyamin hanya tersenyum sambil menerima segelas air yang disodorkan oleh Saidah. Ada kehangatan menyapu kerongkongan Karyamin terus ke lambungnya.
"Makan, ya Min? Aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?"
“Jadi kamu sungguh tak mau makan, Min?” Tanya Saidah melihat Karyamin bangkit.
“Tidak. Kalau kamu tak taham melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena utang –utangku dankawan kawan. ”
Dari kutipan di atas dilukiskan rasa saling menolong masih sangat lekat di pedesaan. Tidak seperti di kota yang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Mayoritas keadaan atau suasana didesa memang seperti itu, para penduduk saling kenal antar warganya tidak seperti warga yang tinggal dikota mereka bahkan tidak kenal tetangga mereka sendiri, suasana kekeluargaan disana sudah hilang, rumah – rumah berpagar tinggi – tinggi dan tertutup.
Dalam cerpen ini juga digambarkan bagaimana kehidupan para rakyat kecil yang berakata – kata kotor, cabul, dan masih mengharapkan sesuatu kekayaan atau uang dengan cara yang cepat dan tentunya yang tidak halal, sangat sesuai dengan keadaan para rakyat miskin di negeri ini. Ini dikarenakan kurangnya pendidikan serta moral agama yang mereka miliki. Misalnya jika kita bermain togel maka perbandingan kita untuk memenangkannya adalah 1:1000. Maka tidak mungkin seharusnya orang – orang yang berpendidikan mau memasang uang mereka untuk togel. Orang – orang seperti Karyamin hanya menunggu saja perubahan dalam hidupnya tanpa mau berusaha mencoba sesuatu hal yang baru yang tentunya dilakukan secara halal dan perhitungan untuk mengubah nasib hidupnya menjadi lebih baik.
“"Bangsat!" teriak Karyamin yang sedetik kemudian sudah kehilangan keseimbangan.”
“Dan tentang nomor buntut yang selalu dan selalu gagal mereka tangkap.”
“"Min!" teriak Sarji. "Kamu diam saja, apakah kamu tidak melihat ikan putih putih sebesar paha?"”
Yang dimaksud nomor buntut dalam penggalan cerpen tersebut adalah nomor togel yang berhasil dimenangkan walaupun uang yang mereka terima paling sedikit jumlahnya.
Ahmad Tohari juga menggambarkan kehidupan desa tempat tinggal Karyamin adalah desa yang masih asri dimana terdapat sebuah kali yang masih asri dan masih dapait diambil batunya. Tidak seperti kali-kali yang ada di kota-kota besar yang kalinya sudah tidak dapat diharapkan lagi karena berwara hitam dan bau. Ini menjelaskan kalau warga desa itu lebih menghargai alam sekitarrnya daripada warga kota yang sudah tertanam sifat individualis meskipun ada sebagian dari mereka yang sadar akan kelestarian lingkungan. Musibah banjir, tanah longsor dan sebagainya yang ada di kota – kota besar seperti Jakarta sebagian adalah akibat dari ulah manusia sendiri. Para warga kota sering membuang sampah kesungai, menebang pohon bakau yang berfungsi sebagai penahan gelombang laut, dan sebagainya. Sehingga keharmonisan dengan alam tidak akan pernah tercapai di kota – kota besar kalau warganya tidak mau mengubah perilaku kehidupan mereka.
“Sebelum naik meninggalkan pelataran sungai, mata Karuyamin menagkap sesuatu yang bergerak pada sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh si paruh udang.punggugnya biru erngkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah sanga. Tiba-tiba burung itu menukik menyambar ikan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan mangsa diparuhnya mangsa diparuhnya burung itu melesat melintasi para pencari batu, naik menghindari rumpun gelagah dan lenyap dibalik gerumbul pandan.”
Judul Senyum Karyamin itu sendiri dapat menyuratkan makna yang ingin diangkat dalam cerpen tersebut. Senyum untuk kepahitan hidup yang sering mendera Karyamin (wakil dari orang-orang desa yang miskin, yang tidak mendapat keadilan di negeri ini, dan yang pinggiran) tanpa mengetahui jalan keluar darinya, dari kepahitan itu. Senyum sebagai lambang dari usaha menerima nasib, bahkan menertawainya, karena apa boleh buat mereka tidak bisa berbuat apa – apa kecuali hanya bisa memberikan senyum kepedihan yang mereka hadapi. Tersenyum karena melihat ketidakadilan dalam negeri ini, senyum karena kehidupan mereka yang terasingkan, dan senyum karena mereka tidak bisa berbuat apa – apa untuk mengubah kehidupan mereka.

Potret Manusia dalam Sosok Pribadi dalam Puisi Diponegoro karya Chairil Anwar

Potret Manusia dalam Sosok Pribadi dalam Puisi Diponegoro karya Chairil Anwar


Bagian I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Dalam puisinya Diponegoro karya Chairil Anwar, Arif Budiman berpandangan sajak itu adalah cerminan dari ekspresi kekaguman Chairil pada semangat hidup Pangeran Diponegoro, di saat jiwanya amat diresahkan dengan kematian dan absurditas. Setelah melihat kematian neneknya chairil anwar mulai putus asa dalam menghadapi hidupnya, ini dibuktikan dengan sajaknya berjudul Nisan. Dalam kebimbangannya tersebut Chairil bertemu dengan sosok Pangeran Diponegoro . Dia melihat betapa Sang Pangeran begitu bergairah mempertahankan hidup ini. Tanpa rasa takut, tanpa rasa bimbang, seakan-akan semua persoalan hidup sudah terjawab.

“Di depan sekali tuan menanti. Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri. Berselempang semangat yang tak bisa mati.”

Melihat semua ini, Chairil muda hanya bisa berkata “Dan bara kagum menjadi api “. Seorang pemuda yang sedang bimbang dan berfikir keras sekarang berhadapan dengan seorang pangeran yang tegak dengan angkuhnya menghadapi hidup ini.
Untuk apa? Apa yang diperjuangkan sang pangeran? “Bagimu, seperti menyediakan api”, katanya. Diponegoro berjuang untuk tanah airnya yang identik dengan kemerdekaaan. Lebih baik punah dari pada hidup menghamba, lebih baik binasa daripada hidup menghamba.
Hidup bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan hanya supaya jangan mati. Hidup adalah sesuatu yang harus diisi dengan arti meskipun itu hanya diberikan satu kali. Dalam keadaaan seperti itu, kematian yang menjadi pikiran yang terus menerus datang menganggu Chairil, tampak idak berarti, karena kehidupan ini sendiri sudah idak menjadi inti persoalannya lagi, melankan hanya bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar itu. Karena itu, meskipun tahu bahwa dia mungkin akan kehilangan hidupnya sang Pangeran tetap tegak di hadapan “lawan banyaknya seratus kali” . Karena kemerdekaan adalah lebih tinggi dari kehidupan itu sendiri.
Tampaknya Chairil cukup terpukau oleh jawaban yang diberikan oleh sang pangeran, sehingga dia tampak bersemangat menuliskan sajaknya ini. Pangeran Diponegoro seakan-akan berhasil membuatnya tertegun, sehingga berlainan dengan kedua sajak Chairil Anwar sebelumnya, disini tidak kita temui momen-momen kontemplasi. Ini tampaknya bukan sesuatu yang khas Chairil si pemuda yang suka termenung dan mempertanggung jawabkan segala hipotesa-hipotesa yang dia buat sendiri.

1.2 Masalah
A. Masalah Umum
Potret Manusia dalam Sosok Pribadi dalam Sajak karya Chairil Anwar Sebuah Pertemuan

Chairil mulai menerbitkan sajak-sajaknya pada tahun 1942 dan dia mengakhiri hidupnya pada tahun 1949, ketika dia berumur dua puluh tujuh tahun.
Masa hidupnya yang relative pendek itu, dihabiskannya dengan menjalani macam-macam bentuk kehidupan. Ketika dia kecil, dia adalah seorang anak manja dari orang tua yang cukup berada. Ketika dia mengalami masa remaja, dia berkencan dengan banyak gadis. Dia pernah hidup gelandangan. Dia adalah pencuri, dia adalah penipu dan sebagainya lagi.
Ketika berumur dua puluh tahun, sajaknya yang pertama diterbitkan adalah tentang kematian. Ketika berumur dua puluh tujuh tahun, tahun kematiannya, dia juga bicara tentang kematian. Ini sangat wajar karena pada saat itu, Chairil mengidap beberapa penyakit didalam tubuhnya, sementara dia terus hidup secara tidak teratur. Chairil tampaknya juga tahu bahwa kematiannya sudah dekat di sisinya.
Persoalan yang menarik di sini adalah apakah ada perbedaan pandangan terhadap gejala kematian ini, sesudah tujuh tahun bergumul dengan kehidupan secara imens?Untuk mencoba menjawab pertanyaan inilah, Arief Budiman mengambil sajak-sajak Chairil yang dia tulis pada tahun 1949, tahun kematiannya.
Apakah manusia?Apa yang harus dia capai dalam hidup ini. Dari mana dia berasal dan kemana dia akan pergi?Semua pertanyaan ini, yang merupakan persoalan yang digumuli oleh Chairil Anwar sepanjang hidupnya, menjadi menarik untuk kita tanyakan kepada diri kita. Karena persoalan tersebut bukanlah hanya persoalan Chairil Anwar saja, tapi juga persoalan kita.
Arief Budiman ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mula-mula mengikuti uraian Jean Paul Sartre.Seorang filosof tentang eksistensi yang cukup terkenal.Menurut Sartre, di dunia ini ada dua macam bentuk eksistensi Etre-en-soi adalah suatu cara bereksistensi secara tertutup Menutup dirinya seperti kita lihat pada benda-benda mati. Karena itu, dia menyatu dengan dirinya secara masif, dia seakan-akan selesai dalam dirinya.Dia tidak memiliki kesadaran sedikitpun, dia rapat tertutup (20, 74)
Sebaliknya dengan bentuk eksistensi yang kedua, etre-pour-se. Dia tdak tertutup, melainkan terbuka, dia tidak massif, melainkan retak. Karena itu dia dapat melihat ke luar dan ini artinya dia memiliki kesadaran, kesadaran bukan saja tentang dunia luar tapi juga kesadaran tentang dirinya sendiri. Bentuk eksistensi semacam ini adalah bentuk eksistensi manusia.
Maka kesadaran akan diri sendiri sebenarnya adalah pengingkaran akan diri sendiri juga. Dia meretakkan keadaan yang sekarang, yang tadinya bersifat masiv, rapat tertutup, karena dengan menyadari dirinya dia mempertentangkan adanya dengan kemungkinan yang lain. Dan lalu memproyeksikan dirinya, kepada kemungkinan yang lain itu. Pada saat dia menyadari dirinya, maka dia tidak lagi menjadi dirinya, dia menjadi retak dua atau lebih karena dia menjadi dirinya dan menjadi juga kemungkinan-kemungkinannya (24, 36).
Sedangkan metode yang dipakai oleh Arief Budiman dalam mengkritik sajak-sajak Chairil Anwar adalah metode kritik Ganzheit. Metode ini bertolak dari pendekatan ekspresif. Arief Budiman tidak membecirakan sajak-sajak Chairil Anwar dari segi bentuk dan isi, tetapi mencoba mendekatinya secara filosofis. Arief tidak berbicara tentang indah tidaknya sajak-sajaknya Chairil sebagaimana terjelma atau tertuang dalam sajak-sajaknya (Yudiono K.S, 1986 : 93). Dalam hal ini landasan teori yang melatarbelakangi adalah sebagai berikut:

Saya sendiri sudah tidak percaya lagi kepada konsepsi apa yang disebut indah dan tidak indah. Sebab itu saya tidak mau mengunakan kata tersebut, karena keburukan artinya. Saya melihat bahwa sebuah seni menjadi indah buat seseorang karena sudah terjadi pertemuan yang otentik antara seseorang dengan dunia yang diungkapkan oleh karya seni (baca sastra) tersebut. Pertemuan itu bersifat pribadi, tidak secara massal, sehingga apa yang disebut indah tidak pernah bisa dirumuskan. Seseorang yang menghayati sebuah karya seni (sastra) sebenarnya sedang melakukan sebuah pertemuan. Antara keduanya saling terjadi perbauran yang dinamis sifatnya. Dari perbauran inilah muncul sebuah nilai, nilai Ganzheit yang terjadi akibat pertemuan subjek dengan objek. Nilai itu bersifat unik dan tidak akan muncul kalau keduanya saling terpisah (Budiman, 1986:98)


B. Masalah Khusus
Gambaran Potret Manusia dalam Teks Puisi Chairil Anwar yang Berjudul Diponegoro
Gambaran potret manusia dalam sajak Chairil yang berjudul Diponegoro adalah gambaran manusia dengan dirinya sendiri.
Chairil yang sebelumnya takut menghadapi kematian. Dia tersadarkan oleh sosok seorang Pangeran Diponegoro yang membela tanah airnya tanpa mempedulikan nyawanya. Dia tersadar hidup bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan hanya supaya jangan mati. Hidup adalah sesuatu yang harus diisi dengan arti meskipun itu hanya diberikan satu kali. Dalam keadaaan seperti itu, kematian yang menjadi pikiran yang terus menerus datang menganggu Chairil, tampak tidak berarti, karena kehidupan ini sendiri sudah tidak menjadi inti persoalannya lagi, melainkan hanya bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar itu. Karena itu, meskipun tahu bahwa dia mungkin akan kehilangan hidupnya sang Pangeran tetap tegak di hadapan “lawan banyaknya seratus kali” . Karena kemerdekaan adalah lebih tinggi dari kehidupan itu sendiri.






Bagian II
POTRET MANUSIA DALAM SOSOK PRIBADI DALAM SAJAK
2.1 Gambaran Manusia dalam Teks Puisi Diponegoro karya Chairil Anwar

a. Manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri.
Setiap pernyataan selalu dilengkapi dengan kutipan (teks puisi atau pernyataan kritikus)
Chairil yang takut menghadapi kematian setelah kehilangan neneknya terseret oleh pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang tujuan hidup ini. Lalu tiba-tiba dia bertemu dengan pahlawan legendaris Pangeran Diponegoro.

Dia melihat betapa sang Pangeran begitu bergairah mempertahankan hidup ini. Tanpa rasa takut, tanpa rasa bimbang, seakan-akan semua persoalan hidup ini sudah terjawab. “Didepan sekali tuan menanti. /Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. /Pedang dikanan, keris dikiri. /Berselempang semangat yang tak bisa mati”.Melihat semua ini Chairil muda hanya bisa berkata : “Dan bara kagum menjadi api”. Seorang pemuda yang sedang bimbang dan berfikir keras sekarang berhadapan dengan seorang Pangeran yang tegak dengan angkuhnya menghadapi hidup ini”. (Budiman, 1976 :12)

b. Manusia dalam hubungannya dengan orang lain/ lingkungan sosial-budaya
Setiap pernyataan selalu dilengkapi dengan kutipan.
Chairil selama ini hidup tanpa mengalami permasalahan sosial yang begitu besar dikejutkan dengan kepergian neneknya. Dia begitu bimbang dalam memikirkan akan kematian tersebut. Saat itulah tiba-tiba dia bertemu dengan sosok pahlawan Diponegoro yang sebagai pahlawan rela berjuang demi membela Negara. Hal itu belum pernah terpikirkan oleh Chairil. Hidupnya yang tidak pernah susah dari kecil begitu kaget melihat sosok Pangeran Diponegoro yang meskipun dia seorang Pangeran dia berjuang maju digaris depan memimpin pasukannya tanpa rasa takut sedikitpun.

“Didepan sekali tuan menanti. /Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. /Pedang dikanan, keris dikiri. /Berselempang semangat yang tak bisa mati”.Melihat semua ini Chairil muda hanya bisa berkata : “Dan bara kagum menjadi api”. Seorang pemuda yang sedang bimbang dan berfikir keras sekarang berhadapan dengan seorang Pangeran yang tegak dengan angkuhnya menghadapi hidup ini”. (Budiman, 1976 :12)

c. Manusia dalam hubungannya dengan Tuhan
Setiap pernyataan selalu dilengkapi dengan kutipan
Chairil yang takut akan menghadapi kematian telah melanggar kodrat dari Tuhan yang telah menetapkan keputusannya kalau setiap manusia nantinya bakal menemui ajalnya. Dia (Chairil) begitu takutnya setelah melihat neneknya meninggal sehingga dia lalu mencari arti dari tujuan hidup ini. Saat itulah dia bertemu dengan sosok Pangeran Diponegoro yang tegak menghadapi hidup ini. Chairil menjadi mengetahui makna dari hidup yang diberikan oleh Tuhan. Dalam hal itu dia menyatakannya seperti berikut:

“Hidup bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan hanya supaya jangan mati. Hidup adalah sesuatu yang harus diisi dengan arti, meskipun arti tersebut hanya kita berikan satu kali. “ (Budiman,1976:12)





d. Manusia dalam hubungannya dengan Negara
Setiap pernyataan selalu dilengkapi dengan kutipan
Dalam puisinya Diponegoro, Chairil benar-benar terpengaruh oleh sosok Diponegoro yang berjuang mati-matian dalam membela Negara yang bagi Diponegoro sendiri adalah sesuatu yang besar dalam hidupnya. Untuk mencapai sesuatu yang besar yaitu kemerdekaan Diponegoro rela mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan negaranya. Seakan-akan nyawa ini tak ada artinya dibandingkan dengan kemerdekan tersebut. Dalam Diponegoro, jelas betapa apresiasi sang penyair atas semangat perjuangan pahlawan tersebut dalam melawan kekuasaan penjajah :

“Di masa pembangunan ini / tuan hidup kembali / Dan bara kagum menjadi api / Di depan sekali tuan menanti / Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali / Pedang di kanan, keris di kiri / Berselempang semangat yang tak bisa mati.” (Budiman,1976:12)

Diponegoro berjuang untuk tanah airnya yang identik dengan kemerdekaan. Lebih baik pubah daripada hidup menghamba, lebih baik binasa daripada hidup tertinda. (Budiman,1976:12)


Bagian III
Kesimpulan
Rasa ketakutan akan kematian yang dialami oleh Chairil Anwar adalah bentuk permasalahan Chairil dengan dirinya sendiri. Chairil yang selama ini tidak pernah tersadar akan permasalahan itu tiba-tiba mendapatkan permasalahan seperti itu langsung menjadi drop dan berusaha mencari arti sebenarnya dari tujuan hidup ini. Chairil yang jiwanya pada saat itu tergunjang dalam menghadapi masalah kematian tersebut lalu bertemu dengan sosok Pangeran Diponegoro. Sosok seorang yang memiliki jiwa seorang pahlawan yang rela barkorban demi bangsa dan negaranya. Diponegoro tidak takut mati, bahkan dia rela mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan Negaranya. Chairil mulai berfikir:

Untuk apa? Apa yang diperjuangkan sang Pangeran? “Bagimu, negeri menyediakan api” katanya. Diponegoro berjuang untuk tanah airnya yang identik dengan kemerdekaan. Lebih baik pubah daripada hidup menghamba, lebih baik binasa daripada hidup tertunda. (Budiman,1976:12)

Hidup bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan hanya supaya jangan mati. Hidup adalah sesuatu yang diisi dengan arti. Hidup akan cukup berharga kalu punya arti, meskipun arti itu hanya kita berika satu kali. Hidup harus dikaitkan dengan sesuatu yang lebih besar dari hidup itu sendiri – dalam hal Diponegoro, kemerdekaan negernya. Dalam keadaan seperti itu, kematian yang menjadi pikiran yang terus – menerus mengganggu Chairil, tampak tidak berarti, karena kehidupan itu sendiri sudah tidak menjadi inti persoalannya lagi, melainkan hanya tinggal bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar itu. (Budiman,1976:12)

Dalam hal ini sosok Pangeran Diponegoro telah membuka mata Chairil dalam memaknai arti hidup itu sendiri. Bahwa hidup bukanlah sesuatu yang harus kita takutkan bila kematian akan menjemput, tetapi kematian itu adalah sesuatu yang kecil dari bagian hidup sendiri. Bagian terbesar dari hidup itu sendiri adalah sebuah segala sesuatu yang kita isi selama kita hidup dan mempunyai arti bagi hidup kita.



Daftar Rujukan

Suwignyo, Heri.2008.Kritik Sastra Indonesia Modern. Malang : A3 (Asih Asah
Asuh)

Budiman, Arief.1976. Sebuah Pertemuan. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya

Analisis Cerpen Jodoh karya A..A Navis dengan Pendekatan Mimetik

A. LATAR BELAKANG
Dalam sebuah karya yang besar akan terpancar pemikiran, kehidupan, dan tradisi yang hidup dalam suatu masyarakat. Membicarakan permasalahan kesusasteraan secara langsung membicarakan tentang suatu aspek kebudayaan. Kebudayaan dalam sebuah masyarakat atau kelompok yang besar akan tetap berubah, sama ada perubahan itu datangnya dari pemikiran kelompok itu sendiri ataupun pemikiran yang di bawa daripada kelompok yang lain. Demikian halnya tentang apa yang terjadi di wilayah Nusantara, wilayah yang terdiri daripada ribuan pulau dan setiap wilayah atau daerah yang tertentu mempunyai budaya dan identitas yang tersendiri.
Masyarakat etnik di Nusantara ini telah ada semenjak ratusan tahun atau bahkan ribuan tahun yang lampau. Selama itu pula mereka telah menumbuhkan, memulihara, dan mengembangkan tradisi mereka. Masing-masing masyarakat etnik itu memiliki tradisi yang berbeda. Seperti yang terdapat dalam cerpen “Jodoh” karya A.A. Navis ini.Cerpen ini menggambarkan budaya masyarakat Minangkabau khususnya dalam memilih pendamping hidup Cerpen ini sekaligus menjadi judul dalam antologi cerpen keempat A.A. Navis yang keempat.
Cerpen Jodoh ini mendapatkan pengharghaan hadiah Kincir Emas dari Radio Hilversum, Belanda tahun 1976. Cerpen ini mengisahkan masalah perjodohan antara dua insan manusia. Perjodohan merupakan hal yang sangat sensitif. Seorang perempuan yang terlambat menikah akan dianggap perawan tua yang tidak laku menikah. Apalagi dalam adat Minangkabau yang memegang prinsip matrilineal, yaitu garis keturunan yang menjunjung tinggai garis keturunan ibu. Oleh karena itu, masalah jodoh tidak lagi hanya menjadi masalah individu, melainkan masalah keluarga bahkan kaum dan negara.
Dalam cerpen Jodoh karya A.A. Navis dikisahkan seorang pemuda asal Minangkabau meskipun dia bukanlah penduduk asli Minangkabau ingin mencari calon pengantin. Permasalahan dimulai ketika dia mengharapkan calon istrinya adalah sosok wanita yang telah mapan dalam segi materi dan tingkah laku. Tentu saja wanita seperti itu sulit sekali dicari. Lalu permasalahan – permasalah mencari jodoh pun muncul. Yang membuat cerita ini menarik adalah dalam cerpen ini dikisahkan seorang pemuda Minangkabau yang ragu dalam berumah tangga karena dia takut akan hal membiayai keluarganya. Tetapi ketakutannya itu akan berakhir setelah dia menjalani pernikahan tersebut, bahwa materi itu bukanlah hal yang terpenting dalam berumah tangga.
Dalam menganalisis cerpen Jodoh karya A.A. Navis ini digunakan pendekatan mimetik karena dalam cerpen Jodoh tersebut banyak terdapat kebudayaan serta permasalahan – permasalahan yang terjadi dimasyarakat.
Pendekatan mimetik yaitu pendekatan kajian sastra yang menitik beratkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas (Abrams, 1981 : 89). Kajian yang dimulai dari pendapat Plato tentang seni. Menurut Plato seni hanya dapat meniru dan membayanglan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang nampak. Dan seni yang terbaik adalah lewat mimetik. Aristoteles berpendapat bahwa mimesis bukan sekedar tiruan, bukan sekedar potret dari realitas, melainkan telah melalui kesadaran personal batin pengarangnya.


JODOH
Oleh: A.A.Navis

Bila jumlah wanita lebih banyak dari pria pada zaman lapangan kerja menyempit hingga pengangguran berlimpahan, tidaklah sulit memeroleh seorang gadis untuk dijadikan istri. Terutama gadis yang telah berusia dua puluh limatahun lebih. Sebab, masyarakat masih memandang mereka sebagai oknum yang menggelisahkan keluarga. Akibatnya, jejaka yang berusia sekitar tiga puluh tahundan punya pekerjaan, seperti Badri, jika mau mengacungkan telunjuknya kepada gadis-gadis itu, jadilah ia istrinya.
Beberapa bulan lagi Badri akan genap tiga puluh tahun. Dibandingkan dengan angkatannya, ia dipandang sudah terlambat memeroleh istri. Bukan karena telunjuk bengkok ataupun kompong, melainkan karena idealismenya yang meluap-luap dalam lapangan sosial dan kebudayaan. Ketika ia menyadari bahwa perjuangan takkan selesai meski ia hidup terus sebagai jejaka, untuk memperoleh seorang tidaklah begitu mudah baginya. Ada tiga macam halangan yang tak begitu mudah ditembus akal sehatnya. Demi turunannya, agar generasi muda mendatang tidak lagi pendek-pendek tubuhnya, ia merindukan seorang gadis yang tinggi semampai. Dan itu tidak mudah ditemuinya dalam masyarakat yang berbakat pendek. Halangan lainnya karena Badri berdarah campuran yang dianggap kurang bermutu menurut pandangan adat Minangkabau yang lebih menyukai perkawinan awak sama awak. Halangan lain ialah kalkulasi biaya hidup yang takkan klop lagi bila ia nikah.
Menurut kalkulasinya, setelah membayar uang makan dan sewa kamar serta hutang-hutang rokoknya, sehabis tanggal lima belas habis pulalah seluruh isi kantongnya. Tentu saja logikanya, kalau ia sudah hidup berdua dengan istrinya maka mulai tanggal satu tentunya kantongnya sudah akan bolong. Meski logika itu tidak seluruhnya benar. Karena menurut kalkulasinya yang lebih cermat, jumlah gajinya akan dapat memberi makan seorang lagi, berikut membeli sepasang pakaian istrinya sekali setahun. Akan tetapi merokok harus dihentikan. Dan menonton film hanya akan dapat dilakukan sekali sebulan.dan itu tidak soal berat. Yang terberat ialah jika ia memikirkan konsekuensi perkawinan. Istrinya tentu akan hamil dan melahirkan anak. Menurut penelitiannya, ongkos periksa sekali wanita hamil sama dengan dua hari gajinya. Biaya bersalin akan menelan gajinya sebulan. Belum lagi kalau dihitung pengeluaran untuk membeli perangkat bayi mulai popok, gurit, dan tempat tidur mungil. Kesimpulan Badri, ia tidak bisa nikah untuk selama-lamanya. Terkecuali bila ia ingin bertingkah laku seperti rekan - rekannya yang lain. Atau seperti Pak Mudo, pesuruh kantor yang mau melaksanakan pekerjaan apa saja yang diminta orang di luar tugas-tugas kantor dan untuk itu ia mendapat imbalan macam-macam, sehingga dapat memberi nafkah istri dan kelima anak-anaknya.
Jalan keluar yang lain, menurut pikiran Badri ialah kawin dengan seorang gadis yang punya pekerjaan. Yang lebih baik ialah kalau yang jadi pegawai negeri. Sebab pegawai negeri lebih banyak mempunyai keringanan tugas dibandingkan dengan pegawai swasta. Pegawai negeri yang terbaik untuk dijadikan istri ialah guru sekolah. Karena guru sudah terlatih dengan hidup yang sangat sederhana. Akan adakah seorang gadis yang tingginya 160 centi yang jadi guru sekolah negeri dan orang tuanya tidak keberatan pada laki-laki yang berdarah campuran seperti Badri.
Kebetulan ada. Lena namanya. Umurnya lebih muda tiga tahun. Ia gadis yang menyenangkan untuk dipandangi. Sehingga bagi Badri, waktu terasa begitu cepat berlalu selagi mereka asyik ngobrol. Tapi setiap Badri mencoba meningkatkan pershabatan ke arah percintaan dengan mulai mengajaknya keluar malam guna menonton film, senantiasa ada alasan Lena untuk mengelak. Entah dengan alasan udara buruk atau filmnya tidak bagus atau badannya yang kurang sehat.
Hanya sekali Badri berhasil mengajak nonton film. Itu pun karena menemani adiknya yang baru datang dari kota lain. Meskipun harapannya tidak penuh terhadap gadis itu, pada waktu-waktu tertentu ia selalu mengunjungi Lena. Dan ia selalu mendapat sambutan yang hangatnya tak pernah menurun. Akan tetapi, tibalah satu bencana. Ketika suatu malam Badri bertandang kembali, Lena tidak membiarkannya masuk. Malah berkata seperti hendak mengusirnya; “Jangan kemari lagi!”
Terpana Badri mendengar ucapan gadis itu. Lebih terpana lagi dia ketika Lena menyebut nama Rosni, seorang gadis yang sering juga dibawanya keluar untuk menonton film. “Aku tidak serius dengan dia,” kata Badri menangkis. “Enak benar jadi laki-laki. Begitu sering membawa seorang gadis keluar malam, tapi kalau ditanya oleh gadis yang lain, lalu dibilang aku tidak serius dengan dia,” umpat Lena dengan tengiknya. Lalu sebelum Badri memberi alasan, pintu ditutup dan dikuncinya dari dalam. Tinggalah Badri terperangah di anak tangga.
Dengan loyo ditinggalkannya rumah Lena sambil mengutuki dirinya sendiri karena sering membawa Rosni keluar malam. Padahal gadis itu tidak ideal baginya. Meski wajahnya cukup cantik dengan kulitnya yang mulus seperti umbut karena usianya yang masih muda. Rosni sepuluh senti lebih pendek dari persyaratan idealnya. Lagi pula terlalu berisi. Tapi yang terutama tidak punya pekerjaan yang menghasilkan nafkah.
Sejak itu, Badri kehilangan orang yang paling menyenangkan hatinya. Ia mulai menghindari Rosni karena ia tidak mau terlibat terlalu dalam dengan gadis itu. Ketika Rosni menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya, Badri merasa bebas dari incarannya. Tapi sebaliknya, setiap ia ketemu Lena di mana pun juga, selalu gadis itu membuang muka.
Beberapa bulan lagi usianya akan menjadi tiga puluh tahun. Usia yang cukup matang untuk menjadi seorang suami menurut pendapatnya. Ia menyadari juga sekiranya ia tidak terlalu teguh berpegang pada prinsip-prinsip hidupnya, ia akan dapat kawin pada hari ulang tahunnya itu. Asal dia mau menyesuaikan diri dengan iklim yang memengaruhi kehidupan masyarakat, soal gaji kecil sebetulnya bukan alasan untuk menunda perkawinan. Karena dengan bergaji kecil sekalipun, orang dapat menghidupi lima sampai sepuluh nyawa. Bahkan, cukup banyak rezekinya sehingga ada di antara mereka yang telah mulai membuat rumah. Badri bukan tidak tahu cara menambah penghasilan itu. Tapi, pikirnya, kalau tidak mampu memperbaiki dunia, janganlah ikut serta lebih merusaknya.
Meskipun ia telah menarik kesimpulan, bahwa laki-laki tidak pernah terlalu tua untuk memperoleh jodoh, namun jika ingat pada usianya menjelang tiga puluh tahun, timbul juga godaan yang kuat dalam dirinya untuk mencari istri. Maka mulailah ia meneliti rubrik kontak Jodoh yang dimuat sekali seminggu dalam satu surat kabar di kota kediamannya. Dicatatnya seluruh gadis yang mencari jodoh melaui rubrik itu sejak penerbitan tiga bulan berselang. Catatan itu diberinya berlajur-lajur seperti pekerjaan, tinggi badan, umur, dan beberapa persyaratannya.
Ia mernemukan 26 gadis yang ingin mendapat jodoh melalui rubrik itu dan 7 orang janda. Badri lebih tertarik pada gadis. Dan yang terpenting semuanya mempunyai pekerjaan. Sembilan belas diantaranya menjadi pegawai negeri. Di antara yang sembilan belas itu ternyata delapan orang yang menjadi guru. Tapi hanya empat orang yang mempunyai tinggi seperti yang diinginkan Badri. Kebetulan keempatnya menyatakan tidak keberatan mendapat jodoh seperti kondisi Badri, yakni bukan penduduk asli daerah. Untuk memilih salah seorang, Badri menetapkan pilihan pada gadis yang lebih dahulu mengikuti rubrik itu. Gadis itu berkode AX/19. Maka segeralah ia menulis surat kepada redaksi untuk membuat kontak. Selama dua belas hari menunggu balasan merupakan siksa dalam kehidupan Badri. Tapi, lima hari menjelang pertemuan pertama setelah kontak surat berlangsung, merupakan hari-hari yang terpanjang yang sangat menyesakkan napasnya.
Mereka akan bertemu di depan Toko Lima pada jam lima sore. Gadis itu akan mengenakan switer kuning dengan rok lembayung sebagai pengenal. Sedang Badri akan mengenakan baju batik dan pengepit segulungan majalah diikat dengan pita merah. Badri lebih cepat datang lima menit dari waktu perjanjian, karena takut kalau sampai terlambat dari waktunya. Satu menit sebelum jam lima ia telah kian gugup meskipun matanya lirak-lirik mencari-cari gadis yang berswiter kuning. Persis jam lima ia tak tahan lagi disiksa kegugupan. Lalu ia menyelonong dalam toko itu dengan maksud akan mengintip kedatangan gadis itu dari dalam toko. Ketika ia baru saja memasuki ambang pintu toko itu, seorang gadis berswiter kuning hendak keluar. Mereka saling tertegun dengan matanya sama-sama terbeliak. Karena gadis itu lena. Tidak lain.
Tapi belum sempat Badri berpikir, Lena segera terpaling. Kemudian dengan langkahnya yang tergesa-gesa berlalu dari situ menyeberangi jalan. Cepat Badri menarik kesimpulan, bahwa Lena, pastilah jodohnya. Peristiwa itu bukanlah suatu kebetulan, tapi sudah diatur oleh tali nasib. Lalu dikejarnya gadis itu dengan langkahnya panjang-panjang. Dan ketika telah dekat digenggamnya lengan gadis itu kuat-kuat sambil mengiringkan langkahnya.
“Lepaskan aku,” bentak Lena seraya mencoba membebaskan lengannya dari genggaman Badri, “Nanti aku berteriak.”
Dan Badri tak percaya bahwa gadis itu akan berani berteriak di tengah orang ramai itu. Lalu katanya: “Berteriaklah.” Di luar dugaannya. Lena betul-betul berteriak. Orang ramai segera dating merubungi mereka. Nyaris insiden yang lebih parah berlangsung. Kalau tidak seorang polisi mencegah, pastilah Badri akan dikeroyok orang banyak. Lalu keduanya dibawa ke gardu polisi terdekat. Di hadapan polisi yang memeriksa semua kartu dibuka.
“Gila kau,” kata Lena selesai membaca naskah cerpen yang baru selesai ditulis suaminya. “Masa kisah kita mau dibeberkan pada orang banyak?” Badri merangkul pinggang istrinya sambil tertawa. Mereka sudah lama menikah dan kini telah punya dua orang bayi yang demikian rapat jarak kelahirannya. Mereka kawin dengan pesta yang meriah dan upacara adat yang tradisional.
Dan semenjak, itu Badri tinggal di rumah mertuanya, seperti juga suami-suami lainnya di Minangkabau.
Pola hidup yang matrilineal yang dulu tidak disukai demikian indah kenyataannya setelah memiliki Lena. Kalkulasi biaya hidup yang mencemaskan dulu, ternyata pula tidak perlu diributkan. Malah ketika anaknya yang kedua lahir, Lena dianjurkan sendiri untuk berhenti menjadi guru karena seni hidup bukanlah perhitungan yang eksak, melainkan penyesuaian diri pada iklim yang membentuk masyarakat. Idealisme masa jejakanya ternyata pula suatu utopia semata. Idealisme yang membius pada orang-orang yang tidak mempunyai beban hidup kekerabatan. Sedangkan idealisme seorang laki-laki yang telah menjadi suami dan menjadi seorang ayah ialah idealisme abadi, yakni bagaimana membahagiakan istri dan anak-anak.
Dan kalau Badri sesekali membaca surat kabar yang mengisahkan perjuangan-perjuangan orang-orang untuk mencapai cita-cita, cepat-cepat Badri menutup surat kabar itu dan meletakkannya di rak kertas-kertas tua yang akan diloakkan mertuanya.

(Berkenalan Dengan Prosa Fiksi, 2000:177-186)


B. BIOGRAFI PENGARANG
Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17 November 1924 - meninggal 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.
Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi banyak sastrawan. Ia seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Ia menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi.
Sebagai seorang penulis, ia tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya sendiri, yakni Jodoh (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep, 1975), Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang majalah Femina, 1979), Kisah Seorang Pengantin, Maria, Nora, dan Ibu. Ada yang ditulis tahun 1990-an, dan ada yang ditulis tahun 1950-an.


C. APRESIASI CERPEN “JODOH” DENGAN PENDEKATAN MIMETIK

Nadila (2003:76) menyatakan bahwa ide cerita pembuatan cerpen Jodoh ini diilhami oleh kisah perkawinan Hamid Jabar yang dituturkan oleh sastrawan Wisran Hadi kepada A.A. Navis. Namun ketika cerpen ini selesai digarap isinya tidaklah sama dengan kenyataan yang sebenarnya. Itulah sastra, sesuatu yang tidak mungkin dalam kehidupan nyata bisa diciptakan dan dilakukan dalam lingkungan sastra yang imajinatif.
Cerpen ini menceritakan kisah hidup Badri yang berniat mempunyai istri, akan tetapi mengingat biaya hidup yang tinggi menyebabkan Badri berfikir seratus kali. Badri akhirnya mempunyai jalan keluar, yaitu dia harus mencari istri yang mempunyai mata pencaharian. Diharapkan calon istrinya tersebut adalah guru negeri karena guru sudah terbiasa sederhana. Kebetulan ada gadis yang serupa dengan keinginannya. Mereka sempat berkenalan. Karena salah sangka, perkenalan itu putus. Dalam keputusasaannya Badri lalu mulai rubrik kontak jodoh. Ternyata Badri berhasil, dan menikah dengan Lena gadis kenalannya dulu.
Apa yang dilukiskan Navis dalam cerita ini memang sesuai dengan kenyataan hidup. Pada awal cerita kita melihat bagaimana pandangan kebanyakan kaum pria terhadap wanita.
”,,,jika mau mengacungkan telunjuknya kepada gadis-gadis itu, maka jadilah ia istrinya”
Akan tetapi, untuk mendapatkan seorang wanita sebagai istri tidaklah semudah apa yang disangkakan sebagian kaum pria. Sebagaimana halnya yang terjadi pada Badri. Begitu pula dengan apa yang dikemukakan Navis mengenai keluarga yang mempunyai anak gadis dirumahnya. Diperlukan pertimbangan – pertimbangan sebelum memilih jodoh yang sesuai untuk dijadikan sebagai suami ataupun sebagai istri mereka. Hal itu memang sesuai dengan kenyataan yang terjadi di sebagian masyarakat kita.
”,,,tidaklah sulit memperoleh seorang gadis untuk dijadikan istri. Terutama gadis yang telah berusia duapuluh lima tahun lebih, sebab masyarakat masih memandang mereka sebagai oknum yang mengisahkan keluarga. Seolah perawan tua merupakan cacat hidup yang mengandung dosa keluarga”
Begitu pula dengan orang-orang seperti Badri yang demikian teliti membuat perencanaan hidupnya menjelang berumah tangga. Banyak kita temui dalam masyarakat kita sekarang ini orang – orang menikah dengan mempertimbangkan bebet, bibit, dan bobotnya. Badri sendiri ingin agar istrinya nanti adalah seorang pegawai negeri. Bahkan, kalau Badri dapat mempersunting seorang guru, dia akan sangat bahagia.
”Menurut kalkulasinya, setelah membayar uang makan dan sewa kamar serta hutang-hutang rokoknya, sehabis tanggal lima belas habis pulalah seluruh isi kantongnya. Tentu saja logikanya, kalau ia sudah hidup berdua dengan istrinya maka mulai tanggal satu tentunya kantongnya sudah akan bolong. Meski logika itu tidak seluruhnya benar. Karena menurut kalkulasinya yang lebih cermat, jumlah gajinya akan dapat memberi makan seorang lagi, berikut membeli sepasang pakaian istrinya sekali setahun. Akan tetapi merokok harus dihentikan. Dan menonton film hanya akan dapat dilakukan sekali sebulan.dan itu tidak soal berat.”
Seorang guru terlatih hidup sederhana. Pada jaman sekarang semakin banyak jejaka yang ingin menikah dengan seorang gadis yang sudah memiliki pekerjaan. Karena bisa membantu meringankan biaya hidup rumah tangganya. Apalagi, kalau si jejaka bukan pegawai negeri, Ia merasa sangat penting mempunyai istri seorang pegawai negeri. Sang istri akan mempunyai gaji tetap setiap bulan dan pada suatu saat ia akan menerima pensiun.
“Karena guru sudah terlatih dengan hidup yang sangat sederhana. Akan adakah seorang gadis yang tingginya 160 centi yang jadi guru sekolah negeri dan orang tuanya tidak keberatan pada laki-laki yang berdarah campuran seperti Badri.”
Guru wanita mempunyai gaji tetap. Seorang guru lebih banyak berada di rumah, guru sebagai ibu, biasanya akan dapat mendidik anaknya atau setidaknya akan lebih memperhatikan pendidikan anaknya. Ini sesuai karena pendidikan adalah hal yang terpenting saat ini. Karena bila kita tidak bisa bersaing dalam bidang pendidikan tentu kita akan tertinggal dan untuk mencari pekerjaan pun akan sulit. Hal yang seperti ini juga yang diimpikan oleh Badri ataupun pemuda – pemuda saat ini yang mencari jodoh.
Dalam adat budaya suku Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki suku ini perkawinan juga menjadi proses untuk masuk pada lingkungan baru pada pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak istri menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas rumah gadang mereka.
Di dunia, system matrilineal seperti adat minangkabau seperti ini hanya di anut oleh kurang dari 10 suku, diantaranya:
1. Minangkabau (Indonesia)
2. Campa (Vietnam)
3. Muangthai (Thailand)
4. Suku bangsa di India
Berbicara masalah matrilineal di Minangkabau, beberapa pendapat muncul. Salah satunya garis keturunan menurut ibu menimbulkan kecenderungan negatif bagi laki-laki di Minangkbau. Mereka di anggap hanyalah sebagai “pejantan” yang dinikahi para perempuan untuk menjaga eksistensi suku sang perempuan. Tapi di sisi lain, status yang jelas bagi seorang anak juga terjamin karena ia telah diketahui adalah anak dari ibunya yang merupakan garis keturunan yang dianut di minangkabau.
Apabila dibandingkan dengan kondisi sekarang, hal itu hampir sama dengan sebelumnya. Perbedaannya adalah sekarang muncul istilah aliran feminisme yang merupakan pengaruh dunia barat. Engels menyatakan,”Dengan menekankan bahwa ketika seorang laki-laki mengambil seorang perempuan, ia kemudian hidup di dalam kehidupan si perempuan. Keadaan ini bukan sebagai tanda subordinasi perempuan terhadap laki-laki, melainkan sebagai tanda kekuatan ekonomi perempuan.”.
Perempuan minang oleh adat diberikan hak property memiliki sawah, rumah, ladang dan tanah. Perempuan sulit untuk diintervensi ataupun diintimidasi oleh suami karena ada perlindungan dari seseorang yang disebut mamak (saudara laki-laki dari sukunya).
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut Baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan, dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria) sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di Mesjid sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan baru penganti panggilan nama kecil sebelumnya, dan masyarakat sekitar selanjutnya akan memanggilnya dengan nama tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi di kawasan pesisir pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.
“Pola hidup yang matrilineal yang dulu tidak disukai demikian indah kenyataannya setelah memiliki Lena. Kalkulasi biaya hidup yang mencemaskan dulu, ternyata pula tidak perlu diributkan. Malah ketika anaknya yang kedua lahir, Lena dianjurkan sendiri untuk berhenti menjadi guru karena seni hidup bukanlah perhitungan yang eksak, melainkan penyesuaian diri pada iklim yang membentuk masyarakat.”
Pada akhirnya Badri tidak menyenangi pola hidup yang matrilineal dan Badri tidak senang bila sesudah kawin suami tinggal di rumah mertuanya yang telah menjadi adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Sesudah kawin Badri ingin istri dibawa kerumahnya sendiri dan dialah yang menjadi raja dalam rumah tangganya, bukan mertuanya. Pemuda – pemuda Minangkabau sekarang banyak yang sudah melakukan praktek seperti itu, yaitu ingin hidup di rumahnya sendiri dan mengatur rumah tangganya tanpa ada campur tangan dari mertua. Karena dengan hidup sendiri tanpa campur tangan mertua mereka tidak akan ada perasaan segan untuk memilih jalan kehidupan yang mereka ambil dalam berumah tangga.
Badri juga menginginkan agar Lena berhenti dari pekerjaannya sebagai guru dan tinggal di rumah merawat anak. Keadaan ini dirasakan Badri dan kebanyakan kaum pria yang telah berumah tangga agar seorang istri itu haruslah mengurus dan mendidik anak saja, tidak perlu bekerja karena bekerja adalah tugas seorang pria sebagai kepala rumah tangga.


D. PENUTUP
Dari cerpen “Jodoh” karya A.A Navis ini dapat diambil hikmah bahwa dalam hidup ini selain ditentukan oleh perhitungan yang tepat, masih ada lagi faktor lain, yaitu faktor nasib yang ditentukan oleh Tuhan.Manusia hanya bisa berusaha, meskipun telah berusaha sedemikian kerasnya tetapi kalau Tuhan tidak meridhoinya maka hal yang diinginkannya tidak akanterwujud. Meskipun Badri berfikir dan menghitung kalau dia memiliki istri seorang guru akan bisa menopang kebutuhan rumah tangganya, tetapi kemudian dengan gajinya seorang ternyata biaya hidupnya sudah bisa ditanggulanginya sendiri. Kenyataan yang seperti inilah yang mengubah idealisme yang dulu pernah digunakannya.








DAFTAR RUJUKAN

Nadila, Ivan. 2003. AA. Navis: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo
Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.