Selasa, 28 Februari 2012

”Bakti Yang Belum Bisa Kuberikan”

”Bakti Yang Belum Bisa Kuberikan”

“Braaaak….! Suara tas dibanting dimeja. Seorang remaja merebahkan badan yang lusuh ke atas kasur. Tatapan muka yang kesal akibat kejadian yang baru saja terjadi.
”Kamu ini anak yang tidak bisa diatur!, aku ini ibumu kau anggap apa kalau kamu tidak mau mendengarkan ibu mu? Kerjamu Cuma menghabiskan uang, pulang malam, seharusnya tugas kamu seorang pelajar yaitu sekolah bukan malah bekerja atau main balapan liar.! Sentak ibu Adit. ”Bu, aku juga sekolah, aku sudah mematuhi ibu. Tapi ibu yang selalu mengekangku.! Adit.
Kilas kejadian pertengkaran tadi membayang dipikiran Adit. Membawa sebengkal tas ransel dan beberapa pakaian adit melangkah keluar rumah, walaupun saatakan keluar sang ibu menghentikan langkahnya tetapi dia tak menghiraukan teriakan sang ibu.
”Adit, mau kemana kamu..... kamu itu tidak pernah menghargai ibumu!”
Sambil melanjutkan langkah radit tersenyum, dibalik senyuman itu tersirat kata ”maaf bu, saya akan buktikan kalau saya bisa mandiri tanpa orang tua yang menghambat saya berkreasi”
Langkah kaki radit berlanjut ke sebuah kota besar yang ada di jawa barat. Tanpa disadari sudah seminggu dia keluar rumah tapi dia merasa masih belum cukup, dia ingin mencari sesuatu yang lebih lagi dan masih belum puas dengan keadaannya. Hidup menggelandang dan kerja serabutan..langkahnya berhenti di sebuah perempatan membeli sebuah minuman untuk melepas lelah dia melihat seorang ibu yang mengemis sambil membawa seorang anak yang masih kecil, kumal, pucat, kotor dan kurus itu terus mondar-mandir dibawah lampu perempatan. Terik matahari yang membawa api tak dihiraukannya. Perlahan-lahan dia mendekat sambil menjulurkan tangannya kea rah ku yang sdang duduk di sebuah warung kecil.
“Mas minta sedekahnya seikhlasnya saja buat makan hari in” Lalu kusodorkan beberapa uang kecil “terima kasih mas”. Sembari memberikan sepotong roti kepada bocah yang sedari tadi bersamanya yang terus menatap ku. Menerima roti dari ku wajah bocah tadi mulai menampakkan senyum.sambil berlari menuju ibunya yang telah menjauh duluan. Dada ku tiba-tiba sakit, melihat mereka berdua yang hidup harmonis membuatku merasakan sakit karena ulahku yang meninggalkan keluargaku.
Panasnya udara jalanan tak membuat mereka lelah, sejak tadi terus ku perhatikan mereka mencari keping-keping uang receh dari mobil-mobil plat merah konglomerat berpostur gendut, aku berfikir mungkin orang-orang itu terlalu banyak makan uang korupsi sehingga tubuh mereka seperti itu. Mereka tidak pernah melihat sekitar mereka banyak tulang-tulang kecil mengais rejeki dengan bertaruh nyawa diperempatan.
Kulangkahkan kaki ini meninggalkan suara-suara malaikat kecil berbaju rombeng mengais rejeki. Teriakan seorang kernet bus yang memekik telinga ku menghentikan langkah kaki ini, lantas segera ku naiki bus itu meski tak tahu kemana perjalanan ku akan berakhir. Ku lihat suasana didalam bus yang cukup sepi, selintas ku lihat ada bangku yang kosong dibelakang dekat pintu keluar, segera ku tempati bangku tersebut. Perasaan dan pikiran ku selintas kosong dalam lamunan memikirkan keadaan orang tua ku yang telah ku tinggalkan. Ingin rasanya ku kembali tapi aku masih merasa kesal dengan mereka.
”Ckkiiitttt.....” suara rem bus berhenti. Aku terbangun dari tidur ku mendengar suara kernet yang berteriak-teriak menurunkan penumpangnya. Ku lihat sekeliling ternyata aku telah sampai di sebuah terminal di ibukota. Ku lihat waktu telah menunjukkan pukul 7 malam. Aku lantas turun, dan mencari sebuah mushola. Entah kenapa langkah kaki ini ingin menuju sebuah mushola padahal selama ini aku jarang beribadah, selama ini aku telah lupa kepada yang maha kuasa, ku ingat terakhir aku sholat adalah ketika akan ujian nasional SMP.
Sampai di sebuah mushola terminal aku segera masuk ke dalam untuk mengambil air wudhu. Di dalam mushola hanya ada aku sendiri aku merasa canggung untuk menunaikan kewajiban ku. Tapi dengan hati yang kuat aku memulai sholat ku ini, meskipun aku tak tahu apakah sholat ku ini diterima atau tidak karena aku telah menyakiti hati orang tua. ”Allahhu Akbar..”
Selesai menyelesaikan kewajiban ku, aku beranjak untuk melanjutkan perjalanan meskipun hari telah larut. Saat memakai sepatu ku lihat samar-samar di sebuah lorong yang ditutupi kegelapan malam ada seorang ibu-ibu yang dirampok oleh 4 orang preman. ”Tolong-tolong ada jambret...” tak tahu apa yang harus ku lakukan karena suasana terminal yang sepi dan terletak jauh dari keramaian malam itu.
Ku segera berlari menuju ibu tersebut untuk membantunya, pukulan tangan ku berhasil mengenai salah satu wajah dari preman tersebut. ”Brruukk...!” Tergelempar dan terjatuh salah satu preman tersebut. ”hey, jangan ganggu ibu ini..!” Teriak ku. Lalu tanpa ku sadari tangan ku dikunci oleh kedua preman itu, sedangkan satunya mengeluarkan sebilah pisau dari belakang bajunya. ”Jleeebb...” Pisau itu menghunus ke perut ku dan tubuh ku. Kurasakan 4 tusukan pisau diperutku. Sang ibu yang sedari tadi berada disebelahku berteriak histeris. ”Tolong...tolong..!” Badan ku terjatuh, darah merah bercucuran dari perutku. Aku tak sadarkan diri.
Sayup-sayup kudengar suara decit kereta dorong dan langkah kaki orang-orang. Salah satu dari mereka berkata dan memanggil dok, kini ku tahu pasti sekarang aku sedang berada disebuah rumah sakit tapi entah dimana. Aku merasa lega mungkin aku masih bisa selamat dari keadaan ini dan jika aku bisa selamat hal pertama yang ingin ku lakukan adalah menemui kedua orang tua ku. Aku tak ingin membuat mereka bersedih lagi. Lalu aku jadi teringat ibu tadi yang dijambret, bagaimana keadaannya? Ku harap dia juga baik-baik saja. Mata ku masih belum bisa terbuka,tapi yang ku lihat hanya putih belaka di sekeliling. Tubuh ku susah untuk digerakkan dan terasa sakit sekali ketika kugerakkan. Tapi telinga ku masih bisa mendengar suara-suara yang ada di sekitarku. Suara yang membuat pupus asa ku.
”Dok, keadaan pasien ini sudah tidak bisa diselamatkan lagi, tusukan benda tajam tadi telah menusuk ulu hati orang ini. Dengan peralatan medis seperti ini kita tidak bisa berbuat banyak.”
”Mungkin kita tidak bisa berbuat banyak tapi sebagai seorang dokter saya wajib berusaha semaksimal mungkin untuk menyelematkan nyawanya.”
Pikiranku kosong...
Hanya senyuman dari wajah kedua orang tua ku yang hadir dibenak ku saat itu. Senyum itu, wajah itu tak bisa lagi ku lihat, terlebih lagi aku telah membuat mereka sakit hati.
Berangsur-angsur kurasakan gelap, dingin di tubuh ku, tak ada yang bisa ku gerakkan, bersamaan dengan hilangnya bayangan wajah kedua orang tua ku.
GELAP.