Minggu, 11 Desember 2011

Pembelajaran Berbasis Multikultural

PENDAHULUAN
Dalam sejarahnya, multikulturalisme diawali dengan teori melting pot yang sering diwacanakan oleh J Hector seorang imigran asal Normandia. Dalam teorinya Hector menekankan penyatuan budaya dan melelehkan budaya asal, sehingga seluruh imigran Amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni budaya Amerika, walaupun diakui bahwa monokultur mereka itu lebih diwarnai oleh kultur White Anglo Saxon Protestant (WASP) sebagai kultur imigran kulit putih berasal Eropa.
Dalam dunia pendidikan, multikultural adalah transformasi pembelajaran kooperatif di mana di dalam proses pembelajaran setiap individu mempunyai kesempatan yang sama. Sedangkan, transformasi pembelajaran kooperatif itu sendiri mencakup pendidikan belajar mengajar, konseptualisasi dan organisasi belajar. Belajar kooperatif mengandung pengertian sebagai suatu strategi pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil, di mana pemelajar bekerja bersama, belajar satu sama lain, berdiskusi dan saling membagi pengetahuan, saling berkomunikasi, saling membantu untuk memahami materi pembelajaran, sehingga dalam pembelajaran kooperatif setiap anggota kelompok bertanggungjawab terhadap keberhasilan setiap anggota kelompoknya.

PEMBAHASAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Apa itu Pembelajaran Berbasis Multikultural?
Pembelajaran multikultural adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui, menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, kelas, (Sleeter and Grant, 1988). Pendidikan multikultural adalah suatu sikap dalam memandang keunikan manusia dengan tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang (Skeel, 1995). Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas (Liliweri, 2005). Pendidikan multuikultural didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya (Banks, 1993).
Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek; dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.
Pembelajaran berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan multikultural bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetisi budaya individual.
Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat (Savage & Armstrong, 1996). Pendidikan multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis. (Farris & Cooper, 1994).
Tujuan pendidikan dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi:
(1) Memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam.
(2) Membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan.
(3) Memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya.
(4) Membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok (Banks, dalam Skeel, 1995)
Di samping itu, pembelajaran berbasis multikultural dibangun atas dasar konsep pendidikan untuk kebebasan (Dickerson, 1993; Banks, 1994); yang bertujuan untuk: (1) membantu siswa atau mahasiswa mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk berpartisipasi di dalam demokrasi dan kebebasan masyarakat; (2) memajukan kekebasan, kecakapan, keterampilan terhadap lintas batas-batas etnik dan budaya untuk berpartisipasi dalam beberapa kelompok dan budaya orang lain.
Di dalam pendidikan multikultur diharapkan terjadi proses pembelajaran yang menyentuh dan diharapkan pendidikan multikultur berpihak pada aku dan kamu. Menurut Martin Buber Gabriel Marcel bahwa pendidikan multikultur yang diwaujudkan melalui pembelajaran terjadi hubungan manusia dengan masyarakat di mana manusia sebagai makhluk sosial dan dengan terjadinya hubungan dengan masyarakat yang tanpa pamrih akan terwujud harapan kita sebagai hamba Allah sehingga terjalin hubungan dengan sang pencipta. Kebutuhan individu yang berbeda satu sama lain dan kebutuhan masyarakat pada umumnya berbeda maka dalam pelaksanaan pembelajaran hendaknya memberlakukan berbagai metode di mana kemampuan peserta didik satu dengan lainnya berbeda baik tingkat intelektual, kecepatan belajar, sifat maupun sikap, sehingga dapat menggali kemampuan peserta didik tiada batas berkembang secara optimal.
Selajutnya, dalam pendidikan multikultur seharusnya dapat memberikan perubahan secara bertahap dan berkelanjutan sehingga tujuan pendidikan dapat dicapai di mana belajar merupakan aktivitas individu bersama orang lain dan tujuan belajar adalah penetapan harapan ke depan tentang kompetensi atau penguasaan yang dipelajari, dan struktur di dalam menentukan saling ketergantungan antar pembelajar saat mereka berusaha untuk mencapai tujuan belajarnya. Guru hendaknya bukan sekedar memindahkan pengetahuan ke peserta didik, tetapi membantu peserta didik membangun pengetahuannya. Oleh karena itu, peran guru lebih merupakan mediator dan fasilitator yang membantu peserta didik untuk dapat mengkonstruksi pengetahuan secara cepat dan efektif. Dengan demikian, seorang guru perlu mempunyai pandangan, pengetahuan yang luas sehingga memahami berbagai cara, dan strategi dan tidak terpokus pada satu model mengajar saja, sehingga dapat menggali potensi-potensi yang dimiliki peserta didik menjadi kemampuan yang akan dimilikinya.
Pendidikan multikultur harus diarahkan pada kegiatan mengembangkan kesadaran dan kebanggaan menjadi bangsanya sendiri, di mana sebagai suatu bangsa yang memiliki beraneka ragam budaya dan memliki sistem yang beragam dan dalam pelaksanaan pembelajaran tidak membedakan peserta didik satu dengan lainnya dan semua peserta didik dapat terlayani dengan baik karena mempunyai hak yang sama. Memiliki kesempatan yang sama berarti terlibat dalam proses pembelajaran yang tepat. Tuntutan dan tantangan kehidupan yang meningkat seiring dengan era globalisasi, begitu pula dengan dunia pendidikan yang juga memasuki perkembangan baru, sekarang sekolah-sekolah sudah mulai mencapai standar nasional maupun internasional sehingga para peserta didik dapat beradaptasi pada sistem tersebut. Namun reformasi dunia pendidikan berjalan lambat karena adanya sistem sentralisasi sementara proses globalisasi terus berjalan. Nilai-nilai meritrokrasi bukan hanya dilihat secara kualitatif, melainkan juga secara kualitatif. Meritrokasi yang bersifat kuantitatif merujuk pada penghargaan perolehan nilai dan hasil pengukuran pengetahuan, yang berwujud skor, sedang meritokrasi yang bersifat kualitatif harus dapat mengungkap sikap, perilaku, dan etika sebagai implementasi pengetahuan yang dimiliki.
Penghargaan pada prestasi boleh bervariasi. Penghargaan individual terjadi bila penghargaan itu dapat dicapai oleh pemelajar manapun tidak tergantung pada pencapaian individu lain. Penghargaan kompetitif terjadi bila penghargaan itu diperoleh sebagai upaya individu melalui persaingan dengan orang lain. Sedangkan penghargaan kooperatif diperoleh dari keberhasilan bersama anggota kelompok yang lain.

Mengapa perlu Pembelajaran Berbasis Multikultural?
Rasional tentang pentingnya pendidikan multikultural, karena startegi pendidikan ini dipandang memiliki keutamaan-keutamaan, terutama dalam: (1) memberikan terobosan baru pembelajaran yang mampu meningkatkan empati dan mengurangi prasangka siswa atau mahasiswa sehingga tercipta manusia (warga negara) antarbudaya yang mampu menyelesaikan konflik dengan tanpa kekerasan (nonviolent); (2) menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran yang potensial dalam mengedepankan proses interaksi sosial dan memiliki kandungan afeksi yang kuat; (3) model pembelajaran multikultural membantu guru dalam mengelola proses pembelajaran menjadi lebih efisien dan efektif, terutama memberikan kemampuan peserta didik dalam membangun kolaboratif dan memiliki komitmen nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat yang serba majemuk; (4) memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia dalam penyelesaian dan mengelola konflik yang bernuansa SARA yang timbul di masyarakat dengan cara meningkatkan empati dan mengurangi prasangka.
Kondisi keberagaman masyarakat dan budaya, secara positif menggambarkan kekayaan potensi sebuah masyarakat yang bertipe pluralis, namun secara negatif orang merasa tidak nyaman karena tidak saling mengenal budaya orang lain. Setiap etnik atau ras cenderung mempunyai semangat dan ideologi yang etnosentris, yang menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras lain (Jones, dalam Liliweri, 2003). Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan sebagai perasaan. Prasangka juga diarahkan kepada sebuah kelompok secara keseluruhan, atau kepada seseorang hanya karena itu adalah anggota kelompok tertentu. Secara demikian, prasangka memiliki potensi dalam mengambinghitamkan orang lain melalui stereotipe, diskriminasi dan penciptaan jarak sosial (Bennet dan Janet, 1996)
Melalui pembelajaran multikultural, subyek belajar dapat mencapai kesuksesan dalam mengurangi prasangka dan diskriminasi (Banks, 1996). Dengan kata lain, variabel sekolah terbentuk dimana besar kelompok rasial dan etnis yang memiliki pengalaman dan hak yang sama dalam proses pendidikan. Pelajar mampu mengembangkan keterampilannya dalam memutuskan sesuatu secara bijak. Mereka lebih menjadi suatu subyek dari pada menjadi obyek dalam suatu kurikulum. Mereka menjadi individu yang mampu mengatur dirinya sendiri dan merefleksi kehidupan untuk bertindak secara aktif. Mereka membuat keputusan dan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan konsep, pokok-pokok masalah yang mereka pelajari. Mereka mengembangkan visi sosial yang lebih baik dan memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan serta mengkonstruksinya dengan sistematis dan empatis. Seharusnya guru mengetahui bagaimana berperilaku terhadap para pelajar yang bermacam-macam kulturnya di dalam kelas. Mereka mengetahui perbedaan-perbedaan nilai-nilai dan kultur dan bentuk-bentuk perilaku yang beraneka ragam.

Bagaimana Mengembangkan Pembelajaran Berbasis Multikultural?
Ada beberapa hal yang perlu dijadikan perhatian dalam mengembangkan pembelajaran berbasis multikultural
1. Melakukan analisis faktor potensial bernuansa multikultural
Analisis faktor yang dipandang penting dijadikan pertimbangan dalam mengembangkan model pembelajaran berbasis multikultural, yang meliputi: (a) tuntutan kompetensi mata pelajaran yang harus dibekalkan kepada peserta didik berupa pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan etika atau karakter (ethic atau disposition); (b) tuntutan belajar dan pembelajaran, terutama terfokus membuat orang untuk belajar dan menjadikan kegiatan belajar adalah proses kehidupan; (c) kompetensi guru dalam menerapkan pendekatan multikultural. Guru sebaiknya menggunakan metode mengajar yang efektif, dengan memperhatikan referensi latar budaya siswanya. Guru harus bertanya dulu pada diri sendiri, apakah ia sudah menampilkan perilaku dan sikap yang mencerminkan jiwa multikultural; (d) analisis terhadap latar kondisi siswa. Secara alamiah siswa sudah menggambarkan masyarakat belajar yang multikultural. Latar belakang kultural siswa akan mempengaruhi gaya belajarnya. Agama, suku, ras/etnis dan golongan serta latar ekonomi orang tua, bisa menjadi stereotipe siswa ketika merespon stimulus di kelasnya, baik berupa pesan pembelajaran maupun pesan lain yang disampaikan oleh teman di kelasnya. Siswa bisa dipastikan memiliki pilihan menarik terhadap potensi budaya yang ada di daerah masing-masing: (e) karakteristik materi pembelajaran yang bernuansa multikultural. Analisis materi potensial yang relevan dengan pembelajaran berbasis multikultural, antara lain meliputi: (1) menghormati perbedaan antar teman ( gaya pakaian, mata pencaharian, suku, agama, rtnis dan budaya); (2) menampilkan perilaku yang didasari oleh keyakinan ajaran agama masing-masing; (3) kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (4) membangun kehidupan atas dasar kerjasama umat beragama untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan; (5) mengembangkan sikap kekeluargaan antar suku bangsa dan antra bangsa-bangsa; (6) tanggung jawab daerah (lokal) dan nasional; (7) menjaga kehormatan diri dan bangsa; (8) mengembangkan sikap disiplin diri, sosial dan nasional; (9) mengembangkan kesadaran budaya daerah dan nasional; (10) mengembangkan perilaku adil dalam kehidupan; (11) membangun kerukunan hidup; (12) menyelenggarakan ‘proyek budaya’ dengan cara pemahaman dan sosialisasi terhadap simbol-simbol identitas nasional, seperti bahasa Indonesia, lagu Indonesia Raya, bendera Merah Putih, Lambang negara Garuda Pancasila, bahkan budaya nasional yang menggambarkan puncak-pucak budaya di daerah; dan sebagainya.

2. Menetapkan strategi pembelajaran berkadar multikultural
Pilihan strategi yang digunakan dalam mengembangkan pembelajaraan berbasis multikultural, antara lain: strategi kegiatan belajar bersama-sama (Cooperative Learning), yang dipadukan dengan strategi pencapaian konsep (Concept Attainment) dan strategi analisis nilai (Value Analysis); strategi analisis sosial (Social Investigation). Beberapa Pilhan strategi ini dilaksanakan secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran berbasis multikultural. Namun demikian, masing-masing strategi pembelajaran secara fungsional memiliki tekanan yang berbeda. Strategi Pencapaian Konsep, digunakan untuk memfasilitasi siswa dalam melakukan kegiatan eksplorasi budaya lokal untuk menemukan konsep budaya apa yang dianggap menarik bagi dirinya dari budaya daerah masing-masing, dan selanjutnya menggali nilai-nilai yang terkandung dalam budaya daerah asal tersebut.
Strategi cooperative learning, digunakan untuk menandai adanya perkembangan kemampuan siswa dalam belajar bersama-sama mensosialisasikan konsep dan nilai budaya lokal dari daerahnya dalam komunitas belajar bersama teman. Dalam tataran belajar dengan pendekatan multikultural, penggunaan strategi cooperative learning, diharapkan mampu meningkatkan kadar partisipasi siswa dalam melakukan rekomendasi nilai-nilai lokal serta membangun cara pandang kebangsaan. Dari kemampuan ini, siswa memiliki keterampilan mengembangkan kecakapan hidup dalam menghormati budaya lain, toleransi terhadap perbedaan, akomodatif, terbuka dan jujur dalam berinteraksi dengan teman (orang lain) yang berbeda suku, agama etnis dan budayanya, memiliki empati yang tinggi terhadap perbedaan budaya lain, dan mampu mengelola konflik dengan tanpa kekerasan (conflict non violent). Selain itu, penggunaan strategi cooperative learning dalam pembelajaran dapat meningkatkan kualitas dan efektivitas proses belajar siswa, suasana belajar yang kondusif, membangun interaksi aktif antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa dalam pembelajaran. Sedangkan strategi analisis nilai, difokuskan untuk melatih kemampuan siswa berpikir secara induktif, dari setting ekspresi dan komitmen nilai-nilai budaya lokal (cara pandang lokal) menuju kerangka dan bangunan tata pikir atau cara pandang yang lebih luas dalam lingkup nasional (cara pandang kebangsaan).
Bertolak dari keempat strategi pembelajaran di atas, pola pembelajaran berbasis multikultural dilakukan untuk meningkatkan kesadaran diri siswa terhadap nilai-nilai keberbedaan dan keberagaman yang melekat pada kehidupan siswa lokal sebagai faktor yang sangat potensial dalam membangun cara pandang kebangsaan. Dengan kesadaran diri siswa terhadap nilai-nilai lokal, siswa di samping memiliki ketegaran dan ketangguhan secara pribadi, juga mampu melakukan pilihan-pilihan rasional (rational choice) ketika berhadapan dengan isu-isu lokal, nasional dan global. Siswa mampu menatap perspektif global sebagai suatu realitas yang tidak selalu dimaknai secara emosional, akan tetapi juga rasional serta tetap sadar akan jati diri bangsa dan negaranya. Kemampuan akademik tersebut, salah satu indikasinya ditampakkan oleh siswa dalam perolehan hasil pembelajaran yang dialami.
Kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan kegiatan belajar siswa adalah laporan kerja (makalah), unjuk kerja dan partisipasi yang ditampilkan oleh siswa dalam pembelajaran dengan cara diskusi dan curah pendapat, yang meliputi rasional berpendapat, toleransi dan empati terhadap menatap nilai-nilai budaya daerah asal teman, serta perkembangan prestasi belajar siswa setelah mengikuti tes di akhir pembelajaran. Selain itu, kriteria lain yang dapat digunakan adalah unjuk kerja yang ditampilkan oleh guru di dalam melaksanakan pendekatan multikultural dalam pembelajarannya.
Guru yang bersangkutan selalu terlibat dalam setiap fase kegiatan pembelajaran, baik dalam kegiatan diskusi dan refleksi hasil temuan awal, penyusunan rencana tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dalam pelaksaan tindakan, diskusi dan refleksi hasil pelaksanaan tindakan, dan penentuan/penyususunan rencana tindakan selanjutnya dalam pencapain tujuan pembelajaran.

Daftar Rujukan
Cahyono, Imam“Mandeknya Pemikiran Pendidikan”, Kompas, 18 Januari 2007.
Dawam, Ainurrofiq. Emoh Sekolah, Yogyakarta: Inspealahimas Karya Press, 2003.
Ainul, Yaqin. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomen untuk Kemajuan