Jumat, 05 November 2010

Analisis Cerpen Jodoh karya A..A Navis dengan Pendekatan Mimetik

A. LATAR BELAKANG
Dalam sebuah karya yang besar akan terpancar pemikiran, kehidupan, dan tradisi yang hidup dalam suatu masyarakat. Membicarakan permasalahan kesusasteraan secara langsung membicarakan tentang suatu aspek kebudayaan. Kebudayaan dalam sebuah masyarakat atau kelompok yang besar akan tetap berubah, sama ada perubahan itu datangnya dari pemikiran kelompok itu sendiri ataupun pemikiran yang di bawa daripada kelompok yang lain. Demikian halnya tentang apa yang terjadi di wilayah Nusantara, wilayah yang terdiri daripada ribuan pulau dan setiap wilayah atau daerah yang tertentu mempunyai budaya dan identitas yang tersendiri.
Masyarakat etnik di Nusantara ini telah ada semenjak ratusan tahun atau bahkan ribuan tahun yang lampau. Selama itu pula mereka telah menumbuhkan, memulihara, dan mengembangkan tradisi mereka. Masing-masing masyarakat etnik itu memiliki tradisi yang berbeda. Seperti yang terdapat dalam cerpen “Jodoh” karya A.A. Navis ini.Cerpen ini menggambarkan budaya masyarakat Minangkabau khususnya dalam memilih pendamping hidup Cerpen ini sekaligus menjadi judul dalam antologi cerpen keempat A.A. Navis yang keempat.
Cerpen Jodoh ini mendapatkan pengharghaan hadiah Kincir Emas dari Radio Hilversum, Belanda tahun 1976. Cerpen ini mengisahkan masalah perjodohan antara dua insan manusia. Perjodohan merupakan hal yang sangat sensitif. Seorang perempuan yang terlambat menikah akan dianggap perawan tua yang tidak laku menikah. Apalagi dalam adat Minangkabau yang memegang prinsip matrilineal, yaitu garis keturunan yang menjunjung tinggai garis keturunan ibu. Oleh karena itu, masalah jodoh tidak lagi hanya menjadi masalah individu, melainkan masalah keluarga bahkan kaum dan negara.
Dalam cerpen Jodoh karya A.A. Navis dikisahkan seorang pemuda asal Minangkabau meskipun dia bukanlah penduduk asli Minangkabau ingin mencari calon pengantin. Permasalahan dimulai ketika dia mengharapkan calon istrinya adalah sosok wanita yang telah mapan dalam segi materi dan tingkah laku. Tentu saja wanita seperti itu sulit sekali dicari. Lalu permasalahan – permasalah mencari jodoh pun muncul. Yang membuat cerita ini menarik adalah dalam cerpen ini dikisahkan seorang pemuda Minangkabau yang ragu dalam berumah tangga karena dia takut akan hal membiayai keluarganya. Tetapi ketakutannya itu akan berakhir setelah dia menjalani pernikahan tersebut, bahwa materi itu bukanlah hal yang terpenting dalam berumah tangga.
Dalam menganalisis cerpen Jodoh karya A.A. Navis ini digunakan pendekatan mimetik karena dalam cerpen Jodoh tersebut banyak terdapat kebudayaan serta permasalahan – permasalahan yang terjadi dimasyarakat.
Pendekatan mimetik yaitu pendekatan kajian sastra yang menitik beratkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas (Abrams, 1981 : 89). Kajian yang dimulai dari pendapat Plato tentang seni. Menurut Plato seni hanya dapat meniru dan membayanglan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang nampak. Dan seni yang terbaik adalah lewat mimetik. Aristoteles berpendapat bahwa mimesis bukan sekedar tiruan, bukan sekedar potret dari realitas, melainkan telah melalui kesadaran personal batin pengarangnya.


JODOH
Oleh: A.A.Navis

Bila jumlah wanita lebih banyak dari pria pada zaman lapangan kerja menyempit hingga pengangguran berlimpahan, tidaklah sulit memeroleh seorang gadis untuk dijadikan istri. Terutama gadis yang telah berusia dua puluh limatahun lebih. Sebab, masyarakat masih memandang mereka sebagai oknum yang menggelisahkan keluarga. Akibatnya, jejaka yang berusia sekitar tiga puluh tahundan punya pekerjaan, seperti Badri, jika mau mengacungkan telunjuknya kepada gadis-gadis itu, jadilah ia istrinya.
Beberapa bulan lagi Badri akan genap tiga puluh tahun. Dibandingkan dengan angkatannya, ia dipandang sudah terlambat memeroleh istri. Bukan karena telunjuk bengkok ataupun kompong, melainkan karena idealismenya yang meluap-luap dalam lapangan sosial dan kebudayaan. Ketika ia menyadari bahwa perjuangan takkan selesai meski ia hidup terus sebagai jejaka, untuk memperoleh seorang tidaklah begitu mudah baginya. Ada tiga macam halangan yang tak begitu mudah ditembus akal sehatnya. Demi turunannya, agar generasi muda mendatang tidak lagi pendek-pendek tubuhnya, ia merindukan seorang gadis yang tinggi semampai. Dan itu tidak mudah ditemuinya dalam masyarakat yang berbakat pendek. Halangan lainnya karena Badri berdarah campuran yang dianggap kurang bermutu menurut pandangan adat Minangkabau yang lebih menyukai perkawinan awak sama awak. Halangan lain ialah kalkulasi biaya hidup yang takkan klop lagi bila ia nikah.
Menurut kalkulasinya, setelah membayar uang makan dan sewa kamar serta hutang-hutang rokoknya, sehabis tanggal lima belas habis pulalah seluruh isi kantongnya. Tentu saja logikanya, kalau ia sudah hidup berdua dengan istrinya maka mulai tanggal satu tentunya kantongnya sudah akan bolong. Meski logika itu tidak seluruhnya benar. Karena menurut kalkulasinya yang lebih cermat, jumlah gajinya akan dapat memberi makan seorang lagi, berikut membeli sepasang pakaian istrinya sekali setahun. Akan tetapi merokok harus dihentikan. Dan menonton film hanya akan dapat dilakukan sekali sebulan.dan itu tidak soal berat. Yang terberat ialah jika ia memikirkan konsekuensi perkawinan. Istrinya tentu akan hamil dan melahirkan anak. Menurut penelitiannya, ongkos periksa sekali wanita hamil sama dengan dua hari gajinya. Biaya bersalin akan menelan gajinya sebulan. Belum lagi kalau dihitung pengeluaran untuk membeli perangkat bayi mulai popok, gurit, dan tempat tidur mungil. Kesimpulan Badri, ia tidak bisa nikah untuk selama-lamanya. Terkecuali bila ia ingin bertingkah laku seperti rekan - rekannya yang lain. Atau seperti Pak Mudo, pesuruh kantor yang mau melaksanakan pekerjaan apa saja yang diminta orang di luar tugas-tugas kantor dan untuk itu ia mendapat imbalan macam-macam, sehingga dapat memberi nafkah istri dan kelima anak-anaknya.
Jalan keluar yang lain, menurut pikiran Badri ialah kawin dengan seorang gadis yang punya pekerjaan. Yang lebih baik ialah kalau yang jadi pegawai negeri. Sebab pegawai negeri lebih banyak mempunyai keringanan tugas dibandingkan dengan pegawai swasta. Pegawai negeri yang terbaik untuk dijadikan istri ialah guru sekolah. Karena guru sudah terlatih dengan hidup yang sangat sederhana. Akan adakah seorang gadis yang tingginya 160 centi yang jadi guru sekolah negeri dan orang tuanya tidak keberatan pada laki-laki yang berdarah campuran seperti Badri.
Kebetulan ada. Lena namanya. Umurnya lebih muda tiga tahun. Ia gadis yang menyenangkan untuk dipandangi. Sehingga bagi Badri, waktu terasa begitu cepat berlalu selagi mereka asyik ngobrol. Tapi setiap Badri mencoba meningkatkan pershabatan ke arah percintaan dengan mulai mengajaknya keluar malam guna menonton film, senantiasa ada alasan Lena untuk mengelak. Entah dengan alasan udara buruk atau filmnya tidak bagus atau badannya yang kurang sehat.
Hanya sekali Badri berhasil mengajak nonton film. Itu pun karena menemani adiknya yang baru datang dari kota lain. Meskipun harapannya tidak penuh terhadap gadis itu, pada waktu-waktu tertentu ia selalu mengunjungi Lena. Dan ia selalu mendapat sambutan yang hangatnya tak pernah menurun. Akan tetapi, tibalah satu bencana. Ketika suatu malam Badri bertandang kembali, Lena tidak membiarkannya masuk. Malah berkata seperti hendak mengusirnya; “Jangan kemari lagi!”
Terpana Badri mendengar ucapan gadis itu. Lebih terpana lagi dia ketika Lena menyebut nama Rosni, seorang gadis yang sering juga dibawanya keluar untuk menonton film. “Aku tidak serius dengan dia,” kata Badri menangkis. “Enak benar jadi laki-laki. Begitu sering membawa seorang gadis keluar malam, tapi kalau ditanya oleh gadis yang lain, lalu dibilang aku tidak serius dengan dia,” umpat Lena dengan tengiknya. Lalu sebelum Badri memberi alasan, pintu ditutup dan dikuncinya dari dalam. Tinggalah Badri terperangah di anak tangga.
Dengan loyo ditinggalkannya rumah Lena sambil mengutuki dirinya sendiri karena sering membawa Rosni keluar malam. Padahal gadis itu tidak ideal baginya. Meski wajahnya cukup cantik dengan kulitnya yang mulus seperti umbut karena usianya yang masih muda. Rosni sepuluh senti lebih pendek dari persyaratan idealnya. Lagi pula terlalu berisi. Tapi yang terutama tidak punya pekerjaan yang menghasilkan nafkah.
Sejak itu, Badri kehilangan orang yang paling menyenangkan hatinya. Ia mulai menghindari Rosni karena ia tidak mau terlibat terlalu dalam dengan gadis itu. Ketika Rosni menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya, Badri merasa bebas dari incarannya. Tapi sebaliknya, setiap ia ketemu Lena di mana pun juga, selalu gadis itu membuang muka.
Beberapa bulan lagi usianya akan menjadi tiga puluh tahun. Usia yang cukup matang untuk menjadi seorang suami menurut pendapatnya. Ia menyadari juga sekiranya ia tidak terlalu teguh berpegang pada prinsip-prinsip hidupnya, ia akan dapat kawin pada hari ulang tahunnya itu. Asal dia mau menyesuaikan diri dengan iklim yang memengaruhi kehidupan masyarakat, soal gaji kecil sebetulnya bukan alasan untuk menunda perkawinan. Karena dengan bergaji kecil sekalipun, orang dapat menghidupi lima sampai sepuluh nyawa. Bahkan, cukup banyak rezekinya sehingga ada di antara mereka yang telah mulai membuat rumah. Badri bukan tidak tahu cara menambah penghasilan itu. Tapi, pikirnya, kalau tidak mampu memperbaiki dunia, janganlah ikut serta lebih merusaknya.
Meskipun ia telah menarik kesimpulan, bahwa laki-laki tidak pernah terlalu tua untuk memperoleh jodoh, namun jika ingat pada usianya menjelang tiga puluh tahun, timbul juga godaan yang kuat dalam dirinya untuk mencari istri. Maka mulailah ia meneliti rubrik kontak Jodoh yang dimuat sekali seminggu dalam satu surat kabar di kota kediamannya. Dicatatnya seluruh gadis yang mencari jodoh melaui rubrik itu sejak penerbitan tiga bulan berselang. Catatan itu diberinya berlajur-lajur seperti pekerjaan, tinggi badan, umur, dan beberapa persyaratannya.
Ia mernemukan 26 gadis yang ingin mendapat jodoh melalui rubrik itu dan 7 orang janda. Badri lebih tertarik pada gadis. Dan yang terpenting semuanya mempunyai pekerjaan. Sembilan belas diantaranya menjadi pegawai negeri. Di antara yang sembilan belas itu ternyata delapan orang yang menjadi guru. Tapi hanya empat orang yang mempunyai tinggi seperti yang diinginkan Badri. Kebetulan keempatnya menyatakan tidak keberatan mendapat jodoh seperti kondisi Badri, yakni bukan penduduk asli daerah. Untuk memilih salah seorang, Badri menetapkan pilihan pada gadis yang lebih dahulu mengikuti rubrik itu. Gadis itu berkode AX/19. Maka segeralah ia menulis surat kepada redaksi untuk membuat kontak. Selama dua belas hari menunggu balasan merupakan siksa dalam kehidupan Badri. Tapi, lima hari menjelang pertemuan pertama setelah kontak surat berlangsung, merupakan hari-hari yang terpanjang yang sangat menyesakkan napasnya.
Mereka akan bertemu di depan Toko Lima pada jam lima sore. Gadis itu akan mengenakan switer kuning dengan rok lembayung sebagai pengenal. Sedang Badri akan mengenakan baju batik dan pengepit segulungan majalah diikat dengan pita merah. Badri lebih cepat datang lima menit dari waktu perjanjian, karena takut kalau sampai terlambat dari waktunya. Satu menit sebelum jam lima ia telah kian gugup meskipun matanya lirak-lirik mencari-cari gadis yang berswiter kuning. Persis jam lima ia tak tahan lagi disiksa kegugupan. Lalu ia menyelonong dalam toko itu dengan maksud akan mengintip kedatangan gadis itu dari dalam toko. Ketika ia baru saja memasuki ambang pintu toko itu, seorang gadis berswiter kuning hendak keluar. Mereka saling tertegun dengan matanya sama-sama terbeliak. Karena gadis itu lena. Tidak lain.
Tapi belum sempat Badri berpikir, Lena segera terpaling. Kemudian dengan langkahnya yang tergesa-gesa berlalu dari situ menyeberangi jalan. Cepat Badri menarik kesimpulan, bahwa Lena, pastilah jodohnya. Peristiwa itu bukanlah suatu kebetulan, tapi sudah diatur oleh tali nasib. Lalu dikejarnya gadis itu dengan langkahnya panjang-panjang. Dan ketika telah dekat digenggamnya lengan gadis itu kuat-kuat sambil mengiringkan langkahnya.
“Lepaskan aku,” bentak Lena seraya mencoba membebaskan lengannya dari genggaman Badri, “Nanti aku berteriak.”
Dan Badri tak percaya bahwa gadis itu akan berani berteriak di tengah orang ramai itu. Lalu katanya: “Berteriaklah.” Di luar dugaannya. Lena betul-betul berteriak. Orang ramai segera dating merubungi mereka. Nyaris insiden yang lebih parah berlangsung. Kalau tidak seorang polisi mencegah, pastilah Badri akan dikeroyok orang banyak. Lalu keduanya dibawa ke gardu polisi terdekat. Di hadapan polisi yang memeriksa semua kartu dibuka.
“Gila kau,” kata Lena selesai membaca naskah cerpen yang baru selesai ditulis suaminya. “Masa kisah kita mau dibeberkan pada orang banyak?” Badri merangkul pinggang istrinya sambil tertawa. Mereka sudah lama menikah dan kini telah punya dua orang bayi yang demikian rapat jarak kelahirannya. Mereka kawin dengan pesta yang meriah dan upacara adat yang tradisional.
Dan semenjak, itu Badri tinggal di rumah mertuanya, seperti juga suami-suami lainnya di Minangkabau.
Pola hidup yang matrilineal yang dulu tidak disukai demikian indah kenyataannya setelah memiliki Lena. Kalkulasi biaya hidup yang mencemaskan dulu, ternyata pula tidak perlu diributkan. Malah ketika anaknya yang kedua lahir, Lena dianjurkan sendiri untuk berhenti menjadi guru karena seni hidup bukanlah perhitungan yang eksak, melainkan penyesuaian diri pada iklim yang membentuk masyarakat. Idealisme masa jejakanya ternyata pula suatu utopia semata. Idealisme yang membius pada orang-orang yang tidak mempunyai beban hidup kekerabatan. Sedangkan idealisme seorang laki-laki yang telah menjadi suami dan menjadi seorang ayah ialah idealisme abadi, yakni bagaimana membahagiakan istri dan anak-anak.
Dan kalau Badri sesekali membaca surat kabar yang mengisahkan perjuangan-perjuangan orang-orang untuk mencapai cita-cita, cepat-cepat Badri menutup surat kabar itu dan meletakkannya di rak kertas-kertas tua yang akan diloakkan mertuanya.

(Berkenalan Dengan Prosa Fiksi, 2000:177-186)


B. BIOGRAFI PENGARANG
Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17 November 1924 - meninggal 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.
Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi banyak sastrawan. Ia seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Ia menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi.
Sebagai seorang penulis, ia tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya sendiri, yakni Jodoh (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep, 1975), Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang majalah Femina, 1979), Kisah Seorang Pengantin, Maria, Nora, dan Ibu. Ada yang ditulis tahun 1990-an, dan ada yang ditulis tahun 1950-an.


C. APRESIASI CERPEN “JODOH” DENGAN PENDEKATAN MIMETIK

Nadila (2003:76) menyatakan bahwa ide cerita pembuatan cerpen Jodoh ini diilhami oleh kisah perkawinan Hamid Jabar yang dituturkan oleh sastrawan Wisran Hadi kepada A.A. Navis. Namun ketika cerpen ini selesai digarap isinya tidaklah sama dengan kenyataan yang sebenarnya. Itulah sastra, sesuatu yang tidak mungkin dalam kehidupan nyata bisa diciptakan dan dilakukan dalam lingkungan sastra yang imajinatif.
Cerpen ini menceritakan kisah hidup Badri yang berniat mempunyai istri, akan tetapi mengingat biaya hidup yang tinggi menyebabkan Badri berfikir seratus kali. Badri akhirnya mempunyai jalan keluar, yaitu dia harus mencari istri yang mempunyai mata pencaharian. Diharapkan calon istrinya tersebut adalah guru negeri karena guru sudah terbiasa sederhana. Kebetulan ada gadis yang serupa dengan keinginannya. Mereka sempat berkenalan. Karena salah sangka, perkenalan itu putus. Dalam keputusasaannya Badri lalu mulai rubrik kontak jodoh. Ternyata Badri berhasil, dan menikah dengan Lena gadis kenalannya dulu.
Apa yang dilukiskan Navis dalam cerita ini memang sesuai dengan kenyataan hidup. Pada awal cerita kita melihat bagaimana pandangan kebanyakan kaum pria terhadap wanita.
”,,,jika mau mengacungkan telunjuknya kepada gadis-gadis itu, maka jadilah ia istrinya”
Akan tetapi, untuk mendapatkan seorang wanita sebagai istri tidaklah semudah apa yang disangkakan sebagian kaum pria. Sebagaimana halnya yang terjadi pada Badri. Begitu pula dengan apa yang dikemukakan Navis mengenai keluarga yang mempunyai anak gadis dirumahnya. Diperlukan pertimbangan – pertimbangan sebelum memilih jodoh yang sesuai untuk dijadikan sebagai suami ataupun sebagai istri mereka. Hal itu memang sesuai dengan kenyataan yang terjadi di sebagian masyarakat kita.
”,,,tidaklah sulit memperoleh seorang gadis untuk dijadikan istri. Terutama gadis yang telah berusia duapuluh lima tahun lebih, sebab masyarakat masih memandang mereka sebagai oknum yang mengisahkan keluarga. Seolah perawan tua merupakan cacat hidup yang mengandung dosa keluarga”
Begitu pula dengan orang-orang seperti Badri yang demikian teliti membuat perencanaan hidupnya menjelang berumah tangga. Banyak kita temui dalam masyarakat kita sekarang ini orang – orang menikah dengan mempertimbangkan bebet, bibit, dan bobotnya. Badri sendiri ingin agar istrinya nanti adalah seorang pegawai negeri. Bahkan, kalau Badri dapat mempersunting seorang guru, dia akan sangat bahagia.
”Menurut kalkulasinya, setelah membayar uang makan dan sewa kamar serta hutang-hutang rokoknya, sehabis tanggal lima belas habis pulalah seluruh isi kantongnya. Tentu saja logikanya, kalau ia sudah hidup berdua dengan istrinya maka mulai tanggal satu tentunya kantongnya sudah akan bolong. Meski logika itu tidak seluruhnya benar. Karena menurut kalkulasinya yang lebih cermat, jumlah gajinya akan dapat memberi makan seorang lagi, berikut membeli sepasang pakaian istrinya sekali setahun. Akan tetapi merokok harus dihentikan. Dan menonton film hanya akan dapat dilakukan sekali sebulan.dan itu tidak soal berat.”
Seorang guru terlatih hidup sederhana. Pada jaman sekarang semakin banyak jejaka yang ingin menikah dengan seorang gadis yang sudah memiliki pekerjaan. Karena bisa membantu meringankan biaya hidup rumah tangganya. Apalagi, kalau si jejaka bukan pegawai negeri, Ia merasa sangat penting mempunyai istri seorang pegawai negeri. Sang istri akan mempunyai gaji tetap setiap bulan dan pada suatu saat ia akan menerima pensiun.
“Karena guru sudah terlatih dengan hidup yang sangat sederhana. Akan adakah seorang gadis yang tingginya 160 centi yang jadi guru sekolah negeri dan orang tuanya tidak keberatan pada laki-laki yang berdarah campuran seperti Badri.”
Guru wanita mempunyai gaji tetap. Seorang guru lebih banyak berada di rumah, guru sebagai ibu, biasanya akan dapat mendidik anaknya atau setidaknya akan lebih memperhatikan pendidikan anaknya. Ini sesuai karena pendidikan adalah hal yang terpenting saat ini. Karena bila kita tidak bisa bersaing dalam bidang pendidikan tentu kita akan tertinggal dan untuk mencari pekerjaan pun akan sulit. Hal yang seperti ini juga yang diimpikan oleh Badri ataupun pemuda – pemuda saat ini yang mencari jodoh.
Dalam adat budaya suku Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki suku ini perkawinan juga menjadi proses untuk masuk pada lingkungan baru pada pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak istri menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas rumah gadang mereka.
Di dunia, system matrilineal seperti adat minangkabau seperti ini hanya di anut oleh kurang dari 10 suku, diantaranya:
1. Minangkabau (Indonesia)
2. Campa (Vietnam)
3. Muangthai (Thailand)
4. Suku bangsa di India
Berbicara masalah matrilineal di Minangkabau, beberapa pendapat muncul. Salah satunya garis keturunan menurut ibu menimbulkan kecenderungan negatif bagi laki-laki di Minangkbau. Mereka di anggap hanyalah sebagai “pejantan” yang dinikahi para perempuan untuk menjaga eksistensi suku sang perempuan. Tapi di sisi lain, status yang jelas bagi seorang anak juga terjamin karena ia telah diketahui adalah anak dari ibunya yang merupakan garis keturunan yang dianut di minangkabau.
Apabila dibandingkan dengan kondisi sekarang, hal itu hampir sama dengan sebelumnya. Perbedaannya adalah sekarang muncul istilah aliran feminisme yang merupakan pengaruh dunia barat. Engels menyatakan,”Dengan menekankan bahwa ketika seorang laki-laki mengambil seorang perempuan, ia kemudian hidup di dalam kehidupan si perempuan. Keadaan ini bukan sebagai tanda subordinasi perempuan terhadap laki-laki, melainkan sebagai tanda kekuatan ekonomi perempuan.”.
Perempuan minang oleh adat diberikan hak property memiliki sawah, rumah, ladang dan tanah. Perempuan sulit untuk diintervensi ataupun diintimidasi oleh suami karena ada perlindungan dari seseorang yang disebut mamak (saudara laki-laki dari sukunya).
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut Baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan, dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria) sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di Mesjid sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan baru penganti panggilan nama kecil sebelumnya, dan masyarakat sekitar selanjutnya akan memanggilnya dengan nama tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi di kawasan pesisir pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.
“Pola hidup yang matrilineal yang dulu tidak disukai demikian indah kenyataannya setelah memiliki Lena. Kalkulasi biaya hidup yang mencemaskan dulu, ternyata pula tidak perlu diributkan. Malah ketika anaknya yang kedua lahir, Lena dianjurkan sendiri untuk berhenti menjadi guru karena seni hidup bukanlah perhitungan yang eksak, melainkan penyesuaian diri pada iklim yang membentuk masyarakat.”
Pada akhirnya Badri tidak menyenangi pola hidup yang matrilineal dan Badri tidak senang bila sesudah kawin suami tinggal di rumah mertuanya yang telah menjadi adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Sesudah kawin Badri ingin istri dibawa kerumahnya sendiri dan dialah yang menjadi raja dalam rumah tangganya, bukan mertuanya. Pemuda – pemuda Minangkabau sekarang banyak yang sudah melakukan praktek seperti itu, yaitu ingin hidup di rumahnya sendiri dan mengatur rumah tangganya tanpa ada campur tangan dari mertua. Karena dengan hidup sendiri tanpa campur tangan mertua mereka tidak akan ada perasaan segan untuk memilih jalan kehidupan yang mereka ambil dalam berumah tangga.
Badri juga menginginkan agar Lena berhenti dari pekerjaannya sebagai guru dan tinggal di rumah merawat anak. Keadaan ini dirasakan Badri dan kebanyakan kaum pria yang telah berumah tangga agar seorang istri itu haruslah mengurus dan mendidik anak saja, tidak perlu bekerja karena bekerja adalah tugas seorang pria sebagai kepala rumah tangga.


D. PENUTUP
Dari cerpen “Jodoh” karya A.A Navis ini dapat diambil hikmah bahwa dalam hidup ini selain ditentukan oleh perhitungan yang tepat, masih ada lagi faktor lain, yaitu faktor nasib yang ditentukan oleh Tuhan.Manusia hanya bisa berusaha, meskipun telah berusaha sedemikian kerasnya tetapi kalau Tuhan tidak meridhoinya maka hal yang diinginkannya tidak akanterwujud. Meskipun Badri berfikir dan menghitung kalau dia memiliki istri seorang guru akan bisa menopang kebutuhan rumah tangganya, tetapi kemudian dengan gajinya seorang ternyata biaya hidupnya sudah bisa ditanggulanginya sendiri. Kenyataan yang seperti inilah yang mengubah idealisme yang dulu pernah digunakannya.








DAFTAR RUJUKAN

Nadila, Ivan. 2003. AA. Navis: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo
Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomen untuk Kemajuan