Jumat, 05 November 2010

Potret Manusia dalam Sosok Pribadi dalam Puisi Diponegoro karya Chairil Anwar

Potret Manusia dalam Sosok Pribadi dalam Puisi Diponegoro karya Chairil Anwar


Bagian I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Dalam puisinya Diponegoro karya Chairil Anwar, Arif Budiman berpandangan sajak itu adalah cerminan dari ekspresi kekaguman Chairil pada semangat hidup Pangeran Diponegoro, di saat jiwanya amat diresahkan dengan kematian dan absurditas. Setelah melihat kematian neneknya chairil anwar mulai putus asa dalam menghadapi hidupnya, ini dibuktikan dengan sajaknya berjudul Nisan. Dalam kebimbangannya tersebut Chairil bertemu dengan sosok Pangeran Diponegoro . Dia melihat betapa Sang Pangeran begitu bergairah mempertahankan hidup ini. Tanpa rasa takut, tanpa rasa bimbang, seakan-akan semua persoalan hidup sudah terjawab.

“Di depan sekali tuan menanti. Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri. Berselempang semangat yang tak bisa mati.”

Melihat semua ini, Chairil muda hanya bisa berkata “Dan bara kagum menjadi api “. Seorang pemuda yang sedang bimbang dan berfikir keras sekarang berhadapan dengan seorang pangeran yang tegak dengan angkuhnya menghadapi hidup ini.
Untuk apa? Apa yang diperjuangkan sang pangeran? “Bagimu, seperti menyediakan api”, katanya. Diponegoro berjuang untuk tanah airnya yang identik dengan kemerdekaaan. Lebih baik punah dari pada hidup menghamba, lebih baik binasa daripada hidup menghamba.
Hidup bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan hanya supaya jangan mati. Hidup adalah sesuatu yang harus diisi dengan arti meskipun itu hanya diberikan satu kali. Dalam keadaaan seperti itu, kematian yang menjadi pikiran yang terus menerus datang menganggu Chairil, tampak idak berarti, karena kehidupan ini sendiri sudah idak menjadi inti persoalannya lagi, melankan hanya bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar itu. Karena itu, meskipun tahu bahwa dia mungkin akan kehilangan hidupnya sang Pangeran tetap tegak di hadapan “lawan banyaknya seratus kali” . Karena kemerdekaan adalah lebih tinggi dari kehidupan itu sendiri.
Tampaknya Chairil cukup terpukau oleh jawaban yang diberikan oleh sang pangeran, sehingga dia tampak bersemangat menuliskan sajaknya ini. Pangeran Diponegoro seakan-akan berhasil membuatnya tertegun, sehingga berlainan dengan kedua sajak Chairil Anwar sebelumnya, disini tidak kita temui momen-momen kontemplasi. Ini tampaknya bukan sesuatu yang khas Chairil si pemuda yang suka termenung dan mempertanggung jawabkan segala hipotesa-hipotesa yang dia buat sendiri.

1.2 Masalah
A. Masalah Umum
Potret Manusia dalam Sosok Pribadi dalam Sajak karya Chairil Anwar Sebuah Pertemuan

Chairil mulai menerbitkan sajak-sajaknya pada tahun 1942 dan dia mengakhiri hidupnya pada tahun 1949, ketika dia berumur dua puluh tujuh tahun.
Masa hidupnya yang relative pendek itu, dihabiskannya dengan menjalani macam-macam bentuk kehidupan. Ketika dia kecil, dia adalah seorang anak manja dari orang tua yang cukup berada. Ketika dia mengalami masa remaja, dia berkencan dengan banyak gadis. Dia pernah hidup gelandangan. Dia adalah pencuri, dia adalah penipu dan sebagainya lagi.
Ketika berumur dua puluh tahun, sajaknya yang pertama diterbitkan adalah tentang kematian. Ketika berumur dua puluh tujuh tahun, tahun kematiannya, dia juga bicara tentang kematian. Ini sangat wajar karena pada saat itu, Chairil mengidap beberapa penyakit didalam tubuhnya, sementara dia terus hidup secara tidak teratur. Chairil tampaknya juga tahu bahwa kematiannya sudah dekat di sisinya.
Persoalan yang menarik di sini adalah apakah ada perbedaan pandangan terhadap gejala kematian ini, sesudah tujuh tahun bergumul dengan kehidupan secara imens?Untuk mencoba menjawab pertanyaan inilah, Arief Budiman mengambil sajak-sajak Chairil yang dia tulis pada tahun 1949, tahun kematiannya.
Apakah manusia?Apa yang harus dia capai dalam hidup ini. Dari mana dia berasal dan kemana dia akan pergi?Semua pertanyaan ini, yang merupakan persoalan yang digumuli oleh Chairil Anwar sepanjang hidupnya, menjadi menarik untuk kita tanyakan kepada diri kita. Karena persoalan tersebut bukanlah hanya persoalan Chairil Anwar saja, tapi juga persoalan kita.
Arief Budiman ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mula-mula mengikuti uraian Jean Paul Sartre.Seorang filosof tentang eksistensi yang cukup terkenal.Menurut Sartre, di dunia ini ada dua macam bentuk eksistensi Etre-en-soi adalah suatu cara bereksistensi secara tertutup Menutup dirinya seperti kita lihat pada benda-benda mati. Karena itu, dia menyatu dengan dirinya secara masif, dia seakan-akan selesai dalam dirinya.Dia tidak memiliki kesadaran sedikitpun, dia rapat tertutup (20, 74)
Sebaliknya dengan bentuk eksistensi yang kedua, etre-pour-se. Dia tdak tertutup, melainkan terbuka, dia tidak massif, melainkan retak. Karena itu dia dapat melihat ke luar dan ini artinya dia memiliki kesadaran, kesadaran bukan saja tentang dunia luar tapi juga kesadaran tentang dirinya sendiri. Bentuk eksistensi semacam ini adalah bentuk eksistensi manusia.
Maka kesadaran akan diri sendiri sebenarnya adalah pengingkaran akan diri sendiri juga. Dia meretakkan keadaan yang sekarang, yang tadinya bersifat masiv, rapat tertutup, karena dengan menyadari dirinya dia mempertentangkan adanya dengan kemungkinan yang lain. Dan lalu memproyeksikan dirinya, kepada kemungkinan yang lain itu. Pada saat dia menyadari dirinya, maka dia tidak lagi menjadi dirinya, dia menjadi retak dua atau lebih karena dia menjadi dirinya dan menjadi juga kemungkinan-kemungkinannya (24, 36).
Sedangkan metode yang dipakai oleh Arief Budiman dalam mengkritik sajak-sajak Chairil Anwar adalah metode kritik Ganzheit. Metode ini bertolak dari pendekatan ekspresif. Arief Budiman tidak membecirakan sajak-sajak Chairil Anwar dari segi bentuk dan isi, tetapi mencoba mendekatinya secara filosofis. Arief tidak berbicara tentang indah tidaknya sajak-sajaknya Chairil sebagaimana terjelma atau tertuang dalam sajak-sajaknya (Yudiono K.S, 1986 : 93). Dalam hal ini landasan teori yang melatarbelakangi adalah sebagai berikut:

Saya sendiri sudah tidak percaya lagi kepada konsepsi apa yang disebut indah dan tidak indah. Sebab itu saya tidak mau mengunakan kata tersebut, karena keburukan artinya. Saya melihat bahwa sebuah seni menjadi indah buat seseorang karena sudah terjadi pertemuan yang otentik antara seseorang dengan dunia yang diungkapkan oleh karya seni (baca sastra) tersebut. Pertemuan itu bersifat pribadi, tidak secara massal, sehingga apa yang disebut indah tidak pernah bisa dirumuskan. Seseorang yang menghayati sebuah karya seni (sastra) sebenarnya sedang melakukan sebuah pertemuan. Antara keduanya saling terjadi perbauran yang dinamis sifatnya. Dari perbauran inilah muncul sebuah nilai, nilai Ganzheit yang terjadi akibat pertemuan subjek dengan objek. Nilai itu bersifat unik dan tidak akan muncul kalau keduanya saling terpisah (Budiman, 1986:98)


B. Masalah Khusus
Gambaran Potret Manusia dalam Teks Puisi Chairil Anwar yang Berjudul Diponegoro
Gambaran potret manusia dalam sajak Chairil yang berjudul Diponegoro adalah gambaran manusia dengan dirinya sendiri.
Chairil yang sebelumnya takut menghadapi kematian. Dia tersadarkan oleh sosok seorang Pangeran Diponegoro yang membela tanah airnya tanpa mempedulikan nyawanya. Dia tersadar hidup bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan hanya supaya jangan mati. Hidup adalah sesuatu yang harus diisi dengan arti meskipun itu hanya diberikan satu kali. Dalam keadaaan seperti itu, kematian yang menjadi pikiran yang terus menerus datang menganggu Chairil, tampak tidak berarti, karena kehidupan ini sendiri sudah tidak menjadi inti persoalannya lagi, melainkan hanya bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar itu. Karena itu, meskipun tahu bahwa dia mungkin akan kehilangan hidupnya sang Pangeran tetap tegak di hadapan “lawan banyaknya seratus kali” . Karena kemerdekaan adalah lebih tinggi dari kehidupan itu sendiri.






Bagian II
POTRET MANUSIA DALAM SOSOK PRIBADI DALAM SAJAK
2.1 Gambaran Manusia dalam Teks Puisi Diponegoro karya Chairil Anwar

a. Manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri.
Setiap pernyataan selalu dilengkapi dengan kutipan (teks puisi atau pernyataan kritikus)
Chairil yang takut menghadapi kematian setelah kehilangan neneknya terseret oleh pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang tujuan hidup ini. Lalu tiba-tiba dia bertemu dengan pahlawan legendaris Pangeran Diponegoro.

Dia melihat betapa sang Pangeran begitu bergairah mempertahankan hidup ini. Tanpa rasa takut, tanpa rasa bimbang, seakan-akan semua persoalan hidup ini sudah terjawab. “Didepan sekali tuan menanti. /Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. /Pedang dikanan, keris dikiri. /Berselempang semangat yang tak bisa mati”.Melihat semua ini Chairil muda hanya bisa berkata : “Dan bara kagum menjadi api”. Seorang pemuda yang sedang bimbang dan berfikir keras sekarang berhadapan dengan seorang Pangeran yang tegak dengan angkuhnya menghadapi hidup ini”. (Budiman, 1976 :12)

b. Manusia dalam hubungannya dengan orang lain/ lingkungan sosial-budaya
Setiap pernyataan selalu dilengkapi dengan kutipan.
Chairil selama ini hidup tanpa mengalami permasalahan sosial yang begitu besar dikejutkan dengan kepergian neneknya. Dia begitu bimbang dalam memikirkan akan kematian tersebut. Saat itulah tiba-tiba dia bertemu dengan sosok pahlawan Diponegoro yang sebagai pahlawan rela berjuang demi membela Negara. Hal itu belum pernah terpikirkan oleh Chairil. Hidupnya yang tidak pernah susah dari kecil begitu kaget melihat sosok Pangeran Diponegoro yang meskipun dia seorang Pangeran dia berjuang maju digaris depan memimpin pasukannya tanpa rasa takut sedikitpun.

“Didepan sekali tuan menanti. /Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. /Pedang dikanan, keris dikiri. /Berselempang semangat yang tak bisa mati”.Melihat semua ini Chairil muda hanya bisa berkata : “Dan bara kagum menjadi api”. Seorang pemuda yang sedang bimbang dan berfikir keras sekarang berhadapan dengan seorang Pangeran yang tegak dengan angkuhnya menghadapi hidup ini”. (Budiman, 1976 :12)

c. Manusia dalam hubungannya dengan Tuhan
Setiap pernyataan selalu dilengkapi dengan kutipan
Chairil yang takut akan menghadapi kematian telah melanggar kodrat dari Tuhan yang telah menetapkan keputusannya kalau setiap manusia nantinya bakal menemui ajalnya. Dia (Chairil) begitu takutnya setelah melihat neneknya meninggal sehingga dia lalu mencari arti dari tujuan hidup ini. Saat itulah dia bertemu dengan sosok Pangeran Diponegoro yang tegak menghadapi hidup ini. Chairil menjadi mengetahui makna dari hidup yang diberikan oleh Tuhan. Dalam hal itu dia menyatakannya seperti berikut:

“Hidup bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan hanya supaya jangan mati. Hidup adalah sesuatu yang harus diisi dengan arti, meskipun arti tersebut hanya kita berikan satu kali. “ (Budiman,1976:12)





d. Manusia dalam hubungannya dengan Negara
Setiap pernyataan selalu dilengkapi dengan kutipan
Dalam puisinya Diponegoro, Chairil benar-benar terpengaruh oleh sosok Diponegoro yang berjuang mati-matian dalam membela Negara yang bagi Diponegoro sendiri adalah sesuatu yang besar dalam hidupnya. Untuk mencapai sesuatu yang besar yaitu kemerdekaan Diponegoro rela mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan negaranya. Seakan-akan nyawa ini tak ada artinya dibandingkan dengan kemerdekan tersebut. Dalam Diponegoro, jelas betapa apresiasi sang penyair atas semangat perjuangan pahlawan tersebut dalam melawan kekuasaan penjajah :

“Di masa pembangunan ini / tuan hidup kembali / Dan bara kagum menjadi api / Di depan sekali tuan menanti / Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali / Pedang di kanan, keris di kiri / Berselempang semangat yang tak bisa mati.” (Budiman,1976:12)

Diponegoro berjuang untuk tanah airnya yang identik dengan kemerdekaan. Lebih baik pubah daripada hidup menghamba, lebih baik binasa daripada hidup tertinda. (Budiman,1976:12)


Bagian III
Kesimpulan
Rasa ketakutan akan kematian yang dialami oleh Chairil Anwar adalah bentuk permasalahan Chairil dengan dirinya sendiri. Chairil yang selama ini tidak pernah tersadar akan permasalahan itu tiba-tiba mendapatkan permasalahan seperti itu langsung menjadi drop dan berusaha mencari arti sebenarnya dari tujuan hidup ini. Chairil yang jiwanya pada saat itu tergunjang dalam menghadapi masalah kematian tersebut lalu bertemu dengan sosok Pangeran Diponegoro. Sosok seorang yang memiliki jiwa seorang pahlawan yang rela barkorban demi bangsa dan negaranya. Diponegoro tidak takut mati, bahkan dia rela mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan Negaranya. Chairil mulai berfikir:

Untuk apa? Apa yang diperjuangkan sang Pangeran? “Bagimu, negeri menyediakan api” katanya. Diponegoro berjuang untuk tanah airnya yang identik dengan kemerdekaan. Lebih baik pubah daripada hidup menghamba, lebih baik binasa daripada hidup tertunda. (Budiman,1976:12)

Hidup bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan hanya supaya jangan mati. Hidup adalah sesuatu yang diisi dengan arti. Hidup akan cukup berharga kalu punya arti, meskipun arti itu hanya kita berika satu kali. Hidup harus dikaitkan dengan sesuatu yang lebih besar dari hidup itu sendiri – dalam hal Diponegoro, kemerdekaan negernya. Dalam keadaan seperti itu, kematian yang menjadi pikiran yang terus – menerus mengganggu Chairil, tampak tidak berarti, karena kehidupan itu sendiri sudah tidak menjadi inti persoalannya lagi, melainkan hanya tinggal bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar itu. (Budiman,1976:12)

Dalam hal ini sosok Pangeran Diponegoro telah membuka mata Chairil dalam memaknai arti hidup itu sendiri. Bahwa hidup bukanlah sesuatu yang harus kita takutkan bila kematian akan menjemput, tetapi kematian itu adalah sesuatu yang kecil dari bagian hidup sendiri. Bagian terbesar dari hidup itu sendiri adalah sebuah segala sesuatu yang kita isi selama kita hidup dan mempunyai arti bagi hidup kita.



Daftar Rujukan

Suwignyo, Heri.2008.Kritik Sastra Indonesia Modern. Malang : A3 (Asih Asah
Asuh)

Budiman, Arief.1976. Sebuah Pertemuan. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomen untuk Kemajuan