SINOPSIS NOVEL KUBAH
Karman amat canggung dan gamang. Kepada Komandan Karman membungkuk berlebihan. Karman mengerti harga dirinya tidak semahal kertas yang dibawanya, dan tidak semahal ruangan di mana kini ia berada.
Ia merasa asing, walaupun Karman sudah bebas, ia merasa ada pemisah antara dirinya dengan alam sekitarnya. Ia yakin itu, karena ia tahu bahwa dirinya adalah bekas tahanan politik. Nyatanya sejak dua belas tahun lalu Karman telah kehilangan diri dan pribadinya. Ia selalu merasa rendah diri.
Di bawah pohon beringin di tengah alun-alun Karman istirahat. Ia membayangkan peristiwa tujuh tahun yang lalu ketika Karman masih sebagai tahanan. Parta menceraikan istrinya dan kawin dengan Marni, istri Karman.
Pada waktu itu Marni meminta keikhlasan dan pengertian Karman agar diizinkan untuk kawin lagi dengan Parta. Karman hanya bisa termenung dan membagi kesusahannyadengan teman-temannya sebarak.
Tubuh dan jiwa Karman semakin layu. Ia tergeletak sakit. Ada seorang perwira, Kapten Somad, yang berusaha mengobati penyakit Karman. Usaha Kapten Somad itu pada akhirnya membawa hasil. Karman sembuh.
Karman hendak melanjutkan perjalannya ke rumah sepupunya. Rumah di pinggir kali itu telah berubah menjadi gedung yang bagus. Karman mendekati jendela rumah itu dan melihat Rudio, anaknya, tengah asyik membaca. Pertemuan antara Karman dengan Rudio dan Bu Gono sangatlah mengharukan. Bu Gono, sepupunya, meminta Karman untuk tinggal bersamanya. Bu Gono menjelaskan bahwaa Karman sudah tak punya apa-apa lagi di Pegaten. Rumah, tanah, istri sudah hilang dan anaknya yang kecil telah meninggal.
Geger Oktober 1965 telah dilupakan orang. Juga di Pegaten, tempat Marni tinggal bersama Parta dan anaknya, Tini. Tini adaalah kembang desa Pegaten dan telah menjalin hubungan dengan Jabir, cucu Haji Bakir.
Marni mengetahui bahwa suatu saat Karman akan datang. Marni selalu merasa bahwa suaminya, Karman, selalu menuntut kesetiaannnya. Apalagi Tini, anaknya, selalu menanyakan tentang ayah kandungnya itu.
Karman seorang anak mantri pasar. Ia lahir di Pegaten. Ayahnya merasa bahwa dirinya adalah seorang priyayi yang tidak pantas makan ubi rebus dan mengerjakan sawah. Pandangan ayah Karman yang demikian membuat keluarganya semakin menderita di masa pendudukan Jepang. Ia menukarkan sawahnya itu dengan padi milik Haji Bakir. Oleh karena desakan ekonomi, masa kecil Karman dihabiskan dengan membantu pekerjaan di rumah Haji Bakir. Sebagai upahnya, semua biaya hidup Karman ditanggung oleh Haji Bakir.
Tahun 1948 terjadi makar tetapi berhasil di gagalkan. Salah seorang dari kader partai ada yang melarikan diri ke Pagetan. Dia dikenal dengan nama Bung Margo. Di Pegaten dia dan teman-temannya berusaha menambah angota baru. Salah satu yang diincar untuk dijadikan anggota baru ialah Karman. Dengan berbagai berbagai cara, akhirnya Karman berhasil dijebak dan menjadi partai yang berkedudukan penting.
Bung Margo selalu berusaha menciptakan permusuhan menciptakan permusuhan antara Karman dengan Haji Bakir. Ia berusaha menjauhkan kehidupan Karman dari Haji Bakir. Semakin hari rasa curiga dan permusuhan di hati Karman terhadap Haji Bakir semakin bertambah. Apalagi sejak cintanya kepada Rifah ditolah oleh Haji Bakir. Perasaan curiga, benci, dan permusuhan semakin mengembang di hati Karman karena memang Karman sendirilah yang mengembangkan.
Suatu saat Karman merasa rindu dengan Rifa, anak Haji Bakir, yang sudah menjanda itu. Karman berada pada kebimbangan, hendak masuk ke rumah Haji Bakir tetapi ia dibencinya. Kalau tidak, ia merasa sangat rindu dengan pujaan hatinya itu. Akhirnya, ia berjalan berjingkat menuju kamar pujaan hatinya itu. Ia sudah mencapai jendela kamar Rifah yang berlubang itu. Melalui lubang jendela itu Karman memasukkan selembar surat.
Rifah memang membaca surat itu. Sebagai jawabannya Rifah meminta Karman untuk bertamu secara baik-baik. Karman disuruhnya untuk menemui ayahnya besok pagi. Rifah juga berjanji akan ikut menemuinya.
Rifah yang janda itu masih hamil, sama sekali tidak mengharapkan untuk menikah lagi. Tetapi Karman tidak berhasil mengatasi keraguannya. Ia masih sangat merindukan Rifah. Ssampai sekarang, ia belum berbaik kembali dengan Haji Bakir.
Melihat sikap Karman yang ingin mencoba untuk mendekati Rifah, Bung Margo merasa mendapatkan kesempatan. Disuruhnya Karman untuk melamar Rifah lagi. Bung Margo yang memang menjadi kader partai itu, sudah dapat meramalkan apa jaaban dari Haji Bakir. Dengan penolakan lamaran itu, semakin besarlah kebencian Karman terhadap Haji Bakir. Sekarang, kebencian Karman bukan hanya kepada Haji Baki saja. Tetapi juga terhadap para haji dan orang-orang kaya lainnya.
Desa Pegaten merupakan desa erpencil. Desa ini dibatasi rawa-rawa dan hutan jati yang lebat. Di desa ini, pada sat itu ada tiga kekuatan yang masing-masing memiliki lasykar. Salah satu kekuatan memang sedang surut yaitu kekuatan Ahmad Juhdi. Tetapi, kemunduran kekuatan ini sering dimanfaatkan oleh kekuatan lainnya untuk mengacaukan keamanan desa. RumahHaji Bakir dua kali dirampok. Haji Bakir ditahan dengan tuduhan bersekongkol dengan perampok. Kelak orang tah bahwa pengusulan penahanan itu diajukan oleh seorang pegawai kecamatan yaitu Karman.
Karman lebih sering terlibat dalam diskusi-diskusi dengan Margo dan kawan-kawannya. Di samping itu, ia secara cuma-cuma mendapatkan buku-buku mengenai doktrin-doktrin Marxis. Pandangan-pandangan serta pikiraan-pikirannya semakin mantap di jurang Marxis yang atheis itu.
Karman telah tahu bahwa dunia wanita bukan hanya Rifah saja. Marni, gadis kebanyakan, telah mendapatkan kedudukan di hati Krman. Perkawinan pun segera dilangsungkan. Tidak berapa lama Rudio, anak pertama pasangan Karman-Marni lahir. Hari-hari selanjutnya kehidupan keluarga muda itu seemakin mantap. Hanya ada satu yang tidak berkesesuaian di antara mereka, yaitu Marni merasa tidak bisa meninggalkan ibadahnya, sementara Karman secara terang-terangan mengaku sebagai atheis. Karena satu hal itulah Marni merasa kebahagiaan kurang utuh.
Karman sudah menduga suatu saat Marni akan menanyakan tentang ibadahnya. Karman memang tak pernah melarang Marni beribadah. Memang, seorang seperti Karman mudah menjadi mandul di hadapan keagungan kewibaan istrinya. Karema kelemahan ini dalam suatu kesempatan Bung Margo menyindirnya dengan pedas yang membuat Karman marah besar.
Kemiskinan dan kebobrokan moral melanda di seluruh negeri ini. Inflasi dan kemarau panjang semakin menambah beban berat rakyat jelata. Dalam keadaan yang demikian sulit itu, orang Pegaten sering meninggalkan pekerjaan guna menghadiri rapat-rapat umum. Panasnya politik saat itu barangkali lebih berpuluh kali lipat daripada panasnya matahari musim kemarau saat itu yang memanggang desa Pegaten.
Pada beberapa kesempatan Bung Margo menganjurkan orang untuk makan daging tikus. Ia menyebutkan bermacam-macam gizi yang terkandung di dalam tikus. Sebenarnya ia tidak bermaksud untuk menyehatkan penduduk Pegaten dengan makan tikus. Tetapi lebih dari itu ia menghendaki nilai-nilai moral yang telah tertanam itu menjadi goyah. Bung Margo yang ingin mengajari supaya orang Pegaten menghalalkan makanan yang haram itu.
Anak ketiga dari pasangan Karman-Marni lahir. Tono namanya. Baru tiga bulan lahir, peristiwa 1 Oktober 1965 tersebar kemana-mana, juga di Pegaten. Sejak saat itu Karman berubah menjadi pendiam. Ia mudah tersinggung dan tidak pernah lagi membopong Tono. Tidak ada senyum. Pohing yang mengetuk pintu isa saja membuatnya pingsan ketakutan.
Memang sudah banyak orang yang dtangkap. Bung Margo dan orang lainnya sudah dipaksa masuk ke liang kubur. Hanya yang membuat Marni merasa bersyukur ialah perubahan suaminya. Karman sholat, sesuatu yang telah lama diidamkannya.
Setiap detak jantung Karman adalah kegelisahan. Kalau malam tiba Karman bersembunyi di masjid atau di rumah ibunya. Pada suatu saat Karman memerlukan berpamitan kepada istrinya. Ia pasrahkan anak-anaknya kepada istrinya. Tangis sedu sedan menghiasi rumah itu.
Karman melarikan diri dan meninggalkan rumah. Ia meninggalkan anak. Ia meninggalkan istrinya. Ia meninggalkan desa, tempat kelahirannya. Polisi dan tentara melakukan pengejaran terhadapnya. Karman menyembunyikan dirinya di semak-semak belukar. Dengan demikian, Karman sekarang menjadi buronan.
Karman selalu merenungkan nasibnya. Ia mengetahui nasib apa yang bakal menimpanya kelak jika usaha pelariannya gagal. Apa yang sedang berlaku atas diri Karman adalah kehendak sejarah, yaitu sejarah politik. Dalam hal ini Karman telah salah perhitungan. Deengan masuk barisan Bung Margo, ia berharap sawahnya yang satu setengah hektar akan kembali. Ia juga ingin memperoleh cintanya Rifah. Sama sekali ia tak membayangkan peristiwa berdarah di benaknya. Ia juga tak meramalkan bahwa dengan masuk barisan Bung Margo akan menyeretnya ke jurang kehancuran. Kehancuran masa depannya sendiri. Hancurnya masa depan keluarganya. Serta membawanya kepada penderitaan.
Tini bersama Jabir baru saja menjemput ayahnya dari kota. Di perjalanan bersama Jabir membicarakan tentang kepulangan Karman, ayah Tini. Mereka berbicara tentang rumitnya permasalahan yang dihadapi oleh ibu Tini. Ibu Tini sudah kawin lagi dengan Parta. Sekarang Karman kembali setelah dua belas tahun hidup dalam pengasingan. Mereka juga tidak mengharapkan kejadian tersebut berulang pada pasangan Jabir-tini kelak, jika mereka sudah menikah.
Di rumah orng tuanya (Bu Marti), Karman banyak dikunjungi oleh para tetnggadan sanakfamilinya. Tiba-tiba semua diam, semua tegang, semua berbicara hanya kepada hatinya. Marni, istri yang lama dirindukannya itu hadir.
Tetapi tak lama kemudian Marni pingsan. Haji Bakir pun tiba berdua. Orang yang tak disangka-sangka hadir adalah Parta. Sehingga kedatangannya menambah kebisuan di rumah Bu Mantri. Semua tak tahu apa yag bakal terjadi.
Sekarang, Karman sudah berbaur kembali dengan warga desa Pegaten. Suatu hari Haji Bakir datang melamar. Karman, Paman Hasyim, Marni, dan Tini berkumpul di rumah Bu Mantri. Pada saat Haji Bakir menyampaikan lamarannya, Haji Bakir juga memberikan sawahnya yang satu setengah hektar kepada Tini. Memang, sawah tersebut dahulu adalah milik kakek Tini.
Pada suatu saat, masjid Haji Bakir yang telah tua itu diperbaiki kembali. Karman mendapatkan kesempatan membuat kubah masjid tersebut. Ia tidak mengambil upah sedikitpun dari pekerjaan itu. Ia hanya ingin mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat yang telag sirna itu. Karman ingin mendapatkan kembali martabatnya sebagai manusia. Dengan kubah itu, Karman merasa memperoleh apa yang diharakannya. Selain itu Karman ingin merintis jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomen untuk Kemajuan